Pages

Senin, 10 Maret 2014

Cara Memperbaiki Komputer Restart Terus Saat Dinyalakan


Cara Memperbaiki Komputer Restart Terus Saat Dinyalakan

Memperbaiki komputer restart terus
Berberapa waktu lalu kita sempat share cara mengatasi komputer restart sendiri, artikel kali ini masih sedikit berkaitan dengan artikel sebelumnya, tetapi lebih spesifik pada komputer restart sendiri yang terjadi pada saat CPU dinyalakan (switch on) dan kejadiannya terus berulang hingga gagal masuk ke Windows.

Komputer restart sendiri bisa disebabkan oleh banyak faktor, dan pada kasus ini saya akan mengulas untuk kasus CPU yang terus melakukan restart sendiri secara berulang-ulang dalam waktu -/+ 10 detik hingga tidak bisa booting atau masuk ke Windows. Permasalahan pada perangkat komputer sebagaimana yang saya sebutkan diatas tidak selalu disebabkan oleh kinerja virus. Seringkali kasus diatas terjadi karena adanya kerusakan pada komponen hardware.

Perlu diingat juga, bahwa gejala permasalahan yang terjadi pada hardware juga tidak selalu dikarenakan hardware mengalami kerusakan fisik, tetapi hardware tidak dalam kondisi siap bekerja; kotor, kabel penghubung ke komponen hardware lainnya longgar/tidak nancap dengan benar, dll. Pastikan anda melakukan pengecekan secara seksama agar langkah-langkah diagnosa untuk mendeteksi titik kerusakan yang sebenarnya bisa lebih mudah dan cepat.

Sebelum memulai langkah-langkah diagnosa pada pernagkat keras komputer (hardware), pastikan anda sudah merasa yakin bahwa operating system/Windows tidak mengalami kerusakan; file instalasi korup, dll. Kinerja sebuah virus berjalan secara perlahan, jadi jika sebelum komputer anda terus melakukan restart sendiri anda tidak menemui kejanggalan apapun pada Windows berarti titik permasalahan yang menyebabkan restart secara berulang tersebut murni dikarenakan gejala permasalahan pada hardware.

Langkah-langkah memperbaiki komputer terus restart sendiri secara berulang-ulang dan gagal masuk ke Windows dengan fokus pengecekan pada bagian komponen hardware:

Lepas semua hardware di CPU, memory (RAM), hardisk, dll.

Perhatikan dengan seksama kondisi masing-masing hardware untuk mengetahui apakah ada kerusakan fisik pada hardware tertentu.

Periksa kondisi kabel konektor (kabel ide, dll). *Ini termasuk bagian paling penting!

Bersihkan semua hardware. Bebaskan hardware dari debu, karena debu sudah cukup untuk membuat komputer anda bermasalah meski tidak ada kerusakan lain.

Periksa memori (RAM). Bersihkan kuningan RAM menggunakan penghapus pensil atau benda sejenis. Ingat! Tangan anda tidak boleh mengenai kuningan ram tanpa menggunakan alas.

Dengarkan bunyi hardisk pada saat anda menyalakan CPU. Hardisk yang berbunyi terlalu berisik menandakan ia bermasalah/rusak.

Cek kondisi kipas dan permukaan motherboard. Jika sewaktu pertama kali membuka casing CPU anda mendapati temperatur dalam CPU sangat panas, maka besar kemungkinan kipas/fan CPU perlu diganti. Jika fan/kipas bermasalah, maka komputer tidak akan bisa bekerja secara normal, termasuk sering restart sendiri. 

Cek kondisi power supply. Seperti halnya hardware lainnya anda juga harus membersihkan power supply dari debu. Perhatikan fan/kipas power supply, pastikan masih berfungsi normal.

Cek tegangan listrik. Perlu diingat bahwa komputer memerlukan pasokan aliran listrik (voltase) yang tergolong tinggi, jadi anda harus memastikan tegangan listrik tidak sedang naik turun.

Setelah semuanya rampung dan voltase listrik tidak mengalami gangguan selanjutnya silakan pasang kembali semua komponen hardware CPU untuk mencoba menyalakannya kembali. Apabila setelah menempuh langkah-langkah diatas CPU masih saja restart sendiri, maka besar kemungkinan yang rusak adalah motherboard nya.

Kerusakan pada motherboard dan solusinya akan dibahas pada serial posting cara memperbaiki masalah komputer berikutnya.

Tutorial komputer lainnya:



Cara mengunci Keyboard, Mouse dan Komputer


Ada beberapa cara untuk mengunci komputer ketika anda tidak berada didepan komputer, salah satu cara untuk mengunci komputer jika anda tidak memakainya dan membiarkannya online karena sedang mendonlot file dll ialah dengan memakai fitur dari windows yaitu dengan menekan tombol WIN+L ( tombol gambar logo windows + tombol huruf L ), maka windows otomatis akan kembali ke jendela logon, dimana kalau mau masuk lagi ke windows musti mengetikkan dulu password untuk nama user tersebut ( jika emang dikasih password, kalo ngga, musti buat password dulu ).
Mengunci komputer kita pada waktu kita tidak berada didepan komputer sangat berguna jika tidak ingin orang lain mengutak atik pas waktu kita tidak ada didepan komputer. mengunci komputer bisa juga dengan memakai program lain yang bukan bawaan windows ( Third-Party ).
  1. Mouse Lock. ialah program gratisan, alias program “open source” utilitas kecil ini akan meredupkan desktop dan mengunci kursor mouse anda ditengah layar, area dimana kita diminta untuk memasukkan password untuk membuka kunci ini. bertindak seperti halnya perangkap tikus loh.
  2. mouse-lock
    Mouse Lock ini tidak mudah untuk di ambil alih, dan akan mengunci pula tombol CRTL+ALT+DEL, dan akan mencatat pula setiap kata kunci yang salah dimasukkan oleh pengguna kedalam file .log, jika ada pengguna yang mencoba memaksa masuk dengan mengetikkan sembarang kata kunci.
    [sc name="bidvertiser"]
  3. Kid-Key-Lock, adalah sebuah program yang dapat mengunci tombol keyboard dan mouse tertentu untuk mencegah user nakal daripada tidak sengaja menekan tombol yang tidak diinginkan pada keyboard dan mouse. Kid-Key-Lock dengan mudah dapat diakses pada system-tray windows, dan semua opsi pilihan jenis kunci mudah diakses dari menu pop-up nya.
    kid-key-lock
    Sayangnya, program ini tidak sepenuhnya dapat diubahsuaikan. Anda hanya dapat memilih antara beberapa fungsi kunci preset seperti mengunci semua tombol untuk menerima kunci karakter standar, atau kunci kombinasi sistem saja atau mengunci semua tombol. Demikian pula Anda dapat mengunci mouse tombol kiri, kanan atau tengah, mengunci klik ganda atau roda gulir. Jika Anda secara tidak sengaja mengunci keyboard Anda, program ini mendukung kombinasi tombol seperti sandi yang dapat menimpa semua pengaturan mengunci atau menghentikan program.
  4. Quark adalah alat keamanan bergaya-Matrix yang melindungi komputer Anda dari akses tidak sah dengan mengunci layar dan menolak setiap interaksi pengguna sampai password yang benar dimasukkan. Layar ini penuh dengan deretan karakter bergulir hijau dengan kotak password berkedip di latar depan.
    quark-screen
    Seiring dengan efek visual yang berteknologi tinggi, efek suara robot yang bisa didengar selama penguncian, mengetik dan membuka kunci. Untuk mengaktifkan Quark Anda harus klik dua kali pada QLoad.exe dan mengatur sandi Anda. Kemudian klik dua kali pada Quark.exe untuk mengunci layar. Bila layar terkunci anda tidak dapat mengakses aplikasi dari komputer. Bahkan menekan tombol Ctrl + Alt + Del tidak dapat.
  5. Predator adalah utilitas gratis yang memungkinkan Anda untuk sementara mengunci komputer Anda ketika Anda harus menjauh dengan menggunakan flash disk USB sebagai kunci. Pertama kali Anda menjalankan Predator, Anda harus menginstal “kunci” pada flash disk. Selama flash disk dicolokkan ke komputer, komputer Anda tidak terkunci. Saat Anda mengambil flash disk komputer Anda akan terkunci.
    predator hong.web.id
    Keyboard dan mouse tidak aktif dan layar akan digelapkan. Tidak ada cara untuk mengakses PC kecuali Anda mencolokkan USB flashdisk kembali ke komputer. Setelah flash disk kembali di tempat, komputer kan dibuka. Predator juga akan menglog semua peristiwa ke dalam sebuah file .log sehingga Anda dapat melihat apakah ada yang mencoba secara tidak sah masuk ke PC Anda, atau keluar program. Hal terbaik tentang Predator, Anda dapat mengunci beberapa PC dengan menggunakan flash disk tunggal.
  6. BtProx adalah program gratis, aplikasi Windows open source yang mengambil keuntungan dari kemampuan dasar Bluetooth untuk mendeteksi perangkat Bluetooth untuk secara otomatis mengunci komputer Windows Anda setiap kali Anda menjauh dari komputer anda.
    Btprox hong.web.id
    Untuk menggunakannya, Anda harus mempunyai Bluetooth ponsel atau perangkat yang cocok dan memasangkannya ke komputer Anda. BtProx berjalan pada system tray dan terus mengecek untuk memastikan bahwa telepon Anda berada dalam jangkauan. Jika Anda berjalan jauh dari komputer Anda dan di luar jangkauan perangkat Bluetooth, BtProx akan mengaktifkan screensaver untuk mengunci layar Anda atau bahkan menjalankan program pilihan Anda.
    btprox2 hong.web.id
    Salah satu kelemahan dari aplikasi ini adalah bahwa Bluetooth harus terus diaktifkan setiap waktu yang secara signifikan dapat menguras baterai ponsel Anda.
Demikian beberapa cara untuk mengunci komputer anda pada saat anda meninggalkanya di ruangan kantor, dll
Semoga bermamfaat.

1
BAHASA INDONESIA SEBAGAI PENGHELA ILMU PENGETAHUAN DAN
WAHANA IPTEKS; PEMBENTUKAN ISTILAH SEBAGAU SALAH SATU
USAHA MEWUJUDKANNYA
Oleh Andi Sukri Syamsuri
I.Pendahuluan
Ipteks saat ini merupakan kata kunci bagi keberhasilan pembangunan
suatu bangsa. Perjalanan sejarah serta pengalaman beberapa negara
ternyata inovasi teknologi merupakan salah satu aspek yang memiliki daya
dorong yang sangat tinggi bagi daya saing suatu bangsa. Hal ini
menunjukkan pergeseran yang besar dalam paradigma pembangunan suatu
negara, yang semula hanya mengandalkan sumber daya alam sebagai
tumpuan pembangunan berubah menjadi sumber daya manusi dan sumber
daya Iptek. Beberapa negara maju bahkan sudah lama menjadikan Iptek
sebagai pendukung atau dalam pembangunan bangsa. Hal ini menunjukkan
betapa sangat berperannya teknologi dan informasi dalam pembangunan
suatu bangsa.
Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat juga ingin memiliki sumber
daya manusia dan sumber daya Iptek berkualitas sebagaimana dengan
negara-negara maju. Untuk mewujudkan hal itu, salah satu variabel
pendukung adalah alat komunikasi berupa kemapanan dan kemantapan
bahasa. Putro (2012:5) mengemukakan bahwa: (1) Pengembangan Iptek
tersebut berhasil apabila pengimplementasiannya mengakar kuat pada
kelompok-kelompok masyarakat yang relevan untuk itu dibutuhkan
kemantapan bahasa yang secara komunikatif mampu mengomunikasikan
proses adopsi dan sosialisasinya. (2) Bahasa Indonesia dipandang mantap
bila mampu memanfaatkan teknologi komunikasi modern untuk peningkatan
dan mobilitas kapasitas sumber daya manusia.
2
Substansi Ipteks dapat diadopsi dan disebarluaskan secara cepat
melalui media bahasa khususnya yang mampuh mengejewantahkan konsepkonsep
Ipteks. Bila ditilik bahasa Inggris, keutamaan yang dimiliki oleh
bahasa tersebut karena mampu menjadi alat komunikasi resmi dan ipteks
dijagat ini dan bahkan menjadi alat penyampaian teknologi. Oleh karena itu,
bahasa Indonesia patut untuk diletakkan pula sebagai bahasa yang mampu
menjadi penarik “penghela” ilmu pengetahuan dan menjadi wahana Ipteks.
Kenyataan menunjukkan bahasa Indonesia tidak mempunya
perangkat yang cukup, yang secara cermat dapat dirinci perbedaan konsep
(Moeliono, 1985: 58) misalnya yang dilambangkan dalam bahasa Inggris.
Menurutnya, salah nalar yang mendasarinya merupakan simpulan yang
diambil oleh penutur bahwa kata yang diperlukan tidak terdapat dalam kosa
kata perbandingan. Dengan kesalahan itu, apa yang tidak dikenalnya adalah
diaggap tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.
Demikian pula dengan bidang jurnalistik, Asraatmadya dalam Sugono,
(2003:86) mengemukakan bahwa jurnalistik Indonesia telah kebanjiran katakata
impor, dan bahasa asing menurutnya, gejala ini tidak semata-mata
kesalahan wartawan saja tapi oleh banyaknya istilah baru yang belum
dijumpai padanannya yang tepat atau mudah dimengerti dalam bahasa
Indonesia.
Dengan memerhatikan hal tersebut, bahasa Indonesia perlu diletakkan
dalam bingkai perencanaan bahasa yang lebih matang dan terencana.
Bahasa Indonesia diletakkan menjadi penarik “penghela” ilmu pengetahuan
dan menjadi wahana ipteks. Salah satu yang dapat diwujudkan adalah
perencanaan bahasa Indonesia bidang peristilahan (pembentukan istilah).
Hal ini disadari sepenuhnya bahwa perubahan bahasa yang sungguh
mencolok ialah bidang peristilahan dan paling peka terhadap perubahan
kehidupan.
3
II. Pengertian Penghela dan Pembentukan Istilah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia penghela diartikan sebagai
penarik. Oleh karena itu, untuk menjadikan bahasa Indonesia menjadi
penghela ilmu pengetahuan perlu memiliki kekuatan penuh sehingga mampu
untuk menarik sesuatu benda atau semacamnya.
Hukum Newton menegaskan untuk mendorong sebuah benda atau
sejenisnya menjadi penarik bila gaya (F) benda pendorong lebih besar dari
pada gaya (F) benda yang akan didorong. Oleh karena itu jika bahasa
Indonesia akan dijadikan penarik ilmu pengetahuan dan media/wahana
teknologi maka perlu memiliki kekuatan atau kemantapan.
Hukum Coulomb juga menggariskan bahwa magnet bisa memiliki
kekuatan menarik benda lain karena memiliki medan magnet. Dengan
demikian, kekuatan bahasa Indonesia memiliki daya tarik tersendiri sehingga
penutur berminat menggunakannya. Salah satu bentuknya adalah perlu
perencanaan bahasa dalam aspek peristilahan
Perencanaan bahasa Indonesia sangat berpengaruh dalam
menentukan arah dan perkembangan bahasa agar sesuai dengan yang
diinginkan sehingga bahasa itu mampu menjadi penarik ilmu pengetahuan
dan wahana Ipteks di tengah masyarakat termasuk pembentukan istilah
bahasa Indonesia.
Istilah adalah lambang linguistik yang berupa huruf, bentuk bahasa,
atau gabungan beberapa bentuk bebasa yang gramatis dan sistematis, yang
mengandung timbunan konsep atau objek khas dalam bidang tertentu yang
bernilai komunikatif (Wuster, 1931:150, 1961;JKTBN. 1975, Felber, 1984;
Picht dan Draskau, 1986; Kamus Dewan 1986).
Istilah (Pedoman Umum Pembentukan Istilah) ialah kata atau gabungan
kata yang dengan cermat mengungkapkan dengan makna, konsep, proses,
keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu.
4
Pembentukan istilah adalah usaha mencipta atau menggubal kata
baru, terutamnya untuk menyampaikan ilmu pengetahuan khusus dalam
suatu bidang ilmu atau profesional (Dewan Badan Pustaka Malaysia, diakses
19 September 2013) Laman Website.
Jadi pembentukan istilah bahasa Indonesia merupakan proses
penciptaan istilah yang dibangun oleh kata atau frase yang dengan cermat
mengungkapkan gagasan, sifat, keadaan, dan proses yang luas dalam
bidang tertentu termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni.
Kridalaksana (1985:55) mengemukakan pembentukan istilah dalam suatu
bahasa dapat dilakukan dengan:
1. Mengambil kata atau frase umum yang diberi makna tertentu dalam
bahasa Indonesia, misalnya kata garam nama zat ini dapat diambil
ilmu pengetahun. Ilmu kimia misalnya dan diberi makna tertentu.
2. Membuat kombinasi dari kata-kata umum.
3. Membentuk kata turunan dari kata dasar yang umum.
4. Membentuk kata turunan dengan analogi.
5. Pinjam/terjemahan.
6. Pembentukan istilah dengan singkatan.
7. Mengambil alih dari bahasa asing/daerah.
Dalam pengambilalihan istilah dari bahasa lain, Kridalaksana
menawarkan dua prosedur: (1) menerjemahkan ungkapannya dengan tidak
mengubah makna; (2) peminjaman istilah itu dengan penyesuaian dalam
bentuk ungkapan-ungkapannya.
III. Hakekat Kehadiran Istilah
5
Hakikat kehadiran istilah bahasa Indonesia sesungguhnya adalah (a)
mengisi kekosongan, (b) menambah variasi kesinoniman, (c) memutasi istilah
lain.
A.Mengisi Kekosongan
Mengisi kekosongan dimaksudkan sebagai bentuk kehadiran istilah
yang sifatnya mengisi ketiadaan istilah Bahasa Indonesia. Berikut ini
pemunculan istilah yang mengisi kekosongan sebagai berikut.
Istilah Bidang Politik
Cuplikan tulisan bidang politik yang berjudul “Menuju Masa Mengambang
Jilid Dua?” Majalah Suara Muhammadiyah yakni:
Reformasi yang dulu gegap gempita dan disambut penuh gairah
karena menjanjikan perubahan politik yang signifikan kini kian
menjadi samar-samar dan gemanya hilang. Yang justru terjadi adalah
pengulangan sejarah yang terlalu cepat. Para politisi sipil lengkap
bersama partainya tengah ramai-ramai mempermalukan dirinya atau
dipermalukan terus menerus karena prilakunya yang jauh dari harapan
masyarakat. Proses pembusukan lembaga politik pelan-pelan
berlangsung, mengingat kondisi pada saat akan terjadinya dekrit
presiden tahun 1959, dimana demokrasi parlementer wakru itu tengah
mempermalukan dirinya…perilaku para politisi yang korup sehingga
demokrasi terpimpin layak dikibarkan. (SM. NO. 09 Th Ke-90)
Istilah politik yang ditemukan pada cuplikan di atas yakni reformasi,
politik, signifikan, politisi sipil, pembusukan lembaga politik, demokrasi,
parlemen, politisi korup, dekrit, dan demokrasi terpimpin. Istilah di atas
ini merupakan serapan dari istilah asing serta bentuk penerjemahan dari
bahasa asalnya.
Istilah politik, politisi sipil, demokrasi, dan dekrit merupakan istilah yang
mengisi kekosongan. Istilah ini hadir karena tidak memiliki padanan dalam BI.
6
Dalam konteks bidang politik Indonesia era runtuhnya Orde Baru,
istilah baru banyak yang tercipta. Kehadiran istilah tersebut sebagai
kebutuhan pemakai bahasa dalam pencerminan realitas masyarakat dewasa
ini.
Haliday dan Hasan (1994 : 13) memperkenalkan istilah teks dalam
konsep bahasa sebagai “semiotic social” teks merupakan bahasa yang
sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi.
Santoso (2003:17) menggariskan bahwa teks bisa hanya berupa satu
kata, satu kelompok kata…yang terpenting bahwa unit bahasa itu berada
dalam konteks dan membawakan suatu fungsi sosial tertentu. Jadi teks
adalah kata/istilah/ bahasa yang sedang melaksanakn tugas untuk
mengekspresikan fungsi atau makna sosial dalam konteks situasi dan
konteks kultural
Istilah status quo merupakan simbol dari pemerintahan Orde Baru
yang berkuasa. Konsep tentang status quo telah dikenal namun istilah ini
muncul kemudian. Istilah status quo diperkenalkan setelah tumbangnya
rezim Suharto. Elit politik Orde Baru tidak pernah menggunakan istilah
ini,justru pascaordebarulah istilah ini mulai mencuat dengan frekuensi
penggunaan yang produktif.
Otonomi dalam budaya masyarakat Indonesia telah lama dikenal
sebagai konsep kemandirian mengatur diri sendiri. Konsep ini dapat dilihat
pada perlakuan terhadap Daerah Istimewa Jogjakarta pada era praorde Baru
ditumbangkan. Lebih jauh lagi, konsep kerajaan kecil sebelum kemerdekaan.
Kerajaan Gowa, Bone, dan Malaka telah memberikan kewenangan sendiri
pada kerajaan – kerajaan di bawah pemerintahan. Jadi konsep otonomi telah
ada atau pemaknaan pada konsep telah ada, hanya saja istilah atas konsep
itu baru dilahirkan kemudian.
Konsep demokrasi telah dikenal masyarakat Indonesia jauh sebelum
republik ini ada. Abad ke–16, Tanah Wajo ( Kerajaan Wajo ) telah
7
menjunjung tinggi konsep demokrasi, tidak mementingkan keturunan dalam
memimpin kerajaan, tetapi lebih pada adat yang demokratis. ( Farid,
1979:14). Dengan demikian, konsep demokrasi telah dikenal sebelum kata itu
dilahirkan pada masyarakat Indonesia.
Hal ini terjadi pula pada istilah visi. Visi dalam BI sebagai kata benda
diartikan pandangan atau wawasan ke depan. Konsep visi telah dikenal oleh
masyarakat Indonesia, namun istilah ini baru hadir pascalengsernya Presiden
Suharto. Istilah ini lebih produktif pemakaiannya menjelang suksesi
kepemimpinan pada setiap institusi di Indonesia dewasa ini.
Bidang Teknologi
Istilah bidang teknologi dapat dilihat pada cuplikan jurnal teknologi
Universitas Indonesia, makalah yang berjudul “ Persamaan dan Perbedaan
Elemen Pelat Lentur MZC dan DKQ untuk Bentuk Rektangular karya Irwan
Katili”.
Pada umumnya teori orde primer pelat luntur, ada dua teori dasar
pengembangan elemen hingga yang pertama berbasiskan pada teori
pelat tipis Kirchoff (1) yang mengabaika deformasi geser
transversal.yang kedua adalah yang berbasiskan pada tori pelat tebal
Reissnermindlin (2,3) yang memperhitungkan deformasi
gesertransversal. Tidak seperti teori pelat Kirchoff yang
membutuhkan kontinuias C1, teori pelat Reissner hanya
membutuhkan kontinuitas C0 untuk aproksimasi variabel
kinematisnya( Jurnal Teknologi UI, 2005)
Bila dititik secara cermat, maka beberapa kosakata yang ada
merupakan unsur serapan dari bahasa asing. Istilah yang dimaksudkan
adalah teori,orde primer pelat lentur, pelat tipis, deformasi gesr
transversal, pelat tebal, kontinuitas, aproksimasi, variabel, dan
kinematis istilah teori, orde primer, variabel, deformasi, transversal,
aproksimasi, kinematis merupakan istilah yang tersaring dari mengisi
kekosongan. Istilah tersaring ini dapat terjadi karena tidak memiliki padanan
dalam BI.
8
Istilah Kebudayaan
Bahagian ini menyajkan cuplikan bidang kebudayaan, seperti yang ditulis
oleh Eko Surian Priyanto dengan judul “Tarian dan Cerita Pun Ada
Ditubuhnya” sebagai berikut:
sebuah pertunjukan otobiografi bermetafor teaterikal penting
untuk didiskusikan, karena selain sebagai seni yang menyuguhkan
inverse pribadi juga menyeka pada kasus-kasus seni pertunjukan
seni terkini, seperti seni pertunjukan feminis, seni pertunjukan
akademis, dan seni pertunjukan otobiografi itu sendiri. Pada
kerja tubuh literal ini, otobiografi menyuguhkan kita revolusi
yang sejujurnya pada sebuah inner dan privat daripada
dramatisasi panggung atau pesona public Jurnal Gong No.
64/VI/2004:14)
Cuplikan di atas memuat istilah bidang budaya yakni otobiografi,
bermetafor, teatrikal, inverse, feminis, akademis, literal, revolusi, privat,
dramatisasi, dan publik. Beberapa istilah tersebut pun dimiliki atau
digunakan pula di bidang lain, antara lain istilah inverse. Akadmemis,
literal, revolusi, privat, dan public. Istilah yang tertera di atas merupakan
bentuk serapan bahasa asing yang telah disesuaikan dengan pelafalan BI
kecuali istiliah inverse.
Istilah yang terjaring dalam jalur mengisi kekosongan adalah teaterikal,
inverse, dan literal, akademis dan revolusi.
B. Menambah Variasi Kesinoniman
Menambah variasi kesinoniman yang dimaksudkan bahwa istilah
yang lahir sesungguhnya hanya menambah perbendaharaan/sinonim dari
istilah yang sudah ada dalam bahasa Indonesia.
Dalam pandangan Fairclough (1989: 116) disebutkan kehadiran katakata
tertentu dalam hubungannya dengan relasi maknanya sering memiliki
signifikasi ideologis. Makna yang sering memiliki signifikasi ideologis meliputi
sinonim.
9
Menurut Richard, Platt dan Platt (1992: 368) disebutkan bahwa
sinonim adalah sebuah kata yang memiliki makna yang sama atau hampir
sama dengan kata yang lainnya. Secara luas kriteria kesinoniman: (1)
sinonim berkaitan dengan istilah dengan acuan ekstralinguistik yang sama;
(2) sinonim berkaitan dengan istilah-istilah yang mengandung makna yang
sama; (3) sinonim berkaitan dengan istilah-istilah yang dapat disubtitusi
dalam konteks yang sama.
Istilah yang terjaring dalam jalur menambah variasi kesinoniman
disebabkan oleh; (1) keinginan memperjelas makna atau gagasan yang ingin
disampaikan; (2) ada maksud tertentu yang tidak semua orang harus
mengetahuinya; (3) sebuah kekhasan institusi dan perseorangan; dan (4)
penghalusan.
Istilah yang muncul karena keinginan memperjelas gagasan yang
ingin disampaikan dapat dilihat seperti contoh berikut ;
lentur diperjelas dengan istilah fleksibel.
mendengarkan diperjelas dengan istilah menyimak.
mendunia diperjelas dengan istilah mengglobal.
sarah diperjelas dengan istilah atom.
penyambung aliran diperjelas dengan istilah konduktor.
pengosongan diperjelas dengan evakuasi.
Istilah yang muncul karena maksud tertentu dalam arti, tidak ingin
diketahui oleh khalayak misalnya;
Bajumu terlalu transparan (menggantikan kata tembus pandang)
Figur yang tidak punya komitmen (teguh pada janji).
Namun dalam era sekarang, pada bidang ini tidak terlalu produktif
karena dipengaruhi oleh sikap euphoria atau kegembiraan yang meluap-luap
akibat reformasi.
10
Istilah yang lahir sebagai sebuah khas atau ciri sebuah institusi,
waktu, atau orang per orang. Jadi, istilah itu merupakan kekhasan bagi
institusi atau orang per orang. Misalnya;
nuansa pagi sinonim berita pagi
diskualifikasi sinonim dikeluarkan ciri sepak bola (RCTI)
Istilah yang lahir sebagai bentuk penghalusan dari kata yang lain.
Misalnya;
pemisahan atau pengucilan dari kelompoknya menjadi diisolasi.
perbaikan/penataan ulang menjadi restrukturisasi.
terlepas menjadi disintegrasi.
dicampuri menjadi diintervensi.
diubah/ditata ulang menjadi diamandemen.
Diperiksa dalam hal keuangan menjadi diaudit.
C. Memutasi Istilah lain
Mutasi dapat diartikan sebagai bentuk pergantian (KBBI : 7668).
Dalam peristilahan, gejala pemutasian kata BI sering terjadi khususnya
penggantian posisi istilah-istilah yang telah lama atau yang tidak berterima
lalu tergusur atau dimutasi oleh kata atau istilah baru. Hal ini merupakan ciri
kedinamisan bahasa.
Salah satu ciri kedinamisan bahasa dapat diukur melalui kehadiran
atau perkembangan istilah. Istilah yang muncul kadang-kadang menganti
atau menggusur kata lain. Dalam BI, gejala ini juga telah didapati khususnya
pada konteks-konteks tertentu.
Istilah yang telah mengalami pemutasian misalnya.
lembaga pemasyarakatan memutasi kata bui
wisatawan memutasi kata pelancong atau turis.
invasi memutasi kata pendudukan.
11
Istilah lembaga pemasyarakatan merupakan pengganti kata bui.
Kedua istilah ini secara semantik sama, akan tetapi nilai eufumisme lebih
menonjol serta nuansa pemaknaan simbol pembinaan melahirkan proses
pemutasian pada kata bui di tangan penuturnya. Dewasa ini lembaga
pemasyarakatan mengarah kepada pembinaan atau bimbingan, baik segi
keterampilan maupun mental. Sedangkan kata bui terkait dengan
pemahaman pemberian ganjaran yang berlebih-lebihan, kekerasan, dan
pemberlakuan hukum rimba.
Kata wisatawan memutasi kata pelancong. Bentuk ini disebabkan
oleh akibat dari kekerapan menyebut istilah wisata sehingga memudahkan
pengucapan wisata daripada pelancong. Selain itu, sikap analogi penutur BI
yang sangata menonjol, yakni analogi kata hartawan, dermawan, wartawan,
dan wisatawan.
Memerhatikan istilah yang lahir baik sebagai pengganti kekosongan,
menambah variasi sinonim, maupun memutasi kata lain memiliki implikasi
terhadap masyarakat maupun bahasa itu sendiri. Implikasi negatif yang
dimaksudkan adalah: (1) kebebasan mutlak dalam menghadirkan istilah
tanpa memperhatikan etika dan politik BI. Oleh karena itu, peran norma atau
polisi kebahasaan harus diperkukuh berupa penegasan oleh pihak yang
berkompoten. Bila hal ini tidak diperhatikan, maka dapat merusak sistem dan
gramatika kebahasaan. (2) Pengaburan makna bagi pembaca awam yang
disebabkan oleh istilah itu belum terekam dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia atau Kamus Istilah Bahasa Indonesia. Inilah tantangan berat yang
dihadapi oleh pembaca awam apabila menjumpai istilah baru belum dipahami
maknanya. Oleh karena itu, hendaknya sosialisasi kamus atau bank istilah
harus diseriusi oleh pihak pemerintah atau institusi yang berwewenang.
Adapun implikasi positifnya berupa (1) membawa konsep baru pada
budaya dan masyarakat indonesia (2) mengangkat BI menjadi bahasa yang
12
mampu sejajar dengan bahasa lain yang telah modern, (3) memperkaya
khazanah peristilahan BI.
IV. Aspek Penting dalam Mewujudkan Bahasa Indonesia menjadi
Penghela Ilmu Pengetahuan dan Wahana Ipteks Khususnya dalam
Pembentukan Istilah
A. Bahasa Indonesia hendaknya diberi kesempatan membuka diri guna
menerima istilah bahasa lain.
Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang terbebas dari pengaruh
bahasa lain. Apalagi era globalisasi dan transparansi ini sangat cepat
sehingga arus informasi dapat dengan cepat masuk ke semua negara. Oleh
karena itu, tidak ada satupun bahasa di dunia ini yang tidak memerlukan
bahasa lain. Suatu bahasa tidak mungkin dapat mengungkapkan semua
konsep berdasarkan khazanah kosakatanya sendiri. Bahasa Inggeris yang
dikenal sebagai bahasa dunia pun dalam perkembangan kosakatanya
banyak menyerap dari bahasa Yunani, Latin, dan Perancis. Oleh karena itu,
bahasa Indonesia pun harus membuka diri menyerap kosakata dari bahasa
lain seperti bahasa Inggeris atau bahasa daerah.
Istilah Bahasa Indonesia dewasa ini sudah mulai cenderung
mengikuti tatanan realitas kehidupan. Oleh karena itu, istilah yang lahir
merupakan cermin dari konsep tatanan hidup masyarakat pemakainya.
Dengan demikian, istilah itu cenderung berubah mengikuti derap perubahan
yang muncul pada tatanan kehidupan masyarakat pemakainya.
Istilah BI yang dikenal sekarang sudah tentu menunjukkan adanya
perbedaan dari istilah BI pada setengah abad yang lalu. Perbedaan tersebut
muncul karena adanya perbedaan tatanan hidup.
Untuk mengikuti derap langkah perubahan masyarakat penduduknya,
dasar dan arah kebijakan pengembangan istilah BI harus berdasarkan situasi
kebahasaan yang aktual sehingga menghasilkan istilah BI yang dapat
menjalankan fungsinya dengan baik.
13
B. Peristilahan bahasa Indonesia menjadi media pendidikan karakter.
Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan atau akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. (KBBI:623).
Lickona menyebutkan karakter adalah kepemilikan akan hal hal yang baik
(2012:13). Dalam Oxford Advanced Leaners Dictionary disebutkan bahwa
karakter adalah nilai totalitas yang menjadi ciri seseorang yang berbeda
dengan orang lain. Menurut Crisiana dalam Tolla (2013:6), ada enam jenis
karakter yang dikembangkan dalam pendidikan karakter,yaitu (1) bentuk
karakter yang membuat seseorang menjadi berintegras, jujur, dan loyal, (2)
bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka dan
tidak suka memanfaatkan orang lain, (3) bentuk karakter yang membuat
seseorang memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun
kondisi social lingkungan sekitar, (4) bentuk karakter yang membuat
seseorang selalu menghargai dan menghormati orang lain, (5) bentuk
karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peraturan serta peduli
terhadap lingkungan alam, dan (6) bentuk karakter yang membuat
seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu
dengan sebaik mungkin.
Tolla dengan tegas menyebutkan bahwa butir butir nilai kemanusiaan
yang tercakup dalam kutipan tersebut yang mencirikan sebagai manusia
berkarakter dapat ditumbuhkembangkangkan melalui bahasa yang
berkarakter. Sekalipun ada media lain seperti lingkungan alam, pergaulan,
dan lain lain, tetapi diyakini tidak akan sedalam dengan karakter yang
ditumbuhkan oleh bahasa. (2013:7)
Dengan demikian, nilai-nilai karakter terinternalisasi ke dalam diri
manusia melalui bahasa. Bahasa mempunyai peranan sangat penting dalam
pembentukan karakter.
14
Seorang guru haruslah senantiasa membangun komunikasi dengan
siswanya menggunakan media bahasa (peristilahan) dengan bahasa yang
santun,bermartabat, halus, dan bermuatan kasih saying. Orang tua
seyogyanya menjalin komunikasi dengan anak anaknya dengan bahasa yang
santun karena anak akan terekam dalam LAD mendasari terbentuknya
kepribadian dasar anak. Kepribadian dasar ini mewarnai karakter anak
hingga usia lanjut. Penutur bahasa Indonesia juga diharapkan berinteraksi
dengan bidang apa saja, termasuk dalam bisnis, dengan orang orang yang
ada di sekelilingnya dengan menggunakan bahasa yang santun sehingga
mampu menciptakan suasana yang nyaman dengan lingkungannya. Lickona
(2012:35) jika Anda tidak memiliki karakter dalam berbisnis, maka Anda tidak
akan memiliki semangat tim. Karakter memengaruhi bagaimana Anda
memperlakukan rekan Anda dan bagaimana Anda memperlakukan
pelanggan Anda. Ketika tanpa karakter, maka Anda menjadi korupsi. Orang
yang hanya memandang diri mereka sendiri saja.
Jadi, peristilahan bahasa Indonesia hendaknya merekam istilah yang
santun atau positif sehingga mampu menjadi media yang dapat mengurai
dan menjelaskan nilai nilai kemanusiaan pada penutur bahasa Indonesia
selain itu, mampu melahirkan kesantunan berbahasa.
C. Peristilahan BI hendaknya memerhatikan efisiensi, kebergunaan,
estetika, dan Baku.
1. Prinsip Efesiensi
Prinsip efesiensi adalah penyerapan istilah asing yang lebih singkat
daripada istilah dalam padanan BI. Pelafalannya lebih mudah dan dapat
dilakukan dengan menyerap melalui penyesuaian ejaan, atau menyerap
secara utuh, atau menyerap bentuk dasar dalam keperluan bersistem.
Contoh istilah yang bersistem:
15
rasionalisasi : dirasionalisasikan; perasionalisasian
sinergi : bersinergi; tersinergi; kesinergian
simbol : penyimbolan; disimbolkan
modifikasi : termodifikasi; dimodifikasikan
estimasi : diestimasi; pengestimasian
Istilah rasionalisasi menggantikan pengurangan pegawai. Istilah
rasionalisasi lebih efisien dibandingkan dengan padanan dlam BI. Bahkan
istilah ini lebih mudah diberdayakan dalam berbagai kategori istilah, seperti
dirasionalisasikan; perasionalisasian.
Istilah sinergi dipadankan dengan kegiatan yang seiring. Istilah ini
lebih singkat dibandingkan dengan padanan dalam BI. Malah, istilah sinergi
dapat diberdayakan dalam bentuk yang efisien seperti bersinergi;
disinergikan.
Demikian halnya istilah estimasi, modifikasi, dan simbol. Ketiga istilah
ini lebih ringkas dibandingkan dengan padanan dalam BI.
2. Kebergunaan
Kebergunaan adalah kemampuan istilah untuk menjelaskan maksud
dan makna secara jernih tanpa menimbulkan kerancuan dan ambiguitas. Jadi
istilah yang berterima adalah istilah yang dapat memenuhi syarat komunikasi
dengan jelas, jernih, lugas, tidak ambiguitas, merinci yng generik dan abstrak.
Contohnya :
reformasi : penataan kembali
ion : gugus atom
sedimentasi : proses pemisahan zat padat
celcius : satuan temperatur suhu
bursa efek : tempat saham dan diperjualbelikan
Istilah reformasi memberikan makna sepadan dengan penataan
ulang, pembaharuan atau perbaikan berbagai bidang. Istilah ini lebih
16
mengkhusus dan tidak menimbulkan makna perubahan cepat yang
menyeluruh atau istilah revolusi.
Sedimentasi menguraikan makna proses pemisahan zat padat,
dengan jelas memberikan keterangan makna yang tidak ambiguitas.
Demikian halnya istilah celcius dan bursa efek.
Indikator kebergunaan ini menyaratkan munculnya istilah-istilah
khusus yang merujuk pada makna denotatif.
3. Antar-terjemah (intertranslatabilitas)
Intertranslatabilitas adalah bentuk penerjemahan timbal balik antara
dua bahasa atau lebih dalam berjenis ragam wacana. Prinsip ini
memudahkan para pemakai bahasa untuk merunut bentuk asalnya dan
dikenali kembali istilah aslinya beserta makna konsepnya.
Misalnya :
komputer : komputer
rangsum : makanan ternak
performansi : penampilan
narasi : penceritaan
4.Baku (standar)
Kebakuan istilah (standar) menjadi salah satu indikator kewibawaan
istilah itu dalam masyarakat. Kebakuan istilah dimaksudkan
penstandardization istilah yang telah memenuhi standar diksi, semantis, dan
ejaan yang ditetapkan oleh pengambil keputusan kebahasaan. Istilah-istilah
yang memenuhi standar kebakuan lazimnya dapat dilihat pada KKBI.
Pembakuan istilah pada esensinya adalah untuk mengembangkan
komunikasi efektif yang serba tepat, yang tidak hanya antarilmuwan, akan
tetapi melibatkan pemakai bahasa. Pengistilahan tidak hanya diperlukan oleh
pengalihbahasa, penerjemah, dan penafsir, sebab evolusi yang dibawa oleh
tegnologi infrmasi dan komunikasi telah tersajikannya budaya serta
peradaban asing yang langsung ke dalam rumah tangga tanpa dapat
17
dibendung sama sekali. Oleh karena itu, pembakuan istilah BI menjadi
penyaring dalam memisahkan kemaslahatan dari yang penuh kemudratan.
5.Estetis (Nilai Keindahan)
Istilah BI terkait dengan perasaan, baik perasaan dalam
pengucapannya maupun dalam perasaan mendengarkan. Persaan yang
enak didengar dan diucapkan bisa membentuk keterbiasaan pemakaiannya.
Dengan demikian, istilah yang sering digunakan (berterima) adalaha istilah
yang bernilai estetis atau indah didengar/diucapkan. Misalnya;
koruptor mengganti istilah perampok Negara
poligami mengganti istilah menduakan
snack mengganti istilah kudapan
efektif mengganti istilah mangkus
efisien mengganti istilah sangkil
D. Istilah mampu menggambarkan tentang realitas termasuk Konsep
Ipteks.
Berdasarkan semiotic social Halliday, seperti yang dikemukakan
pada pembahasan sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa istilah itu harus
mampu menggambarkan realitas kehidupan. Istilah itu mampu merekam dan
membawa gambaran tentang kehidupan pada zaman itu. Istilah yang mampu
merekam realitas kehidupan, tentu sangat berguna bagi masyarakat bahasa
yang akan menuturkan tentang realitas kehidupan itu. Masyarakat bahasa
akan manggunakan istilah itu dalam membicarakan atau menyampaikan
informasi mengenai realitas kehidupan itu termasuk konsep tentang Ipteks.
Sebagai masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan
baik di bidang sosial, politik, ekonomi,teknologi, dan lain-lain, dapat dilihat
kemunculan istilah-istilah baru yang merebak. Istilah-istilah tersebut merekam
18
dan membawa makna atau arti tentang kondisi mesyarakat Indonesia saat
ini.
Indonesia, setelah dilanda krisis ekonomi, muncul beberapa kosakata
politik yang mencerminkan kondisi sosial politik pada waktu itu. Menjelang
dan setelah turunnya Pak Soeharto menjadi presiden, kosakata politik kunci
yang berkembang di dalam wacana politik nasional adalah reformasi,
kolusi, korupsi, dan nepotisme. Bidang ekonomi misalnya, memunculkan
istilah krismon (krisis moneter), sembako (Sembilan bahan pokok),
likuidasi, rekapitulasi, dan banyak istilah lain.
Pergantian Presiden Republik Indonesia dari Ibu Hj. Megawati
Soekarno kepada Bapak Dr.H. Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap
kondisi pemilihan yang sah dan meyakinkan karena pemilihan langsung oleh
seluruh rakyat Indonesia sehingga memunculkan kosakata politik legitimasi,
konstitusional, inkonstitusional. Istilah ini berkembang karena sebagian
masyarakat menganggap masa sebelumnya tidak mengikuti demokrasi yang
sesungguhnya. Bapak SBY mendapat legitimasi dari masyarakat.
Masyarakat yang setuju terhadap pemilihan presiden waktu itu sehingga
dianggap bahwa pergantian presiden itu konstitusional dan masyarakat
tidak setuju kalau dianggap inskonstitusional.
Demikian pun istilah yang lain seperti provokator yang muncul
akibat kasus perang kelompok akhir akhir ini dan masih banyak istilah-istilah
lain yang berkembang.
Saat ini, kita sedang berada di zaman yang menakjubkan, yaitu
revolusi teknologi informasi. Kecanggihan teknologi informasi membuat dunia
menjadi begitu kecil dan tiada batas. Alvin Toffler menamakan zaman
teknologi informasi sebagai gelombang ketiga. Mencermati hal itu,
peristilahan bahasa Indonesia hendaknya merekam konsep konsep ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni sehingga mampu menyebarluaskan
kepada penutur atau pemakai bahasa Indonesia.
19
Dengan demikian, istilah yang berkembang baik langsung maupun
tidak langsung mengungkapkan kondisi (realitas) termasuk konsep ipteks
maka dengan sendirinya menjadikan istilah bahasa Indonesia sebagai
penghela Ilmu pengetahuan dan media Ipteks.
E. Istilah bahasa Indonesia harus berada dalam pusaran peradaban.
Keunggulan yang dimiliki bahasa Inggris dewasa ini adalah bahasa
tersebut memiliki nilai jual yang tinggi/”berprestise”. Bahasa Inggris
merupakan sebuah bahasa yang menjanjikan bagi penuturnya. Ketika
penutur mampu menggunakan bahasa Inggris sangat diyakini bahwa penutur
itu tentu memiliki jaminan hidup yang menjanjikan.
Peradaban teknologi telah terekam dalam istilah bahasa Inggris
sehingga tatkala orang ingin belajar tentang teknologi tentu harus belajar
bahasa Inggris. Hal ini terjadi karena pusaran kemajuan peradaban, baik
bidang teknik maupun kemajuan bahasa Inggris menjadi ragam bahasa yang
dominan dalam pusaran itu. Ferguson dan Dill (1979) dalam hipotesisnya
satu diantaranya menyebutkan bahasa yang dominan di pusat pembangunan
cenderung menjadi bahasa resmi yang dominan untuk komunikasi pada taraf
nasional. Bahkan lebih jauh dikatakan bahwa makin banyak penutur bahasa
itu secara mandiri melakukan kegiatan itu, makin cepat bahasa
pembangunan itu akan mendesak kedudukan bahasa asing yang
sebelumnya dipakai. Pernyataan itu dapat ditafsirkan bahwa bahasa yang
berprestise, bila para penuturnya mampu menjalankan atau memegang
peranan/kunci dalam peradaban manusia dewasa ini.
Oleh karena itu, pilihan yang harus dilakukan untuk menciptakan
bahasa Indonesia dan istilah bahasa Indonesia berprestise adalah (1) para
penutur BI hendaknya memiliki kualitas sumber daya yang tinggi, menjadi
pemegang kunci peradaban, baik teknologi, seni, ekonomi, dan lain-lain.
Artinya, bila kita ingin jadikan istilah bahasa Indonesia berprestise “bernilai
jual” ia harus berada pada pusaran peradaban teknologi yang tinggi.
20
Selanjutnya, pilihan (2) adalah istilah BI harus dimodernkan dengan
banyak mengambil/menyerap istilah-istilah asing yang mampu merekam dan
menerjemahkan peradaban ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, agama,
dan seni yang tinggi kepada para penuturnya. Dengan demikian, istilah itu
akan memiliki nilai jual yang tinggi.
F. Istilah itu tersebarluaskan melalui berbagai media.
Media massa pada umumnya, termasuk eletronik dan surat kabar,
banyak mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Kualitas kebudayaan
masyarakat dapat ditingkatkan atau sebaliknya dapat dirusak oleh media.
Demikian halnya dengan bahasa, kualitas keberterimaan istilah BI di tengah
masyarakat ditentukan pula oleh media. Media banyak bersentuhan
masyarakat. Alwasiah (1997 : 72) menyebut, 65 % dari penduduk Indonesia
ini merupakan generasi muda dan mereka dibesarkan oleh TV dan 66% dari
anak-anak usia 10 tahun lebih banyak nonton TV sedangkan 22,5%
membaca koran.
Media massa memiliki 3 fungsi yakni memberi informasi, mendidik,
dan memberi hiburan. Selain itu, Effendi dan Onang (1992) menambahkan
fungsi media massa adalah mempengaruhi, membimbing dan fungsi
mengeritik. Mencermati fungsi media massa, dapat dikatakan bahwa media
massa itu memiliki kekuatan/peran yang luar biasa terhadap suatu
masyarakat. Oleh karena itu, media masa harus selalu mengawal informasi
yang patut dikomunikasikan dan mana yang tidak patut.
Dengan melihat keberadaan media massa, dapat dikatakan bahwa
istilah yang cepat berterima adalah istilah yang terungkap melalui media
massa, karena media massa mampu dengan cepat menyebarluaskan istilah
hingga lapisan bawah masyarakat.
Dapat dicontohkan istilah-istilah berikut ini pada setiap laras bahasa
yang begitu cepat penyebarluasannya dan frekuensi pemakaiannya di tengah
masyarakat.
21
Bidang politik Bidang Sosial Budaya
eksodus audisi
kandidat dunia lain
kolusi eliminasi
korupsi paranormal
misi penampakan
money politics selebriti
nepotisme
platfrorm
poros tengah Bidang Ekonomi
provokator jaringan
reformasi krisis moneter
status quo likuidasi
visi likuidasi
voting restrukturisasi
Bidang Iptek
chatting
indeks
internet
facebook
ponsel
situs
sms
web site
Dengan memerhatikan contoh ini, dapat dikatakan istilah-istilah
tersebut telah berterima di tengah lapisan masyarakat karena kekerapannya
termuat dan terucap di media massa yang merupakan bagian dari revolusi
ilmu pengetahuan dan teknologi, yang Alvin Toftler sebutnya sebagai
gelombang sejarah ketiga peradaban manusia setelah gelombang penemuan
pertanian dan gelombang revolusi industri.
1) Menggalakkan perkamusan. Kamus merupakan kitab yang berisi
kandungan (entri dan keterangan) arti kata-kata (Purwadarminta: 1976).
22
Dengan demikian, kamus sesungguhnya berisi kandungan dan keterangan
yang diperlukan oleh penggunanya. Tiadalah arti akmus jika mampu
memenuhi keperluan penggunanya. Jadi, fungsi terpenting dalam
penggunaan kamus adalah tempat pencarian makna kata.
Barnhart (1967) pernah meneliti tentang penggunaan kamus di Amerika
Serikat, penelitian terhadap 56.000 orang mahasiswa lalu ia menemukan
bahwa kamus terutama dipakai untuk mencari makna suatu kata, selanjutnya
peringkat kedua tentang ejaannya, ditempat ketiga dan keempat adalah
sinonim dan cara pemakainnya serta peringkat kelima adalah etimologinya.
Dengan demikian, istilah yang dipergunakan oleh masyarakat tentu
istilah yang telah dipahami/diketahui maknanya, sedangkan istilah yang tidak
diketahui maknanya dapat diperoleh melalui kamus. Oleh karena itu, kamus
harus merekam istilah yang sedang dan akan dipakai oleh masyarakat
dengan penjelasan maksa yang tepat/dipahami berdasarkan etika atau
norma perkamusan.
2). Ketersediaan web site di internet berupa internet (web site) Bank
Data Peristilahan BI.
Alisjahbana (2000) yang mencirikan lima perubahan zaman. Saat ini,
kita sudah memasuki fase ketiga yaitu fase perkembangan teknologi
informasi. Perkembangan ini ditandai dengan hadirnya teknologi tinggi yang
dapat dikonsumsi dengan mudah dan murah oleh masyarakat. Teknologi
yang berkembang saat ini adalah teknologi yang berbasis jaringan (network).
Kemajuan ini dalam hitungan detik selalu mengalami perubahan yang
signifikan. Hasil perkembangan teknologi informasi yang menjadi primadona
saat ini adalah teknologi jaringan komputer dunia yang sering disebut
internet.
Mencermati peluang ini, pemerintah atau Pusat Bahasa, ataukah
instansi terkait sebaiknya menggunakan fasilitas teknologi informasi ini untuk
(1) dijadikan sebagai media penyebarluasan peristilahan/kosakata; (2)
23
sebagai tempat mengefektifkan pencarian makna atau istilah guna
pembelajaran/pemakaian kosakata BI; (3) membangun jaringan komunikasi
antara perancang korpus bahasa dan masayarakat pemakai bahasa.
Dalam kaitan dengan ini, pihak pemerintah dalam hal ini Pusat
Bahasa membuat web site di internet yang sewaktu-waktu bisa digunakan
oleh pengguna bahasa dalam mencari makna dan istilah. Oleh karena itu,
web site berisi bank data peristilahan beserta maknanya dan unsur-unsur
lainnya.
V Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dalam tulisan ini, simpulan yang
dapat ditarik sebagai berikut.
Pembentukan istilah bahasa Indonesia hakikatnya untuk (1)mengisi
kekosongan, atau (2) manambah variasi kesinoniman, atau (3) memutasi
istilah lain.
Pembentukan istilah bahasa Indonesia diharapkan mampu
mendukung bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan dan
wahana ipteks. Oleh karena itu perlu menjadi perhatian pada pembentukan
istilah BI dengan memerhatikan aspek berikut ini (1) BI hendaknya diberi
kesempatan membuka diri guna menerima istilah bahasa lain; (2) Peristilahan
BI mampu menggambarkan realitas kehidupan serta mengejawantahkan
konsep konsep Ipteks;(3) Peristilahan bahasa Indonesia menjadi media
pendidikan karakter;(4) Peristilahan bahasa Indonesia memerhatikan aspek
efisiensi, kebergunaan, kebakuan, intertranslatabilitas, dan keindahan serta
istilah itu tersebarluaskan berbagai media, kegiatan perkamusan tetap
digalakkan, dan ketersediaan website dalam internet sebagai bank peristilah.
24
25
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abbas,Husain. 1987. ”Indonesia as Unifyng Language of Wider Communiti : a
Historial and Sosiolinguistic Perpective”. The Australian National
University: Canberra.
Alisjahbana. 2000. “Lima Ciri Perubahan Masyarakat Dunia”. Artikel pada
Harian Kompas.
Alwasilah. 1997. Politik Bahasa dan Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya:
Bandung.
Alvin, Toffler.1992. Pergeseran Kekuasaan, Bagian II Pasca Sumpati:
Jakarta.
Astraadmadja, Atmakusuma. 2000. Pengamatan Atas Penggunaan BI dalam
Media Pers Dewasa ini. Dalam surgono, dendy 2000. BI menuju
masyarakat madani. Pusat Bahasa Depdiknas: Jakarta.
Barnhat. C. L. 1967. “Problems in Editing Comersial Monolingual Dictionaries”
dalam Householder dan saporta (edit).
Dardjowidjojo, Soenjono. 1996. Bahaa nasional kita. 1928-1995. dari
Sumpah Pemuda ke Pesta Emas Kemerdekaan. ITB Bandung.
Dendi, Sugono. (edit). 2003. Bahasa Indonesia Melalyu Masyarakat Madani.
Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Pedoman Umum
Pembentukan Istilah : Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Pedoman Umum
Pembentukan Istilah. Bumi Aksara : Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Pusat Bahasa : Jakarta.
Effendi dan Uchayana Onang, 1992, Ilmu Komunikasi dan Praktik.
Rosdakarya : Bandung.
Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. Longman : London.
26
Farid, Andi Zainal Abidin. 1979. “Wajo pada Abad XV-XVI; Suatu Penggalian
Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara”. Disertasi
Universitas Indonesia. Jakarta.
Finnocchiaro, Mary. 1974. English as Second Language, from Theory to
Practice. Regent Publishing Company.
Halliday. Michael. 1972. Exploration in The Function of Language. Edward
Arnold : London.
Halliday, M. A. K. dan Hasan. Rugaiya. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks.
Aspek-Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotik Sosial. Gadja
Mada University Press : Yogyakarta.
Hasan, Abdullah. 1992. Perancangan bahasa Peristilahan. Dewan Bahasa
dan Pustaka Malaisya : Kuala Lumpur.
Hasan, Abdullah. 1994. Language Palanning in Southheast Asia. Dewan
Bahasa dan Pustaka Malaisya Ministry of Education : Kuala
Lumpur.
Katili, Irwan.2004. “Persamaan dan Perbedaan elemen Pelat lentur MZC dan
DKQ untuk Bentuk Rektangular”. Jurnal Teknologi, Edisi No.3,
tahun XVIII, September 2004, 149-161 ISSN 0215-1685: Jakarta
Kridalaksana, Harimurti. (Ed) 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia:
Sebuah Bunga Rampai: Kanisus: Jakarta.
Lickona, Thomas. 2012. Character Matters How to Our Children Develop
Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues. Jakarta
Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik
Siswa Menjadi Pintas dan Baik. Nusa Media: Bandung.
Mahsun. 2010. Genolinguistik-Kolaborasi Linguistik dengan Genetika dalam
Pengelompokan Bahasa dan Populasi Penuturnya. Pustaka
Pelajar Offset: Yogyakarta.
Moeliono, Anton M. 1985. Perkembangan dan Pembinaan Bahasa:
Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Djambatan: Jakarta.
27
Nugrahani, Farida. 2004.”Drama Absurd Menunggu Godot Karya Samuel
Beckett: Analisis Semiotik”. Jurnal Peneitian Humaniora Vol. 5
No. 1 Pebruari 2004.
Putro, R. Haryanto, 1998. Bahasa Indonesia, Iptek, dan Era Globalisasi.
Dalam Alwi. Hasan. Dkk. 2000. Bahasa Indonesia dalam Era
Globalisasi Risalah. Kongres BI VII. Pusat Pembinaan Bahasa
Depdiknas: Jakarta.
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Wedatama Widya
Sastra: Jakarta.
Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial. Pandangann terhadap Bahasa.
Wedatama Widya Sastra: Jakarta.
Setyaningsih, N. 2004. “Aplikasi Metode Cross-Validation untuk Pemilihan
Batas Ambang dalam Wavelet Shrinkage”. Jurnal MIPA Vol. 14.
No.1 Hal. 1-72 Januari 2004. ISSN 0853-3016.
Soemardi, Tresna. P. Dkk. 2004. “Perancangan dan Pengembangan Rangka
Bus Pada chassis central Truss Frame dengan Analisis beban
Puntir statis pada kondisi Jalan”. Jurnal teknologi, edisi No.3,
Tahun XVIII, september 2004, 162-171 ISSN 0215-1685.
Sugono, Dendy. Ed. 2003. BI Menuju Masyarakat Madani. Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Sunaryo, Adi dan Adiwinarta, Sri Sukesi. 2000. Pengembangan Istilah dalam
era Globsalisasi Risalah. Dalam Alwi. Hasan. Dkk. 2000 Bahasa
Indonesia dalam Era Globalisasi Risalah. Kongres BI VII. Pusat
Pembinaan Bahasa Depdiknas: Jakarta.
Supriyanto, Eko. 2004. “Tarian dan cerita Pun Ada di Tubuhnya”. Majalah
Gong. Edisi 64/VI/2004.
28
Sutrima, 2004. Representasi spektral dari Operator Strum Liouville
Berparameter. Jurnal MIPA Vol 14 No. 1 Hal 1-72 januari 2004
ISSN 0853-3016.
Syamsuri, Andi Sukri. 2012. Pencendekiaan Bahasa Indonesia dari Zaman
Sumpah Pemuda hingga Orde Reformasi. Alauddin University
Press: Makassar.
Tolla, Achmad. 2013. “ Tanamkan Bahasa Berkarakter ke dalam Diri Anak-
Anak Bangsa Kita Melalui Pemerolehan dan Pembelajaran
Bahasa”. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Bahasa dan
Sastra. Universitas Negeri Makassar.
1
Ragam Retorika Ilmiah pada Jurnal Terakreditasi
Ani Rakhmawati
Universitas Sebelas Maret
Abstract
This paper discusses research articles written in the Indonesian language in term of the
organizational structure and rhetorical features. The corpus was research artilces in the
dicipline of linguistics and applied linguistics that were published in the national accredited
journals in Indonesia. It focuses on analyzing the Introduction section. The analysis reveals
that the generic structure of the Indonesian research articles use certain pattern which
accommodates all necessary elements of the conventional articles organization. Each of the
article starts with abtract, then follows the ‘Pendahuluan’, ‘Metode’, ‘Hasil’ dan
‘Pembahasan’, and end up with ‘Kesimpulan dan Saran-saran’. The analysis of the
Introduction section indicates various practices are used by the Indonesian authors in using
rhetorical devices in order to develop the Introduction section.
Keywords: rhetorical features, rhetorical organization, Indonesian accredited journal
Pendahuluan
Menulis dan menerbitkan artikel penelitian merupakan satu hal yang harus dilakukan
oleh setiap akademisi di Indonesia. Kewajiban ini antara lain diatur di dalam Undang-undang
Republik Indonesia no. 14/2005 tentang Guru dan Dosen dan Permenpanrb no.17/2013
tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya. Demikian juga di dalam Tridharma
Perguruan Tinggi dengan jelas disebutkan butir yang kedua yaitu kewajiban melakukan
penelitian dan penerbitan hasil-hasil penelitian dalam artikel ilmiah. Masyarakat Indonesia
menuntut realisasi penulisan dan penerbitan artikel ilmiah menjadi buah kerja nyata para
akademisi di samping pengajaran dan pengabdian masyarakat. Oleh karena itu, kemampuan
menulis artikel penelitian (AP) dan menerbitkan hasil-hasil penelitian ke dalam jurnal ilmiah
merupakan dua sisi yang kegiatan yang harus dikuasai dengan baik oleh para insan pendidik
di Indonesia.
Akan tetapi, menulis artikel penelitian yang baik memerlukan berbagai persyaratan
tertentu yang telah disepakati oleh masyakarat ilmiah. Lebih-lebih, penulisan artikel ilmiah
yang akan diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Tulisan itu harus memenuhi persyaratanpersyaratan
sesuai dengan gaya selingkung yang telah ditetapkan oleh masing-masing jurnal
ilmiah, baik dalam hal kebahasaan, struktur organisasi artikel, maupun aturan-aturan lain
yang berkaitan dengan tata penerbitan jurnal. Hal ini harus diperhatikan agar tulisan itu
mudah dipahami dengan baik oleh para pembaca. Kualitas tulisan ilmiah menurut Lindsay
(2011: 4) yang membedakan tulisan ilmiah dengan jenis-jenis tulisan yang lain tercermin dari
tiga karakteristik, yaitu: ‘precision’, ‘clarity’, dan ‘brevity’. Apa pun jenis kajiannya, apakah
bidang sosial, humaniora, atau ilmu pengetahuan dan teknologi; maupun bahasa pengantar
yang digunakannya, apakah bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa lainnya, tiga
ciri tulisan ilmiah itu tidak akan berubah, yaitu ketepatan dalam menyampaikan materi,
kejelasan dalam mengungkapkan pendapat , dan kecermatan menggunakan bahasa.
Penelitian akan unsur retorik pada bagian Pendahuluan artikel berbahasa Indonesia
menunjukkan bahwa Pendahuluan artikel ilmiah di Indonesia mempunyai karakteristik
2
tersendiri (Safnil, 2000). Safnil menemukan bahwa artikel dalam bidang Ekonomi dan bidang
Pendididikan mengandung unsur dan pola retorik yang berbeda dengan artikel yang ditulis
oleh penutur asli bahasa Inggris (APPA). Penulisan artikel penelitian dalam bahasa Indonesia
(selanjutnya disebut APBI) juga menuntut berbagai persayaratan, lebih-lebih jika tulisan itu
akan diterbitkan pada jurnal terakreditasi. Panduan untuk penulis di setiap jurnal
menunjukkan bahwa mutu tulisan yang akan dimuat di jurnal tersebut harus memenuhi
persyaratan yang diminta. Untuk mendukung kegiatan ini, sejumlah pakar dari berbagai
universitas bahkan dari tingkat dunia biasanya dilibatkan sebagai mitra bestari. Para
penyunting dan pengelola jurnal inilah yang bertanggung jawab penuh akan mutu setiap
tulisan khususnya pada struktur organisasi serta retorika ilmiah para penyumbang naskah.
Walaupun mendapat tekanan di sana sini, fungsi bahasa Indonesia sebagai penghela
ilmu dan teknologi harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan tampaknya sedang mendapat
persaingan sengit dari bahasa Inggris (Sugono, 2008). Politik Bahasa Nasional Indonesia
mendukung perencanaan dan pemertahanan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu di samping
fungsi-fungsi lainnya yang tidak kalah pentingnya (Dardjowidjojo, 1998; Sugono, 2004).
Tentu saja, permasalahan penulisan dan penerbitan artikel dalam jurnal ilmah tentulah tidak
sesederhana perumpamaan di atas. Kemampuan menulis dan menerbitkan artikel ilmiah
memerlukan berbagai persyaratan baik berupa materi dan substansi hasil penelitian serta
aneka kompetensi menulis dan mengorganisasikan penyampaian pendapat dalam bentuk
wacana argumentasi yang padu dan menarik. Bagi para peneliti dan dosen di Indonesia,
kemampuan menulis dan menerbitkan artikel penelitian dalam bahasa Indonesia masih sangat
diperlukan. Keinginan untuk berpacu dalam perhelatan penulisan karya ilmiah hendaknya
tidak meninggalkan perlunya menerbitkan AP dalam bahasa Indonesia.
Sementara itu, Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-undang no. 24/2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan antara lain mengatur
perlunya mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia untuk berbagai fungsi baik di situasi
formal maupun non-formal. Untuk kepentingan penulisan karya ilmiah, dinyatakan dalam
Pasal 35 ayat 1 bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisan dan penerbitan
artikel ilmiah. Walaupun demikian, keharusan ini dilonggarkan oleh ayat berikutnya, Pasal 35
ayat 2 yang membolehkan penggunaan bahasa Inggris (juga bahasa Daerah) untuk digunakan
sebagai media penulisan artikel. Selebihnya, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Permendiknas no. 22/2011 tentang akreditasi jurnal menghargai tulisan yang dimuat dalam
jurnal terakreditasi dengan nilai 25 poin, terlepas dari bahasa yang digunakan: bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris. Pemerintah Indonesia melalui DIKTI bahkan mendorong
setiap dosen untuk menerbitkan artikel peneltian mereka di jurnal internasional. Tentu saja,
bahasa pengantar dan persyaratan penerbitan akan berbeda dengan penulisan untuk jurnal di
Indonesia. Untuk setiap penerbitan di jurnal internasional, setiap penulis akan mendapatkan
penambahan 40 poin (Permenpanrb, 17/2013).
Akhir-akhir ini, jurnal terakreditasi di Indonesia memberi ruang istimewa terhadap
tulisan dalam bahasa Inggris. Baik penulis maupun penerbit menganggap tulisan berbahasa
Ingrris akan memberi niai tambah yang tidak bisa diperoleh dari tulisan berbahasa
Indonesia.Tulisan dalam bahasa Inggris selain bisa menjangkau ujung dunia, pengakuan
masyarakat internasional berbasis sistem teknologi informasi melakukan indeks dan sitasi
artikel ilmiah masih terbatas pada artikel berbahasa Inggris (Cruz, 2008, Sanchez-Pareira,
2011). Tampaknya, penerbitan artikel non-bahasa Inggris akan menghadapi banyak kesulitan
di masa yang akan datang. Kesulitan-kesulitan ini antara lain juga dihadapi oleh negaranegara
di berbagai belahan dunia (Canagarajah, 2002, 2010; Moreno, 2008, Duszak &
Lewkowicz, 2012, Gibbs, 1995, Uysal, 2008). Sementara itu, tuntutan profesi dan eksistensi
akan terus mendera para peneliti dan akademisi untuk bisa berkiprah di tingkat internasional.
3
Untuk menjembatani hal ini, kebanyakan jurnal ilmiah di Indonesia menjadi jurnal dwibahasa.
Tentu saja, untuk bisa lolos dari pemeriksaan editor, persyaratan ketat yang diminta
jurnal terakreditasi haruslah dipenuhi. Selebihnya, untuk mendapatkan sambutan yang
semestinya dari para pembacanya, berbagai keterampilan yang berkaitan dengan penulisan
karya ilmiah harus terus diasah dan ditingkatkan. Salah satu yang cukup penting bagi peneliti
yaitu kemampuan mengelola retorika ilmiah agar kehadiran hasil penelitiannya dapat
dipahami dengan mudah oleh pembaca. Senyampang dengan berbagai persoalan tersebut,
diperlukan diskusi tentang keragaman retorika ilmiah yang digunakan oleh para penulis.
Makalah ini akan menyajikan hasil analisis ragam retorika ilmiah pada jurrnal terakreditasi,
khususnya artikel hasil penelitian bidang kajian linguistik dan pengajaran bahasa. Setelah
pendahuluan ini, akan dipaparkan keragaman pola umum organisasi APBI dan keragaman
retorika bagian Pendahuluan. Pembahasan keragaman retorika dan latar kebinekaan penulis
Indonesia akan mengakhiri penyajian ini.
Struktur Organisasi Artikel pada Jurnal Terakreditasi
Bentuk tampilan artikel hasil penelitian mempunyai karakteristik tertentu dalam
mengatur struktur organisasi artikel. Secara konvensional, struktur organisasi artikel
mempunyai bagian Pendahuluan, Metode, Hasil, dan Pembahasan. Struktur organisasi ini
dikenal luas sebagai model IMRD (Swales, 1990), yaitu ‘Introduction-Method-Results-
Discussion’. Selain model itu, terdapat berbagai variasi yang mungkin berbeda satu dengan
yang lainnya. Cargill & O’Connor (2009) mencontohkan model yang disingkat dengan
‘AIRDAM’ yang sekarang ini sering dipakai di bidang kajian ilmu komputer dan teknologi
informasi. Bidang-bidang kajian tersebut mengatur bagian Metode dan Material di urutan
terakhir setelah ‘Abstract-Introduction-Results-Discussion-Method and Material’. Lindsay
(2011: 28) menambahkan bahwa banyak jurnal ilmiah yang menempatkan Metode pada
bagian appendiks dan ditulis dengan ukuran huruf yang lebih kecil. Perubahan dan
penambahan bagian dalam organisasi artikel ilmiah menunjukkan bahwa persyaratan dan
gaya selingkung tiap jurnal dan bidang kajian yang berbeda merupakan kesepakatan yang
harus diperhatikan oleh para penulis.
Secara sepintas, artikel dalam jurnal terakreditasi disusun sejalan dengan model
IMRD, akan tetapi variasi ditemukan diberbagai jurnal. Secara umum, semua artikel
penelitian dimulai dengan Abstrak dan diakhiri dengan Daftar Pustaka atau Referensi. Secara
tersurat, hampir seluruh artikel mengadung bagian-bagian Pendahuluan-Metode-Hasil dan
Pembahasan-Kesimpulan dan Saran-saran. Akan tetapi variasi dan penambahan tampak di
mana-mana. Misalnya,
Pola Umum Organisasi APBI APBI
Abstrak 100%
Pendahuluan 100%
Kajian Pustaka 20%
Metoed 90%
Hasil dan Pembahasan 85%
Kesimpulan dan Saran-saran 75%
Referensi Semua
4
Keragaman Retorika pada Bagian Pendahuluan
Penulisan artikel yang baik ditengarai dengan adanya penulisan pendahuluan yang
menarik dan dikembangkan dengan memperhatikan retorika yang disepakati secara
konvensional oleh masyarakat ilmiah. Sejauh ini, terdapat banyak model yang bisa dipakai
sebagai panduan penulisan karya ilmiah, tetapi secara umum mempunyai persamaan dalam
cara-cara mengungkapkan pendapat. Perbedaan yang biasanya ada dikarenakan perbedaan
bidang kajian dasarnya, misalnya jurnal di bidang social budaya atau ekonomi akan berbeda
dengan penyajian bidang kajian matematika atau ilmu alam dan sistem teknologi informasi
(Murray, 2005; Cargill & O’Connor, 2009). Salah satu model pengembangan pendahuluan
yang banyak dipakai sebagai pedoman jurnal internasional adalah model yang dikembankan
oleh Swales (1990) yang disebut CARS. Model ini dianggap cocok untuk diterapkan di
semua bidang kajian.
Swales (1990) menegaskan bahwa retorika yang wajib digunakan dalam
mengembangkan bagian pendahuluan antara lain degan menunjukkan pentingnya topik kajian
itu, baik diungkapkan secara verbal mengandalkan bentuk-bentuk ungkapan bahasa tertentu
maupun menunjukkan perlunya penelitian dengan mengutip dan membicarakan hasil
penelitian sejenis yang sudah pernah dikerjakan (Step 3 Move I). Sementara itu, jenis retorika
yang lain harus selalu dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian. Swales (1990) merancang
langkah-langkah penyusunan retorika pendahuluan artikel yang dikelompokkan dalam 3
‘Move’ dan 11 ‘Step’, dan dinamakan sebagai model CARS (Create-a-Research-Space) yaitu
sebuah model yang memandu penulis artikel ilmiah menciptakan ruang atau wilayah
kekuasaannya dalam dunia ilmiah. Model CARS (Swales, 1990: 141) tersebut disalin
sepenuhnya sesuai aslinya seperti di bawah ini.
Move I Establishing a territory
Step 1 Claiming centrality and/or
Step 2 Making topic generalization(s) and/or
Step 3 Reviewing items of previous research
Move II Establishing a niche
Step 1 A Counter-claiming or
Step 1 B Indicating a gap or
Step 1 C Question raising or
Step 1 D Continuing a tradition
Move III Occupying the niche
Step 1 A Outlining purposes or
Step 1 B Announcing present research
Step 2 Announcing principal findings
Step 3 Indicating RA structure
Khusus untuk penulisan bagian Pendahuluan, Swales (1990) menyarankan agar
bagian ini mengandung tiga jenis retorika tujuan berkomunikasi yang terangkum dalam
model yang disebut CARS (‘Create a Research Space’). Pola pengembangan paragraf
dengan model CARS ini meliputi tiga bentuk retorika yang disebut ‘move’ dan 11 bagian
retorika yang disebut ‘step’. Keterpenuhan pola CARS dalam sebuah Pendahuluan
menyiratkan bahwa pengembangan paragraf secara tepat dan lengka akan mengandung
5
semua tujuan berkomunikasi dapat mengantarkan substansi laporan penelitian secara
keseluruhan. Hal ini akan membantu pembaca menebak isi artikel secara keseluruhan.
Kajian bentuk-bentuk retorika pada bagian Pendahuluan APBI meminjam model dari
penulisan pendahuluan pada AP penutur asli bahasa Inggris yang disusun oleh Swales(1990).
Model yang terkenal dengan nama CARS ini dikenal dan diikuti secara luas di seluruh dunia
untuk menganalisis Pendahuluan artikel dalam berbagai bahasa yang berbeda. Model CARS
menuntun para penulis langkah-langkah yang seharusnya diikuti untuk dapat membangun
retorika khusus yang dapat menarik perhatian pembaca untuk mau melanjutkan memahami
keseluruhan laporan penelitian sampai pada bagian akhir. Seperti terlihat pada bagan di atas,
model CARS berisi tiga bagian utama retorika ‘MOVE’ yang diturunkan lagi menjadi 11
retorika yang lebih spesifik yang menggambarkan tujuan yang lebih konkret yang disebut
‘STEP’.
Secara umum, bagian Pendahuluan juga mendapat perhatian yang cukup baik oleh
jurnal terakreditasi. Biasanya hal ini akan menjadi gaya selingkung di tiap jurnal yang
berbeda. Bagian Pendahuluan, seperti yang tertera pada petunjuk penulisan Humaniora, harus
berisi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, dan review literatur. Untuk
memaparkan semua aspek tersebut dalam satu bagian Pendahuluan, Humaniora memberikan
pedoman agar Pendahuluan ditulis dalam 2 – 3 halaman saja dari 10 – 20 halaman naskah
keseluruhan.
Tampaknya, tidak ada kecenderungan umum seberapa panjang bagian Pendahuluan
itu harus ditulis. Alih-alih membicarakan bentuk tampilan panjang naskah, pakar penulissan
artikel penelitian Swales (1990) menyarankan agar bagian Pendahuluan artikel penelitian
seyogyanya mengandung seluruh tujuan komunikasi yang diperlukan melalui langkahlangkah
yang terkenal dengan istilah ‘Moves and Steps’ (Swales (1990: 141). Menurut
Swales, ketercukupan pengungkapan tujuan berkomunikasi lebih penting daripada panjang
naskah agar bagian Pendahuluan ini dapat menampung aspek penting tujuan komunikasi dan
dapat dipahami sesuai dengan harapan masyarakat wacana. Dengan demikian, panjang
naskah bagian Pendahuluan hendaknya dapat disesuaikan dengan pengembangan paragraph
yang diperlukan.Pengembangan paragraf merupakan aspek penting dalam penulisan makalah
penelitian. Jumlah paragraf dan panjang paparan pada bagian-bagian sub-judul artikel
diharapkan dapat menjadi strategi dasar sebagai upaya menyampaiakan tujuan komunikasi
tertentu sesuai dengan masing fungsi yang disarankan dalam tulisan ilmiah. Dengan kata lain,
pengembangan paragraph harus dapat menjembatani ketercapaian tujuan berkomunikasi.
Artikel penelitian dalam bahasa Indonesia (APBI) menunjukkan perbedaan panjang
naskah yang sangat bervariasi. Beberapa jurnal memberikan ancar-ancar seberapa panjang
naskah harus ditulis berdasarkan panjang halaman atau jumlah kata maksimum. Untuk satu
artikel penelitian lengkap, panjang naskah maksimum berbeda-beda. Misalnya, Linguistik
Indonesia mematok 30 halaman sedangkan Jurnal Ilmu Pendidikan, Jurnal Bahasa dan Seni,
dan Humaniora meminta 20 halaman sedangkan minimum 10 – 15 halaman. Di jurnal lain,
Jurnal Ilmu Pendidikan hanya membatasi panjang maksimum yaitu 20 halaman tanpa
menyebutkan batas minimalnya.
Secara khusus, bagian Pendahuluan APBI dalam jurnal terakreditasi menunjukkan
variasi panjang – pendek yang sangat beragam. Hal ini terlihat dari bentuk yang sangat
pendek, hanya terdiri dari satu atau dua paragraf, sampai dengan yang sangat panjang
mencapai 34 paragraf. Secara umum, rata-rata panjang pendahuluan pada jurnal terakreditasi
berkisar antara 7 atau 8 paragraf. Sementara itu, pendahuluan yang ditulis lebih dari 15
paragraf hanya ditemukan pada sekitar 16% saja.
6
Seperti yang sudah dikemukakan, panjang bagian pendahuluan dalam APBI bervariasi
dari satu sampai dengan 34 paragraf. Di sisi lain, kombinasi panjang dan pendek pada bagian
sub-judul lainnya juga cukup nyata. Walaupun penulis mungkin saja melengkapi bagian
pendahuluan yang pendek dengan Kajian Pustaka secara terpisah, fungsi dan tujuan
pendahuluan sebuah artikel seyogyanya diuankapkan secara terpadu dengan
mempertimbangkan bentuk-bentuk retorika konvensional yang disetujui oleh masyarakat
ilmiah dunia. Pengembangan paragraf pendahuluan yang tidak konsisten bisa menghalangi
tujuan umum penulisan bagian pendahuluan.Perbedaan yang sangat tajam ini tentu
menimbulkan pertanyaan di benak pembaca, kira-kira apa yang bisa disampaikan dalam satu
paragraf pendek atau apa saja yang sempat ditulis dalam pendahuluan yang sangat panjang?
Bentuk-bentuk retorika apa yang bisa ditemukan pada paragraph-paragraf pendahuluan itu?
Sebagai gambaran, pengungkapan bentuk-bentuk retorika APBI pada jurnal
terakreditasi diturunkan dari Pendahuluan yang terpendek dan terpanjang. Artikel penelitian
yang memiliki Pendahuluan terpendek diambil dari artikel berjudul “Babad Banyumas dan
Versi–versinya”. Pendahuluan ini hanya terdiri dari 1 paragraf. Tampaknya penulis artikel ini
juga membangun empat bagian utama lainnya dengan gaya pendek dan singkat, yaitu bagian
Pendahuluan, Metode, Hasil, dan Kesimpulan; yang maing-masing hanya terdiri dari satu
paragaf. Akan tetapi, bagian Pembahasan ditulis dengan sangat panjang mencapai 52 paragraf
yang dibagi ke dalam 15 sub-judul. Pada kasus ini jelas bahwa porsi terbesar pada artikel ini
dialokasikan untuk bagian Pembahasan, yang mencapai hampir 90% dari keseluruhan artikel.
Tentu saja, ini sebuah kekecualian dan sangat jarang ditemukan.
Lalu, jenis retorika apa yang digunakan dan tujuan komunikasi apa yang dikandung
oleh bagian Pendahuluan yang hanya terdiri dari satu paragraf? Silakan mengamati bagian
Pendahuluan yang disalin sepenuhnya di bawah ini:
Penelitian awal terhadap 32 naskah Babad Banyumas menunjukkan adanya enam
versi, yaitu: (1) versi Mertadiredjan, (2) versi transformasi teks Mertadiredjan, (3)
versi Dipayudan, (4) versi Wirjaatmadjan, (5) versi Danuredjan (tembang), dan (6)
versi Danuredjan (gancaran) (Priyadi, 1995a: 347). Penelitian lanjutan yang
dilakukan terhadap 23 naskah yang baru ditemukan pada periode 1995 – 1998
membuktikan adanya gejala yang menarik. Pelacakan terhadap versi Babad
Banyumas yang berisi legitimasi bagi keluarga – keluarga baru dilakukan karena
adanya gejala kenaikan status, pendirian berbagai paguyuban, tradisi silaturahmim,
dll. Oleh karena itu, gejala tersebut harus senantiasa dicermati agar tradisinya dapat
diketahui sedini mungkin. Hal ini juga didukung oleh tingkat mobilitas penyalinan
teks Babad Banyumas yang tergolong tinggi sehingga penelitian lanjutan senantiasa
diperlukan.
Bentuk-bentuk dan kategori retorika Pendahuluan itu disarikan di bawah ini:
REALISASI FITUR RETORIK DALAM KALIMAT KATEGORI LOKASI
Penelitian lanjutan yang dilakukan terhadap 23 naskah
yang baru ditemukan pada periode 1995 – 1998
membuktikan adanya gejala yang menarik.
Claiming
centrality
(Step 1 - MI)
Kalimat-
(K) 2
Penelitian awal terhadap 32 naskah Babad Banyumas
menunjukkan adanya enam versi, yaitu: (1) versi
Mertadiredjan, (2) versi transformasi teks Mertadiredjan,
(3) versi Dipayudan, (4) versi Wirjaatmadjan, (5) versi
Reviewing
items of
previous
research
K 1
7
Danuredjan (tembang), dan (6) versi Danuredjan
(gancaran) (Priyadi, 1995a: 347). (Step 3 – M I)
Hal ini juga didukung oleh tingkat mobilitas penyalinan teks
Babad Banyumas yang tergolong tinggi sehingga penelitian
lanjutan senantiasa diperlukan.
Continuing a
tradition
(Step 1D – M
II)
K 5
Pelacakan terhadap versi Babad Banyumas yang berisi
legitimasi bagi keluarga – keluarga baru dilakukan karena
adanya gejala kenaikan status, pendirian berbagai
paguyuban, tradisi silaturahmim, dll.
Announcing
present
research
(Step 1B-M
III)
K 4
Oleh karena itu, gejala tersebut harus senantiasa dicermati
agar tradisinya dapat diketahui sedini mungkin.
Outlining
purposes (Step
1A – M III)
K 3
Hasil identifikasi di atas menunjukkan bahwa Pendahuluan artikel tersebut dibangun
dengan sangat padat hanya dengan 113 kata yang membentuk 5 kalimat. Susunan
Pendahuluan ini mirip dengan bentuk Abstrak yang harus disusun singkat dan padat. Akan
tetapi, jika ditinjau dari kandungan tujuan komunikasi, Pendahuluan ini mengandung
beberapa bentuk dasar fungsi komunikasi yang sesuai dengan model CARS untuk retorika
bagian pendahuluan sebuah artikel penelitian. Bentuk retorik tersebut yaitu: tertentu, yaitu:
‘claiming centrality’ (Step 1 – M ove I), yaitu dengan menyatakan bahwa penelitian lanjutan
itu perlu dilakukan; ‘reviewing items of previous study’ (Step 3 – Move I), yaitu mengutip
atau membandingkan penelitian sekarang dengan penelitian sejenis yang sudah dilakukan,
‘continuing tradition’, dan ‘announcing present re search’. Temuan ini menunjukkan bahwa
kalimat-kalimat yang membangun paragraf pendahuluan mengandung fungsi-fungsi tertentu
dalam mendukung tujuan komunikasi bagian Pendahuluan.
Terlepas dari bentuknya yang pendek, Pendahuluan artikel di atas memenuhi setidaktidaknya
lima fitur retorik pendahuluan artikel yang sesuai dengan model CARS. Berdasarkan
ciri-ciri kebahasaan maupun pesan yang dikandung, Pendahuluan tersebut mengandung 5
‘Step’ yang cocok mengisi 3 ‘Move’ dalam CARS. Pertama, Move I (Establishing a territory)
diisi dengan ‘Step’ 1 (claiming centrality) dan diperkuat dengan ‘Step’ 3 (Reviewing items of
previous research), yang realisasinya bersifat wajib. Kedua, ‘Move’ II (Establishing a Niche)
diisi dengan retorika pilihan yaitu ‘Step’ 1D (Continuing tradition). Ketiga, ‘Move’ III
(Occupying the Niche) diisi dengan ‘Outlining Purpose’ (Step 1A) dan Anouncing present
research (Step IB). Walaupun dapat mengisi lima bentuk retorik pendahuluan, temuan ini tidak
serta merta menentukan kelayakan suatu pendahuluan yang ‘minimalis’. Seperti yang dituntut
dalam mengembangkan paragraf, satu kalimat tunggal belum bisa secara tuntas menyampaikan
pesan tertentu. Dengan kata lain, persyaratan tertentu lainnya dalam pengembangan paragraf
haruslah dipenuhi. Pada kasus ini, bentuk-bentuk retorika tertentu masih memerlukan kalimatkalimat
pendukung dengan memperhatikan status sebagai retorika wajib atau retorika pilihan
seperti yang disyaratkan oleh model CARS terpenuhi dengan baik.
Contoh lain Pendahuluan yang memiliki keterbatasan jumlah paragraf dapat
ditemukan di Jurnal Linguistik Indonesia, Volume 25/2: ‘Penerjemahan informasi implisit dari
bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dalam karya fiksi’. Bagian Pendahuluan artikel ini hanya
8
memiliki dua paragraph. Setelah penduluan, artikel ini menyediakan Kajian Teori yang terdiri
dari 12 paragraf.
Pendahuluan artikel itu disalin sepenuhnya di bawah ini:
1. PENDAHULUAN
Penerjemahan selalu melibatkan dua bahasa yang berbeda, yaitu bahasa sumber
(Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa). Setiap bahasa memiliki sistem dan struktur yang
berbeda yang mengakibatkan perbedaan dalam penyajian informasi. Sementara itu,
penerjemahan yang baik haruslah mengupayakan tercapainya kesepadanan dinamis,
yaitu kesepadanan pemahaman pembaca Bsu dan Bsa atas pesan yang disampaikan
oleh sebuah teks (Nida dan Taber 1974:12).
Salah satu hal yang sering menimbulkan masalah dalam upaya mencapai
kesepadanan dinamis adalah menerjemahkan informasi implisit, yaitu informasi yang
tidak disebutkan secara literal atau tertulis di dalam teks sumber. Menurut Beekman
dan Callow (1974:47) penyajian informasi secara implisit berbeda antara satu
bahasa dengan bahasa lain sehingga dituntut kejelian penerjemah dalam
menerjemahkan informasi implisit tersebut agar pesan yang terkandung dalam
sebuah teks dapat disampaikan dengan baik. Tulisan ini menguraikan tentang
penerjemahan informasi implisit dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia yang
terdapat dalam karya fiksi yang terdapat dalam bentuk elipsis dan bahasa figuratif.
Paragraf pertama Pendahuluan ini terdiri dari tiga kalimat. Paragraf ini berisi
penjelasan tentang apa itu penerjemahan yang baik seharusnya disusun. Penjelasan ini
kemudian diperkuat dengan referensi dari Nida and Taher, (1974: 12). Akan tetapi, pembuka
artikel ini berbeda dengan harapan kebanyakan pembaca pendahuluan artikel penelitian. Alihalih
menyebutkan pentingnya artikel ini dan mengapa perlu dibaca, paragraf pembuka
digunakan untuk menerangkan informasi umum. Walaupun terdapat kutipan, hal ini tidak
sesuai harapan pembaca yang semestinya disodori beberapa kutipan hasil penelitian. Kalimat
penjelasan ini dikategorikan ke dalam ‘Making topic generalisation’ (Step 2 I - Move).
Kategori retorika ini seharusnya diikuti dengan Step 3 ‘ Reviewing items from previous
research (Step 3). Oleh karena itu, paragraf pertama itu hanya mengandung satu tujuan
komunikasi. Dengan kata lain, Retorika ‘Move I’ (Establishing a territory) tidak sepenuhnya
berkembang karena kehadiran retorika wajib atas Step 3 (Reviewing items of previous
research) tidak ada di dalam pendahuluan.
Selanjutnya, Kalimat pertama dalam paragraf 2 menyajikan pernyataan adanya
permasalahan dalam penerjemahan informasi implist. Akan tetapi, pernyataan ini tidak dapat
dikategorikan ke dalam retorika ‘indicating a gap’ (Step 1A Move II) dalam model CARS
karena kutipan itu tidak membicarakan butir-butir hasil penelitian yang sudah dilakukan. Alihalih,
penulis mengutip sumber acuan dan mendiskusikan konsep atau teori untuk mendukung
pernyataannya. Jadi, di samping keterbatasan pengembangan bagian Pendahuluan, tujuan
komunikasi utama yang diperlukan dalam Pendahuluan tidak sepenuhnya ada. Singkat kata,
Pendahuluan itu hanya mengandung dua jenis tujuan komunikasi dari sebelas jenis yang
diperlukan untuk membentuk Pendahuluan yang baik menurut Swales (1990). Analisis juga
menunjukkan bahwa walaupun terdapat referensi tertulis di situ, Nida dan Taber (1974:12) and
Beekman dan Callow (1974:47), acuan itu tidak mengutip hasil penelitian tetapi kutipan untuk
pengertian istilah tertentu. Sebagai tambahan, pengutipan referensi yang terlalu tua tahunnya
sebaiknya disandingkan dengan referensi terbaru yang lebih terpercaya.
9
Identifikasi unsur retorika ilmiah yang digunakan dalam artikel ini menunjukkan
adanya strategi pengembangan yang berbeda dengan yang ditemukan secara umum. Salah satu
fungsi komunikasi yang terdapat daam pendahuluan artikel ini adalah pernyataan adanya
‘masalah’ sehingga perlu dipecahkan. Hal ini mengingatkan akan struktur penulisan skripsi
mahasiswa. Pernyataan adanya ‘Masalah’ dalam artikel tidak termasuk tujuan komunikasi
dalam pendahuluan yang umum diikuti oleh masyarakat dunia. Setelah dikaji secara teliti,
Pendahuluan pendek ini mengandung beberapa fitur retorik tulisan ilmiah. Pada paragraf
pertama, ketiga kalimat yang ada mengandung unsur menjelaskan gambaran topik penelitian
secara garis besar. Penjelasan ini dikategorikan sebagai langkah retorik yang kedua pada Move
I, yaitu “Making topic generalisation (Step 2 – Move I). Sementara itu, pada paragraf kedua,
teridentifikasi penggunaan langkah retorik untuk Move III, yaitu Announcing Present research.
Dengan melihat kembali model CARS, pendahuluan artikel ini hanya mengandung 2 tujuan
komunikasi. Dengan kata lain, pendahuluan yang terlalu pendek tidak bisa menampilkan
persyaratan minimum untuk mengatarkan sejumlah tujuan berkomunikasi melalui tulisan
ilmiah. Tentu saja, pengembangan paragraf yang tidak lengkap tidak akan menghasilkan
pemahaman yang diharapkan khususnya mengacu pada model CARS.
Kebalikan dari Pendahuluan yang terpendek, sebuah contoh diambil dari APBI
dengan menunjukkan Pendahuluan yang terpanjang ditemukan pada jurnal terakreditasi.
Artikel ini berjudul “Penyimpangan Fonologis Bahasa Inggris Orang Thai”. Secara
keseluruhan, makalah ini mengikuti struktur format P-M-H-D (+Kesimpulan dan Saransaran).
dengan lengkap dan menggunakan sub-judul secara konvensional, yaitu: Pendahuluan
(34 paragraf), Metode Penelitian (5 paragraf), Hasil (6 paragraf), Pembahasan (8 paragraf),
serta ditutup dengan Kesimpulan dan Saran-saran (1 paragraf). Secara fisik terlihat bahwa
kelengkapan bagian-bagian artikel tampak didominasi oleh panjangnya bagian Pendahuluan.
Bahkan jika disandingkan, bagaian Pendahuluan dengan 34 paragraf masih jauh lebih
panjang dibandingkan dengan jumlah seluruh paragraf dari lima sub-bagian, yaitu hanya
berjumlah 20 paragraf saja. Kenyataan ini bisa menjadi bahan pemikiran agar panduan
menulis artikel menambahkan sebaiknya seberapa panjang atau pendek masing-masing
bagian itu. Beberapa jurnal sudah seberapa panjang maksimal untuk bagian tertentu. Hal ini
akan memudahkan para editor dan pengelola jurnal dalam menjalankan amanahnya sebagai
‘gate keeper’ penjaga gawang penerbitan rtikel ilmiah.
Dengan menggunakan model CARS dan dengan memperhatikan penanda-penanda
ungkapan dan bahasa yang digunakan oleh penulis, analisis terhadap naskah Pendahuluan ini
menunjukkan tidak ada satupun retorika pilihan untuk membangun Move II (Establishing a
Niche). Sebagai tambahan, walaupun Move I (Establishing a territory) sepenuhnya
dilaksanakan dengan 3 tahapan penuh, ternyata ada hal yang berbeda dengan panduan model
CARS yang menghendaki agar Step 1 (menyatakan pentingnya penelitian) harus sesegera
mungkin disampaikan, artikel ini secara kontras menyampaikannya pada pragraf akhir.
Mungkin ini dapat dikaitkan dengan ciri-ciri sikap orang Indonesia pada umumnya yang tidak
mau menunjukkan kehebatan atau menonjolkan diri dan lebih suka menunggu dalam
mengungkapkan pendapat dibandingkan dengan bersikap langsung dan terbuka (Purwadi,
2008). Temuan ini juga menyiratkan bahwa orang Indonesia senang bercerita panjang lebar
tetapi intisari dan tujuan berkomunikasi mungkin terbatas pada topik tertentu.
Temuan analisis fitur-fitur retorik atas Pendahuluan dengan 34 paragraf dapat disederhanakan
sebagai berikut:
Move I (Establishing a Territory)  Step 1 + Step 2 + Step 3
Move II (Establishing a Niche)  0 + 0 + 0 + 0
Move III (Occupying the Niche)  Step 1A + Step 1B + Step 2 + 0.
10
Contoh temuan di atas menggambarkan bahwa artikel dalam bahasa Indonesia
disusun sedemikian rupa menggunakan strategi retorika yang berbeda dengan yang biasanya
digunakan oleh orang-orang Anglophone. Secara khusus, tujuan komunikasi dalam menulis
pendahuluan mempunyai perbedaan yang sangat menonjol. Dalam contoh di atas, walaupun
Pendahuluan ditulis dengan cukup panjang lebar, mencapai 34 paragraf, kondisi ini tidak
serta merta dapat meliputi seluruh fitur retorika yang disarankan dalam model CARS.
Terbukti bahwa jenis dan kandungan tujuan komunikasi langkah yang kedua, ‘Establishing a
niche’ tidak diwakili oleh salah satu dari retorika pilihan yang tersedia. Dengan kata lain,
pendahuluan artikel tersebut hanya menggunakan ‘Move I’ dengan retorika lengkap Step 1,
Step 2, dan Step 3; kemudian langsung meloncat ke Move II, yang diwakili oleh penggunan
retorika Step 1A dan Step 1B. Temuan ini dapat menjadi salah satu jawaban atas
pernyataan bahwa para penulis non-penutur asli mempunyai bisanya mempunyai kelemahan
dalam membangun Move II (Flowerdew, 2002, Bhatia, 2004, Canagarajah, 2002). Kesulitan
menulis Pendahuluan dalam bahasa Indonesia ini juga dapat menjadi pemicu ketika harus
menulis artikel dalam bahasa Inggris (Mirahayuni, 2001). Basthomi (2006) menemukan hal
yang sama tentang kesulitan menggunakan retorika langkah kedua pada tulisan artikel dalam
bahasa Inggris oleh akademisi Indonesia.
Setelah melakukan analisis pada artikel-artikel yang terpilih, ringkasan identifikasi bentukbentuk
retorika dalam AP BI dapat digambarkan dalam table di bawah ini:
MOVE STEP A P B I
n %
Move I
(Establishing
Territory)
Step 1: Claiming centrality and/or 13 50 %
Step 2: Making topic
generalization(s)
25 95 %
Step 3: Reviewing items of
previous research
19 70 %
Move II
(Establishing a
niche)
Step 1A: Counter claiming 12 35%
Step 1B: Indicating a gap 13 30%
Step 1C: Question-raising 6 30 %
Step 1D: Continuing a tradition 0 10 %
Move III
(Occupying the
niche)
Step 1A: Outlining purposes 15 60 %
Step 1B: Announcing present
research
19 75 %
Step 2: Announcing principal
findings
1 4 %
Step 3: Indicating RA structure 1 4 %
n = 50
Keanekaragaman retorika yang digunakan dalam pengungkapan pendapat dan
berbagai tujuan komunikasi yang berbeda dalam penulisan artikel ilmiah di Indonesia dapat
dikaitkan dengan tradisi dan budaya yang berkembang di Indonesia. Perbedaan latar belakang
para penulis yang mempunyai tradisi yang berbeda-beda tak dapat dielakkan dari kondisi
keragaman budaya, bahasa, dan suku bangsa yang berbeda-beda. Lebih-lebih, para penulis ini
sebagian berlatar budaya Jawa yang kental dengan berbagai aturan dan ‘tata krama’ dalam
pergaulan (Hastanto, 2005; Eng dan Sutiyono, 2008; Irawanto, Ramsey, dan Ryan, 2011).
11
Sarsito (2006) menandaskan bahwa budaya Jawa telah mempengaruhi cara bersikap dan
berfikir masyarakat Indonesia sejak era Presiden Soeharto. Raharjo (2010) mengungkapkan
bahwa Presiden Yudhoyono lebih kental dengan cara-cara bersikap orang Jawa dalam
menjalankan tugas-tugas kepresidenan. Di dalam situasi resmi, nuansa tradisi asli orang
Indonesia seringkali terlihat dengan jelas (Saddhono, 2006).
Kemajemukan bangsa Indonesia memungkinkan cara bersikap yang sangat hati-hati,
sopan, dan mendahulukan perdamaian dan hubungan baik antar-penulis tercermin juga dari
cara dan retorika ilmiah yang digunakan. Seperti terlihat dalam temuan di atas, sebagian
besar penulis Indonesia memilih untuk tidak mengungkapkan kekurangan penelitian
sebelumnya yang dalam model CARS disebut ‘counter-claiming’ (Step 1A-Move II) dan
‘indicating a gap’ (1B – Move II). Alih-alih, para penulis Indonesia menggunakan cara-cara
yang lebih halus atau menghindari sepenuhnya retorika tersebut. Akibatnya, sebagian besar
APBI ini tidak memenuhi langkah kedua dalam CARS, yaitu: ‘Establishing a niche’. Oleh
karenanya, kebanyakan APBI hanya mencoba membangun ranah atau wilayah penelitiannya
tetapi gagal menguasai teritori karena benteng pertahanan berupa pembahasan penelitian
tidak dikaitkan dengan wilayah penelitian orang lain.
Selain itu, proses penerbitan dan praktik penyuntingan yang belum seragam
menyebabkan bentuk, pola organisasi struktur wacana, dan retorika yang digunakan menjadi
cukup beragam. Bahkan untuk penyuntingan artikel dalam bahasa Inggris yang sudah
mempunyai kemapanan dalam format pengembangan paragraf untuk tiap bagian organisasi
juga masih belum seragam. Hal ini terungkap dalam penelitian tentang pola retorika dalam
artikel ilmiah dalam jurnal terakreditasi yang dilakukan penulis. Basthomi (2007)
mengungkapkan bahwa para editor masih menyunting setengah hati karena jurnal di
Indonesia mempuyai target pembaca orang-orang Indonesia. Hal ini menyebabkan pemikiran
para editor menjadi bias dan bersikap ambivalen dalam menyunting artikel (Basthomi, 2012).
Penutup
Kajian retorik terhadap artikel penelitian yang diterbitkan pada jurnal terakreditasi
menunjukkan bahwa praktik penulisan dan penerbitan artikel di Indonesia belum seragam.
Secara fisik, jurnal terakreditasi di Indonesia telah menggunakan aturan-aturan dalam
pengorganisasian strukur artikel. Akan tetapi, sebagian besar artikel belum menggunakan
pola-pola retorika ilmiah konvensional. Pada bagian Pendahuluan, retorika yang digunakan
masih didominasi bentuk-bentuk penjelasan umum tentang topik kajian yang akan
dilaporkan. Walaupun sebagian besar sudah menyertakan beberapa kutipan dari penelitian
sejenis yang sudah pernah dilakukan, hal ini tidak serta merta diikuti dengan usaha
mengevaluasi dan mengkritisi apa kekurangan atau kelebihan penelitian orang lain. Hal ini
menyebabkan pengungkapan akan adanya ‘gap’ yang diperlukan untuk mendukung perlunya
penelitian baru segera dilakukan tidak tercapai. Dengan demikian, bagian Pendahuluan APBI
baru memenuhi unsur retorik ilmiah ‘Move I’ dan ‘Move III’ , sedangkan unsur retorika
ilmiah untuk mendukung ‘Move II’ belum dapat dicapai.
Walaupun demikian, temuan ini menunjukkan bahwa orang Indonesia mungkin
merasa enggan menunjukkan ‘ketidakcocokannya’ dengan penulis lain secara terbuka.
Sebagian masyarakat Indonesia menganggap tabu untuk urusan menyampaikan keberatan
secara langsung dan terus terang menunjukkan kelemahan orang lain. Latar belakang budaya
dan tradisi pergaulan orang Indonesia dalam menghargai dan menjaga nama baik orang lain
lebih tampaknya dibawa serta dalam penuangan gagasan pada artikel ilmiah. Akibatnya,
unsur retorik Move II (Establishing a niche) yang menharuskan penulis mengungkapkan
kesenjangan satu dengan yang lain menjadi tidak berkembang dengan baik. Ketimpangan
tujuan berkomunikasi pada bagian Pendahuluan ini tentu akan dengan sendirinya dibenahi
12
ketika harus menulis dalam bahasa Inggris. Walaupun belum ada keseragaman, tetapi
kesepakatan perlu dibangun. Dengan kesepakatan yang diikuti para penulis, baik penulis dan
pembaca bisa saling belajar dan mengambil peran sesuai dengan kepakarannya.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang sangat penting di kawasan Asia Tenggara
(Sugono, 2008.) Walaupun bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa pengantar di forum
pertemuan Negara-negara ASEAN, bahasa Indonesia dipilih sebagai media komunikasi
kedua setelah bahasa Inggris (Kirkpatrik, 2007). Hal ini memungkinkan terbukanya
kerjasama dan penyebaran hasil-hasil penelitian yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Dengan
demikian, kita tidak perlu risau akan terpuruknya hasil-hasil penelitian kita walaupun ditulis
dalam bahasa Indonesia. Jangkauan para pembaca bahkan kini tidak dibatasi oleh wilayah
suatu Negara. Teknologi informasi mendukung sepenuhnya penyebaran hasil-hasil penelitian
itu ke seluruh dunia. Kini waktunya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia di berbagai
kesempatan, baik secara lisan maupun tulisan, baik di kesempatan formal maupun nonformal.
Akan tetapi, kondisi di lapangan mengisyaratkan bahwa menulis artikel dalam bahasa
Indonesia ini sedang mendapat tantangan serius dari penerbitan artikel dalam bahasa Inggris
(APBING). Hal ini dipicu oleh tingginya permintaan penulisan artikel dalam bahasa Inggris
yang konon dipercaya bisa meningkatkan kedudukan dan keterlibatan para akademisi dalam
ranah percaturan ilmiah dan pertukaran hasil-hasil penelitian di tingkat dunia. Sebaliknya,
menerbitkan artikel dalam bahasa Indonesia dianggap kurang bermartabat dibandingkan
dengan artikel yang ditulis dalam bahasa Inggris karena hanya akan dibaca oleh sebagian
kecil akademisi Indonesia. Sementara itu, tuntutan penelitian mutakhir mengisyaratkan agar
hasil penelitian dapat segera diketahui, disebarluaskan, dan diamalkan oleh sebanyakbanyaknya
orang di dunia. Sayangnya, penyebaran hasil-hasil penelitian hanya bisa dilakukan
menggunakan bahasa yang dipakai sebagai bahasa internasional dan bisa dipahami oleh
semua orang, yaitu dalam bahasa Inggris. Keadaan ini memberikan pilihan terbatas kepada
para akademisi di Indonesia untuk menerbitkan artikel dalam bahasa Inggris.
Tentu, setiap orang mengakui bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang paling
penting yang mempunyai kekuatan dan dayaguna yang luar biasa dalam penyebaran hasilhasil
penelitian (Swales, 1990, 2004). Memang, Gibbs (1995) menyatakan bahwa hasil karya
tulis yang yang diterbitkan dalam bahasa yang kurang dikenal akan mudah hilang tanpa
bekas. Usaha ini seperti menyebar garam di lautan luas, tak akan terasa imbasnya. Akan
tetapi, sebagai orang Indonesia kita tidak boleh merasa rendah diri atau pun pesimistis ketika
menulis atau menerbitkan artikel dalam bahasa Indonesia. Kita bangsa yang besar yang dapat
menjangkau ratusan juta pembaca bahkan sampai melintas batas Negara ke Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam, Timor Leste, Philpina dan juga Thailand. Dengan luasnya
pembaca sasaran, tujuan utama penulisan artikel ilmiah, yaitu untuk dapat dibaca dan
mempengaruhi banyak orang (Lindsay , 2011, p.5), peranan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi ilmiah tidak perlu diragukan.
Tak ada model yang paling baik dan tidak ada bahasa yang paling benar atau hebat.
Yang perlu diingat adalah kita harus berusaha untuk mengikuti aturan penulisan sesuai
bahasa pengatar yang kita gunakan. ‘Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ (Badudu,
2008) merupakan peribahasa bijak yang memberikan arahan agar kita selalu menyesuaikan
dan menghargai tradisi tempat kita menapak. Keragaman struktur dan pola-pola retorik yang
ditemukan dalam jurnal terakreditasi bukan sesuatu untuk disengketakan, tetapi saling
mengingatkan untuk bisa menjadi lebih baik. Pengalaman dari para penulis APBI bisa
dimanfaatkan sebagai pembanding dan bekal ketika tuntutan menulis dan menerbitkan pada
13
jurnal internasional menjadi suatu keharusan. Menerbitkan artikel dalam bahasa Inggris
janganlah menjadi penghalang untuk tetap bangga berbahasa Indonesia.
Referensi
Ahmad, U. K. (1997). Research article introduction in Malay: Rhetoric in an Emerging research
community. In A. Duszak (Ed.), Culture and Styles of Academic Discourse. Berlin: Mouton de
Gruyter.
Badudu, J. S. (2008). Kamus Peribahasa: Memahami Arti dan Kiasan Peribahasa, Pepatah, dan
Ungkapan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Basthomi, Y. (2007). Learning from the discursive practice of reviewing and editing: English research
article publication in Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran 14(1), 65 - 74.
Basthomi, Y. (2012). Ambivalences: Voices of Indonesian academic discourse gatekeepers. English
Language Teaching, 5(7), 17 - 24.
Bhatia, V. K. (2004). World of written discourse: A genre-based view. London: Continuum
International.
Borchers, T. A. (2006). Rhetorical theory: an Introduction. Belmont, CA Australia: Wadsworth.
Canagarajah, A. S. (2002). A Geopolitics of Academic Writing. Pittsburgh: University of Pittsburgh
Press.
Canagarajah, A. S. (2010). Internationalizing knowledge construction and dissemination. The Modern
Language Journal, 94(4), 661 - 664.
Cargill, M., & O'Connor, P. (2009). Writing specific research articles: Strategy and Steps. Oxford
UK: Wiley-Blackwell.
Connor, U. (1996). Contrastive Rhetoric: cross-cultural aspects of second language writing.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Cruz, Isagani R. 2008. "Challenging ISI Thomson Scientific's Journal Citation Reports:
Deconstructing "Objective", "Impact", and "Global". Libraries and the Academy, 8 (1):7 -13.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1998. "Strategies for a successful National Language Policy". International
Journal of the Sociology of Language, 30: 35 - 47.
Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Bahasa Inggris. Jakarta: Balai Pustaka.
Duff, P. A. (2007). Problematising academic discourse socialisation. In H. Marriot, T. Moore & R.
Spence-Brwon (Eds.), Discourse and the Discourse Learning (pp. 1.1 - 1.18). Melbourne: Monash
University e-Press.
Duff, P. A. (2008). Case study research in applied linguistics. New York: Lawrence Erlbaum/Taylor
& Francis Group.
Duszak, A., & Lewkowicz, J. (2008). Publishing academic texts in English: A Polish perspective.
Journal of English for Academic Purposes, 7, 108 - 120.
14
Eng, S., & Sutiyono, W. (2008). Organizational identity and network organizations: Evidence of
grass-root NGO's in Indonesia. In 2008 Annual Conference of the Academy of Management.
Anaheim, California.
Fakhri, A. (2009). Rhetorical variation in Arabic academic discourse: Humanities versus law. Journal
of Pragmatics, 41, 306 - 324.
Flowerdew, J. (2001). Attitudes of journal editors to nonnative speaker contributions. TESOL
Quarterly, 35, (1), 121 - 150.
Flowerdew, J. (2007). The non-Anglophone scholar on the periphery of scholarly publication. AILA
Review, 20, 14 - 27.
Gibbs, W. (1995). Lost science in the Third World. Scientific American - SCI Amer, 273 (2), 92 - 99.
Hastanto, S. (2005). Peran seni Budaya dalam kehidupan global. Kompasiana.
<http://www.kompasiana.com/post/type/opinion >20 Desember 2011
Hyland, K. (2008). Genre and academic writing in the disciplines. Language Teaching, 41(4), 543 -
562.
Hyland, K. & Paltridge, B. (2011). The continuum companion to discourse analysis. New York:
Continuum.
Indonesian Scientific Journal Database. (2012). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
<http://www.journal.pdii.lipi.go.id>. 11 Maret 2013
Irawanto, D. W., Ramsey, P. L., & Ryan, J. C. (2011). Challenge of leading in Javanese culture. Asian
Ethnicity, 12(2), 125 - 139.
Kanoksilapatham, B. (2005). Rhetorical structure of biochemistry research articles. English for
Specific Purposes, 24(3), 269 - 292.
Kaplan, R. B. (1966). Cultural thought patterns in intercultural education. Language Learning, 16, 1-
20.
Kaplan, R.B. (2002). The Oxford Handbook of Applied Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
Keane, W. (2003). Public speaking: on Indonesian as the language of the nation. Public Culture,
15(3), 503 - 530.
Kirkpatrick, A. (2008). English as the official working language of the Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN): Features and strategies. English Today. The International Review of the English
Language, 24(2), 27 - 34.
Lindsay, D. (2011). Scientific Writing = Thinking in Words. Coolingwood VIC Australia: CSIRO
Publishing.
Loi, C. K., & Sweetnam-Evans, M. (2010). The cultural differences in the organization of research
article introduction in English and Chinese from the field of educational psychology. Journal of
Pragmatics, 42, 2814 - 2825.
McKenny, J., & Bennett, K. (2011). Polishing papers for publication: Palimpsests or procrustean
beds? In New trends in corpora and language learning, edited by A. Frankkenberg-Gracia, Lynne
Flowerdew and Guy Aston. London - New York: Continuum International Publishing Group.
15
Mirahayuni, N. K. (2001). Investigating generic structure of English research articles: Writing
strategy differences between English and Indonesian writers. The 49th TEFLIN International
Conference 2001, Kuta Bali.
Moeliono, A. M. (2000). Kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia dalam era lobalisasi. Dalam H.
Alwi, D. Sugono & A. R. Zaidan (Eds.), Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Moreno, A. I. (2004). Retrospective labelling in premise-conclusion metatext: An English - Spanish
contrastive study of research articles on business and economics. Journal of English for Academic
Purposes, 3(4), 321 - 339.
Moreno, A. I. (2010). Researching into English for research publication purposes from an applied
intercultural perspective. Utrech Studies in Language and Communication, 22, 57 - 71.
Murray, R. (2005). Writing for Academic Journals. Berkshire: Open University Press.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 17 Tahun 2013. (2013). Jabatan
Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya. Jakarta: Menteri Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Republik Indonesia.
Purwadi. (2007). Filsafat Jawa dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Purwadi. (2008). Etika Jawa: Pedoman hidup yang digali berdasarkan kearifan warisan para leluhur
Yogyakarta: Panji Pustaka.
Rahardjo, M. (2010). Retorika SBY dan Pansus Century. http://mudjiarahardjo.com/karya-ilmiah/10
Rakhmawati, A. (2013). English Research Articles Written by Indonesian Academics: Coping with
Common Practices and Rhetorical Diversity. The 3rd International Conference on Foreign Language
Learning and Teaching. Bangkok: Ambasador Hotel, 17 – 18 March 2013
Rido, A. (2010). The use of discourse markers as an interactive feature in science lecture discourse in
L2 setting. TEFLIN, 21(2), 90 - 106.
Rusdi. (2006). The discourse structure of students' questions and answers in seminar class discussion.
Linguistik Indonesia, 24 (1), 201 - 208.
Saddhono, K. (2006). Bahasa etnik Madura di lingkungan sosial: Kajian sosiolinguistik di Kota
Surakarta. Kajian Linguistik dan Sastra, 18(34), 1 - 15.
Safnil. (2000). Rhetorical Structure Analysis of the Indonesian research articles. Disertasi Ph.D tidak
diterbitkan. Canberra: The Australian National University.
Safnil. (2009). Retorika teks khotbah: Model analisis retorika genre agamis. Paper presented at the
KIMLI - Konferensi Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Sanchez-Pereyra, A. (2012). Latin American Scientific Journals: from 'Lost Science' to open access.
SciELO (Scientific Electronic Library Online) http://ebookbrowse.com/latin-american-scientificjournals-
ponencia-sanchez-pereira-pdf-d30116009.
Sarsito, T. (2006). Javanese culture as the source of legitimacy for Soeharto's goverment. Asia Europe
Journal, 4, 447 - 461.
Siregar, B. U. (2008). Peta penelitian kebahasaan di Indonesia: Suatu sketsa Teoritis. Kongres Bahasa
Indonesia, Jakarta.
16
SuaraMerdeka. (2011). UNS hanya hasilkan 34 penelitian internasional, Suara Merdeka, 15 Juli 2011.
Sugono, D. (2004). Strategi Perancangan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kongres Bahasa
Utama Dunia. Kuala Lumpur.
Sugono, D. (2008a). Kebijakan bahasa daerah di Indonesia. Kongres Bahasa Gorontalo, 2 Mei 2008,
Gorontalo, Indonesia.
Sugono, D. (2008b). Peran Bahasa Indonesia dalam mencerdaskan anak bangsa. Semarang Indonesia:
Universitas Negeri Semarang.
Sukarno. (2010). The reflection of the Javanese cultural concepts in the politenes of Javanese. k@ta,
12 (1), 59 - 71.
Suparlan, P. (2002). Menuju masyarakat Indonesia yang multikultural. Simposium Internasional
Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, Denpasar Bali, 16 - 19 July 2002.
Susilo. (2007). Viewing Contrastive Rhetoric from a post modern perspective: Finding an implication
to the second language pedagogy. Cultural and English Language Teaching, 7(2), 99 - 109.
Sutadi. (2005). Sumbangan basa lan budaya Jawa [The Contribution of the Javanese language and
culture]. Paper disajikan pada International Seminar of Javanese, Suriname, 26 - 27 May 2005.
Swales, J. M. (1990). Genre Analysis: English in Academic and Research Settings. Cambridge:
Cmabridge University Press.
Swales, J. M. (2009). Worlds of Genre - Metaphors of Genre. In C. Bazerman, A. Bonini & D.
Figueiredo (Eds.), Genre in a Changing World (pp. 3 - 16). Indiana: Parlor Press.
Swales, J. M., & Feak, C. B. (2004). Academic Writing for Graduate Students: A Course for Nonnative
Speakers of English. Ann Arbor: The University of Michigan Press.
Torchia, C. (2007). Indonesian idioms and expressions: Colloquial Indonesian at work. Singapore:
Tuttle Publishing.
Tuan, L. T. (2010). Rhetorical structure in the language of Viatnemese Advertisements, Asian Social
Science, 6(11), 175 - 182.
Undang-Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2005. Jakarta:
Depdiknas
Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan 2009. In Nomor 24 Tahun 2009. Jakarta: The Ministry of Education and Culture of the
Republic of Indonesia.
Uysal, H. H. (2008). Tracing the culture behind writing: Rhetorical patterns and bidirectional transfer
in L1 and L2 essay of Turkish writers in relation to educational context. Journal of Second Language
Writing, 17, 183 - 207.
1
Kajian Humor dan Minda Kebahasaan Anak-anak Balita
Oleh : Dian Eka Chandra Wardhana *)
Humor bagi anak dapat meningkatkan kecerdasan dan menghaluskan
perasaan agar dia mempunyai daya tahan mental yang kuat yang akan
berpengaruh pada daya tahan fisik. Humor dicurigai sebagai permainan
bahasa di beberapa aspek struktur dan fungsi bahasa. Dengan demikian
kajian ini menjelaskan pandangan kebahasaan yang secara eksplisit dan
tersembunyi digunakan penutur pada saat berhumor. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnografi komunikasi
dan pragmatik. Data berupa tuturan anak pada saat berkomunikasi dengan
menggunakan humor yang terrepresentasikan pada saat bermain yang
terdokumentasikan dalam rekaman dan catatan lapangan yang bersifat
deskriptif dan reflektif. Temuan penelitian menunjukkan humor
direpresentasikan dengan permainan bahasa seperti pragmatik, sintaksis.
morfologi, fonologi dan semantik dalam minda dengan maksud tersembunyi
sehingga berbagai macam teori ambiguitas secara aktif dan fungsional
berperan dalam minda kebahasaan.Namun dalam kesempatan ini temuan
disajikan secara terbatas pada kajian humor dalam minda anak yang dikaji
berdasarkan sturktur sintaksis dan disfungsionalisasi kebahasaan.
Kata Kunci : humor, minda kebahasaan, ambiguitas
*), Dosen FKIP Universitas Bengkulu
1. Pendahuluan
Mahir berbahasa bagi anak anak balita mempunyai makna sebagai
mahir berbicara atau berkomunikasi secara interaktif dengan mitra tutur
(selanjutnya disingkat Mt), sehingga fungsi bahasa sebagai alat komunikasi
dapat dimaknai secara effektif. Sebagai alat komunikasi, representasi bahasa
anak balita pada saat bermain ataupun berkomunikasi dengan Mt sarat
dengan bahasa yang mempunyai bentuk bahasa main-main atau permainan
bahasa. Bahasa permainan ini merupakan bahasa yang mempunyai aturan
sendiri. Artinya bentuk bahasa permainan anak balita berbeda secara
gramatikal dengan bentuk bahasa orang dewasa. Permainan bahasa anak-anak
ini dari kacamata bahasa orang dewasa tampak sebagai humor sehingga dapat
dijadikan sebagai media belajar agar anak menjadi mahir berbahasa.
Permainan bahasa anak yang lucu (humor) merupakan permainan
yang menyenangkan sehingga akan mengesankan bagi anak, akibatnya
2
pemerolehan bahasa anak menjadi mengkristal karena anak senang. Pendapat
yang sama dikemukakan oleh (Aaron Debra, 2012: 14), tentang manfaat
humor yang direpresentasikan melalui bahasa. Ia mengatakan bahwa humor
di kalangan anak-anak merupakan area permainan dengan kata-kata atau
bagian-bagian bahasa yang dikombinasikan dengan logika mereka secara
langsung, sehingga orang dewasapun pada akhirnya menyadari bahwa
permainan tersebut bermanfaat untuk meningkatkan kemahiran berbahasa
anak. Namun pendapat lain dikemukan oleh seorang ahli semantik Pierre
Guiraud (1976, 1981) dalam Auron Debra, (2012:15), ia mengemukakan
bahwa kegiatan permainan bahasa yang direpresentasikan seorang anak
sering kali merupakan kegiatan “defungsionalisasi” bahasa. Artinya, kegiatan
permainan bahasa ini hanya merupakan suatu kegiatan permainan, bukan
untuk tujuan-tujuan lain di dalam kegiatan berbahasa. Dengan demikian
dalam konteks lain apabila permainan bahasa ini digunakan untuk
berkomunikasi, maka secara factual anak berbicara dalam suatu arus bunyi,
dan Mt perlu memahami suatu bahasa untuk menguraikan apa yang didengar
ke dalam komponen-komponen frasa, kata, dan morfem. Komponenkomponen
ini secara acak menguraikan bunyi seperti bunyi mesin yang
diprogram secara kasar, diatur untuk mengasosiasikan bunyi dengan frasa2
tertentu yang muncul dengan potongan-potongan bunyi dari suatu kegiatan
berbahasa dengan makna yang tidak jelas, sehingga dapat dikatakan bahwa
permainan bahasa merupakan kegiatan berbahasa yang tidak fungsional.
Contoh berikut diambil dari Aaron Debra, (2012:13), yang
mengatakan bahwa perkembangan kompetensi bahasa anak yang baru berusia
dua tahun, dapat dilihat dari representasi bahasanya. Seorang anak yang
berkata, “Aku kekayuan”, makna dari kata ini dapat ditafsirkan sebagai, dia
telah menemukan serpihan-serpihan kayu yang memenuhi jarinya. Anak
yang sama dengan jelas telah menggeneralisir aturan tertentu karena pada
minggu yang sama dia berkata “aku mengatapkan bola”. Makna dari kata
tersebut adalah “dia baru saja melempar bola ke atas atap”. Meskipun ujaran
itu lazim digunakan, kita bisa memahami apa yang dia maksudkan, kita bisa
tahu aturan-aturan apa yang bisa ia ikuti. Contoh lain ditemukan pada contoh
kalimat yang ditulis Debra (2012:14), dia mengatakan, “Aku mengumpulan
kertas di dalam satu file menjadi aku memfilekan kertas “, ‘aku meletakkan
buah di dalam botol menjadi aku membotolkan buah”. Kalimat-kalimat anak
tersebut mengikuti aturan, bahwa kalimat memiliki Verb Phrase (frasa kata
kerja) yang terdiri dari kata kerja kata benda dan menggunakan bentuk
kalimat kompleks seperti kata kerja ditambah frasa kata benda ditambah frasa
preposisi. Hal ini didukung oleh Bower Man 1982 dalam Aaron Debra,
(2012:15) yang memberikan contoh lain yang disebut Giggle me. Buat aku
tertawa terbahak bahak, yang dihasilkan oleh seorang anak. Agaknya hal ini
3
punya aturan yang sama dengan “kelitiki aku” atau “bawa (jinjing aku)”.
Contoh-contoh ini memberikan sisi transfaran pada proses pemerolehan
bahasa anak yang masih memilah-milah struktur argument dalam kata kerja
bahasa Inggris dan kreatifitas berbahasa anak-anak ini sangat menghibur,
karena kesegaran dari kreasi itu dan nilai logis lokal tertentu yang menyadap
pengetahuan linguistic secara diam-diam (linguistic tacit) dari para penutur
dewasa.
Fenomena tersebut menjelaskan sifat dasar humor yang mampu
merepresentasikan sifat dasar pikiran anak (selanjutnya ditulis Pn), karena
humor merupakan unit-unit mandiri yang menggambarkan sifat bahasa dan
sifat minda pada saat proses representasi bahasa Pn. Contoh lain, ketika anak
memanggil orang tua laki laki yang berangkat sekolah keluar negeri pada saat
dia bayi dan ketika pulang anak sudah pandai berbicara, maka dia memanggil
ayahnya dengan sebutan “Mas Bapak”. Hal ini disebabkan ketika bapaknya
masih sekolah, di lingkungan keluarga yang ada hanya laki-laki yang lebih
tinggi, lebih besar dan lebih tua dari anak, sehingga dalam budaya jawa,
lelaki tersebut mendapat sebutan “Mas”. Hal ini mengkristal di benak anak,
sehingga anak memahami orang dengan karakteristik tersebut tanpa
menyadari bahwa dalam budayanya lelaki tersebut adalah suami sang ibu dan
akan mendapat julukan atau dipanggil yang berbeda dengan lelaki lain di
lingkungan keluarganya.
Permainan bahasa-permainan bahasa yang direpresentasikan anak
tersebut merupakan kreativitas bahasa anak yang bersifat interaktif namun
kadang disfungsionalitas karena bentuk permainan bahasanya yang
direpresentasikan bak seorang pemain bola (Aaron Debra, (2012:161-170),
artinya ketika seorang anak bermain dengan bahasa, maka suara-suara
disusun, disusun ulang, diulang, diputar-balik ke dalam dan ke luar,
dinyanyikan, diteriakkan, dibisikkan, ditarik, dan dipanjangkan, sama halnya
seperti dimainkan demi bahasa itu sendiri. Paling tidak kompetensi
kebahasaan yang dimiliki anak merupakan serangkaian elemen kebahasaan
yang terbatas, dan pikiran si anak itu sendiri. Dengan demikian humor
tampak sebagai ambiguitas linguistic atau masalah mendasar dari sebuah
lingkaran ambiguitas (Aaron Debra, 2012 : 158). Mengenali suatu humor
membutuhkan fasilitas pengetahuan yang tersembunyi dari kompentensi
kebahasaan yang mengarah pada pengetahuan gramatikal dan cara-cara yang
mungkin dapat diakses karena humor merupakan produk dari permainan
dengan bahasa yang dapat digunakan untuk melihat apa yang mungkin dan
apa yang terjadi di dalam dunia anak pada umumnya dan minda anak pada
khususnya. Bermain itu menyenangkan, karena hal ini menghasilkan
kesenangan. Setiap orang punya serangkaian mainan baik yang berupa
4
bagian-bagian bahasa ataupun, dan aturan-aturan yang dikombinasikan dari
bagian-bagian bahasa tersebut, namun kita tidak menyadarinya.
Begitupun keberadaan balita yang secara diam-diam (tacit)
meneladani model (orang-orang dewasa di sekitarnya) dan meniru berbagai
gaya berbahasa mereka. Sebagai model para balita sudah seyogjanya disadari
orang dewasa karena pertumbuhan yang didasarkan dari pengalaman
menyenangkan akan lebih baik dari hal yang sebaliknya pada balita tersebut.
Hal tersebut didukung oleh berbagai penelitian terdahulu (Oberlander, R
June, 2008, Al Faruq, Assadulloh, 2010, dan Raja, Patuan, 2004) sehingga
penelitian tentang humor dan minda kebahasaan anak menarik dilakukan.
Penelitian ini menjelaskan humor anak balita dan kandungan pengetahuan
kebahasaan dalam mindanya, baik yang tersurat atau tersirat.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan
pendekatan etnografi komunikasi dan pragmatik. Data berupa tuturan anak
pada saat berkomunikasi dengan menggunakan humor yang
terrepresentasikan pada saat bermain baik di lingkungan keluarga maupun
teman-teman sepermainan. Hal ini didokumentasikan dalam rekaman dan
catatan lapangan yang bersifat deskriptif dan reflektif. Analisis data
menggunakan bagan alir dari Miles dan Huberman (1984) dan dimulai pada
saat pengambilan data dimulai dan validasi hasil analisis dilakukan dengan
cara teori yang memperhatikan beragam teknik pengambilan data dan diskusi
intensif dengan teman sejawat (tim peneliti di lemlit Unib).
2. Hasil penelitian
Kejelasan humor anak balita dan kandungan pengetahuan kebahasaan
dalam mindanya, baik yang tersurat atau tersirat ini direpresentasikan melalui
penggunaan bahasa secara fungsional sebagai alat komunikasi. Di samping
itu, humor anak balita inipun berdasarkan temuan hasil analisis data ada yang
bersifat disfungsionalisasi. Hal tersebut disebabkan kompetensi dan
kreativitas bahasa anak hanya ditujukan untuk sebuah celotehan yang tidak
mempunyai kejelasan makna secara fungsional. Temuan penelitian secara
detail dapat dibaca pada uraian berikut.
2.1 Representasi humor dan minda kebahasaan anak balita yang
direpresentasikan melalui penggunaan bahasa secara fungsional
sebagai alat komunikasi
Representasi humor dan minda kebahasaan anak-anak balita
direpresentasikan melalui penggunaan bahasa secara fungsional sebagai alat
5
komunikasi. Berdasarkan hasil analisis data, hal tersebut dimaknai sebagai
humor dalam minda kebahasaan anak yang secara fungsional digunakan
sebagai alat komunikasi oleh anak dalam berinteraksi dengan Mt. Anak-anak
balita sebagai anggota komunitas manusia adalah mahluk yang suka melucu.
Kegiatan melucu atau humor ini direpresentasikan secara tidak sengaja ketika
memproduksi kompetensi dan kreativitas berbahasanya karena penguasaan
kompetensi kebahasaan mereka yang belum sempurna (berbeda dengan
gramatika orang dewasa). Hal tersebut dipelajari melalui pengalamanpengalaman
kebahasaan yang bersifat diam-diam (tacit).
Humor anak balita direpresentasikan dengan kreativitas sebagai alat
komunikasi ini menjelaskan bahwa humor dalam minda anak menggunakan
bahasa yang dilengkapi dengan penggunaan aspek-aspek kebahasaan yang
lain. Hal ini penting diketahui agar aturan, ciri-ciri humor serta tujuan humor
anak anak balita merepresentasikan pikiran anak melalui bahasa, baik yang
tersurat atau tersirat. Temuan yang dimaksudkan berdasarkan hasil analisis
data ini secara rinci diuraian dalam tulisan berikut.
(1) Humor yang merepresentasikan minda kebahasaan karena kreativitas
berbahasa anak
Kompetensi dan kreativitas berbahasa seorang anak sangat
mengesankan dalam memproduksi bahasa yang terkesan lucu. Hal ini
disebabkan produksi bahasa oleh penutur asli ini mampu membuat penilaian
gramatikal yang berkaitan dengan kata-kata dari kosa kata bahasa mereka.
Tidak begitu penting, apakah kombinasi kata dan kosa kata tertentu itu
pernah didengar atau tidak. Hal ini menakjubkan ketika dipikir bahwa
pembelajaran merupakan suatu proses penyimpanan sederhana yang terproses
dengan sangat menyenangkan akan mengkristal di minda sehingga
terpajankan secara sempurna di masa mendatang. (Chomsky, dalam
Eerdmans, L Susan, 2002:151). Kreativitas linguistic ini memotivasi peneliti
untuk membuat pertanyaan apakah Chomsky telah membedakan contoh yang
relevan tentang kompetensi dan kreativitas linguistic.Tampaknya Chomsky
belum membedakan karena didasarkan pada argumentasi tentang kemampuan
anak-anak untuk membuat penilaian gramatikal mengenai kalimat-kalimat
yang dipajankan dari LAD, sehingga penilaian ini valid secara gramatikal dan
logis. Penilaian ini penting dan fundamental dari seorang penutur yang
mempunyai kompetensi dari bahasa tersebut walau dia buta huruf atau
berusia sangat muda. Hal ini berkaitan dengan kemungkinan bahwa
kompetensi gramatikal terbatas yang ingin Chomsky jelaskan bisa jadi
merupakan suatu perkembangan yang baru dan hanya bisa berkembang di
beberapa kebudayaan saja. Konstruksi-konstruksi teoritis baru yang logis dan
valid sangat mungkin dipajankan.
6
Contoh (1) tante mami, diucapkan ketika seorang anak bertemu
kembali dengan ibunya yang sudah lama bekerja di luar negeri dan ternyata
anak tidak mengenali lagi bahwa ibunya yang dipanggilnya “mami”. Dalam
pikiran anak perempuan yang berusia paro baya layak dipanggil “tante”.
Pengetahuan ini secara tacit dia peroleh dari lingkungan, sehingga aturan
kebahasaan yang muncul dalam minda anak, ketika menyapa ibunya yang
baru bertemu lagi adalah “tante mami”. Fenomena tersebut didukung dengan
data (2) tentang sapaan anak terhadap bapaknya dengan kondisi yang sama
sehingga sapaan anak menjadi “Om bapak”, dan “Mas bapak”. Kondisi yang
sama dipertegas lagi dengan data (3) ketika anak menyapa ibunya dengan
sebutan “Mbah buk”, akibat fisik ibunya yang seperti nenek-nenek ketika
bertemu “lagi” ibunya setelah lama tidak bertemu karena ibunya bekerja di
luar negeri sebagai TKI.
Sapaan pada data (1), (2) dan (3) terasa lucu karena dalam gramatika
orang dewasa, humor tersebut dibuat dengan mengexploitasi keambiguan
dalam kata “tante”, “mami”. Kedua kata ini mempunyai makna dan
penggunaan yang berbeda. Sapaan kata “tante” digunakan untuk menyapa
perempuan paro baya yang bukan ibunya, namun kata ‘mami” sebaliknya.
Dalam hal ini terjadi kekacauan aturan kebahasaan yang bersifat normative.
Tujuannya norma tersebut dibuat untuk menghindari kebingungan yang akan
terjadi dalam komunikasi interaktif. Seperti yang kita ketahui, nama
difungsikan sebagai alat untuk menunjukan deskripsi unik setiap individu.
Memanggil dengan dua julukan sekaligus,malah membuat bingung. Hal ini
terjadi karena alasan solidaritas yang ditunjukan dengan cara memanggil
dengan julukan ganda. Seperti yang kita ketahui, penamaan/nama ada
hubungannya dengan kekuatan illokusi, karena julukan tertentu menunjukan
adanya hubungan antara satu individu dengan individu lain. Contohnya
antara guru dan murid, atasan dan bawahan, adanya hubungan hirarki, dengan
demikian berakibat pada penyebutan yang hanya mengarah pada hanya satu
julukan untuk menyapa seorang individu.
Contoh (4) aku kesemutan “digigit semut”, merupakan representasi
bahasa balita yang lucu karena kata tersebut mempunyai keambiguitasan
makna, artinya anak balita dalam merepresentasikan kata ini mengandung
humor bagi pendengar. Dalam minda anak, penggunaan bahasa yang
digunakan merupakan bahasa yang dirumuskan berdasarkan kebebasan
pribadi, karena pada saat berbicara, kebanyakan dari kita tidak suka diajari.
Hal ini berdampak pada strategi pembelajaran bahasa yang bersifat deskriptif
bukan preskiptif. Orang tidak menemukan adanya ketentuan yang bisa
diikuti, kecuali dalam bahasa tulis. Dalam hal ini kemungkinan ada
hubungannya dengan kesepakatan bersama. Prescriptisme bahasa cukup
membingungkan pengajar karena bahasa itu sulit dalam hubungannya dengan
7
penggunaan bahasa. Penjelasan tersebut didukung oleh data Kebanyakan dari
kita tidak suka diajari bagaimana berbicara, karena kita beranggapan lain
pada saat balita tersebut mengalami sakit kaki di minggu yang lain. Dia
mengatakan bahwa dia baru saja “miskram” data (5). Representasi kalimat ini
sangat membingungkan Mt karena Mt akan terheran-heran dan memaknai
kalimat balita tersebut dengan dugaan “tidak mungkin anak kecil keguguran,
hamil aja enggak”. Padahal yang dimaksudkan oleh anak adalah tangannya
kejang. Sebutan tangan yang sedang kejang dalam bahasa Indonesia adalah
kram, namun anak keseleo lidahnya dan memproduksi konsep tersebut
menjadi “miskram”.
Dalam kasus ini keberadaan teori ambigu yang ketiga berlaku untuk
memaknai kalimat yang direprentasikan Pn. Teori yang dimaksudkan adalah
teori no meaning yang menyatakan bahwa pendengar mula-mula tidak
memberikan tafsiran apa-apa terhadap kalimat, tetapi menunggu sampai
konteks menentukan sendiri tafsiran makna yang tepat. Namun penjelasan
yang berbeda berlaku dalam bahasa asing (Inggris) seperti yang dikemukakan
Aaron Debra, (2012:13). Ia mengatakan bahwa perkembangan kompetensi
bahasa anak yang baru berusia dua tahun, dapat dilihat dari representasi
bahasanya. Seorang anak yang berkata, “Aku kekayuan”, makna dari kata ini
dapat ditafsirkan sebagai, dia telah menemukan serpihan-serpihan kayu yang
memenuhi jarinya. Anak yang sama dengan jelas telah menggeneralisir
aturan tertentu karena pada minggu yang sama dia berkata “aku mengatapkan
bola”. Makna dari kata tersebut adalah “dia baru saja melempar bola ke atas
atap”. Meskipun ujaran itu lazim digunakan, kita bisa memahami apa yang
dia maksudkan, kita bisa tahu aturan-aturan apa yang bisa ia ikuti. Penjelasan
ini dapat didukung oleh data lain dalam temuan penelitian ini. Data yang
dimaksudkan adalah (6) aku kecacingan, (7) aku mengotakkan mainan, (8)
aku menggarasikan sepedaku, (9) aku menyampahkan jeruk, (10) aku
menggunungkan pasir di pantai, dan (11) aku menggelaskan air di dapur.
Contoh data (12) aku minum susu teh “aku minum teh saja bukan
susu”, menggambarkan bahwa dalam anak-anak dengan minda yang masih
polos bisa melakukannya apa saja dan mampu berbahasa dengan baik. Sejak
usia dini, anak mampu berkomunikasi dengan sangat lancar, dan
memproduksi ujaran yang terbentuk dengan sangat baik berdasarkan pada
suatu standard linguis. Bahasa yang lucu ini dapat digunakan pada konteks
sosial yang disesuaikan dengan dominasi penutur dalam konteks budaya
dimana dia berada. Hal ini sangat mungkin karena anak lebih mempelajari
bahasa dibanding aturan-aturan tatabahasa. Kompetensi tatabahasa tidak
penting karena dari kacamata orang dewasa mereka masih diragukan
memiliki kompetensi tersebut, sehingga komunikasi komunikatif merupakan
kompetensi yang sangat penting (Campbell dan Wales, 1970 dalam
8
Eerdmans L Susan dkk, 2002). Dengan kata lain, fokus minda anak diarahkan
pada penguasaan bahasa di dalam konteks bukan struktur kalimat yang
beraturan (Lyons, 1977 dalam Raja 2005). Dampak pada kegiatan
pembelajaran bukan hanya pada refleksi dari kesukaan atau ketertarikkan
anak-anak balita namun berkenaan dengan kepentingan kompetensi linguistic
sebagai suatu konsep yang masuk akal untuk anak-anak dan kepercayaan
bahwa hubungan antara pengetahuan dari struktur bahasa dan pengetahuan
mengenai aturan-aturan bahasa bisa berbeda pemahamannya untuk anak dan
orang dewasa.
Fenomena tersebut berarti bahwa kompetensi komunikatif tidak
disamakan dengan performa berbahasa atau kreativitas. Kreativitas dan
kemampuan penutur asli di dalam memproduksi dan menginterpretasi ujaran
dalam konteks yang tepat yang tidak pernah ia dengar sebelumnya tidak
pernah diragukan karena dengan kreativitas berbahasa tersebut anak akan
tahan banting dan mampu bertahan dengan nilai-nilai bahasa pertamanya.
Dengan demikian kemampuan berkreasi untuk membentuk ujaran-ujaran
baru yang “mengejutkan” menjadi dominasi pikiran-pikiran lucu anak-anak
balita. Pernyataan ini didukung oleh data (13) aku minum susu gelas aja
“susu yang diseduh di gelas bukan botol”, dan (14) aku minum sirup bapak
“aku minum kopi bapak”
Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Bloomfild (1926) dalam Raja
2005) mengenai bahasa alami. Blomfield mengatakan bahwa “totalitas ujaran
yang bisa diproduksi di dalam suatu komunitas bahasa menekankan kepada
kemampuan (competence), bukan pada ketepatan bentuk linguistic dalam
konteks. Hal ini bukan pemaparan aturan-aturan gramatikal, namun
didasarkan pada pengontrolan fitur2 linguistik seperti misalnya referensi
deitik (it, the, se, he …mengacu kemana gitu), sapaan, dan tindak tutur.
Kriteria keberterimaan secara tatbahasa hanya berlaku bagi kompetensi
tatabahasa orang dewasa.
Contoh lain muncul dalam tuturan anak dengan kondisi minda anak
yang lucu karena data berikut merupakan data yang bersifat kontras dari
kondisi logika orang dewasa. Data yang dimaksud adalah (15) mas kecil
dengan makna “kakak kecil karena secara budaya Pn harus memanggil pada
kakak dari anak “Bu Denya yang masih bayi”. (16) Kacang pendek “kacang
panjang yang dipotong-potong, sehingga ukurannya menjadi pendek”.
Humor dari pernyataan data (16) dikuatkan dengan pernyataan data (17)
Anak ikan “ikan teri”. Data (15), (16), dan (17), dan adalah data lucu
kebahasaan anak yang secara kreatif diproduksi anak. Data linguistik tersebut
secara kreatif lucu karena Mt menerima suatu kontras antara apa yang
diketahui tentang bentuk bahasa dan cara kerja bahasa di dalam minda anak
9
sehingga tuturan anak tampak lucu. Lelucon pada data tersebut menunjukkan
ambiguitas yang inheren dalam struktur linguistik karena ketidaksesuaian
penamaan secara tatabahasa dapat dikatakan tidak layak dan mengejutkan
Mt.
Contoh berikut merupakan humor yang menekankan pengulangan
fungsi kebahasaan anak. Data yang dimaksud tampak pada contoh (18)
“hafid kereta api” dengan makna “hafid hanya mau naik kereta api, ketika
ayahnya merencanakan liburan ke tempat nenek di Jawa Tengah. Contoh lain
(19) “Mika poweranjes”, (20) “Mika sumboko” dengan makna bahwa “Mika
hanya mau berperan jadi powerenjes atau sumboko ketika bermain peran
dengan teman-temannya. Data tersebut (18), (19) dan (20) merupakan
contoh humor dengan pengulangan fungsi tuturan yang sangat dekat antara
fungsi kebahasaan dengan fungsi logika anak. Data tersebut mendukung
karakterisasi teori Chomsky pada objek pembelajaran anak, menjadi tak
terbatas sifatnya sehingga menjadi menarik. Hal ini menantang kreativitas
atau argumentasi untuk memisahkan kompetensi sebagai objek pembelajaran
dibandingkan performansi. Kreativitas dimaknai sebagai suatu pandangan
yang termodifikasi dari detail-detail khusus suatu tipe kompetensi. Sementara
itu performansi dimaknai sebagai suatu bentuk modifikasi gagasan
kompetensi tersebut, menjadi dampak pada property modal yang formal.
Dengan demikian sangat mungkin bagi teori Chomsky untuk diperdebatkan
lagi mengenai kompetensi sebagai suatu sistem yang generative dan
menspesifikasi secara eksplisit tentang benang merah dari kata yang menjadi
suatu kalimat dari bahasa tersebut atau bukan.Upaya semacam itu dibuat
untuk memperoleh pernyataan diskrit, meskipun tidak semua orang
menyetujui bahwa tujuan ini masuk akal (cf. Hockett, 1968; Lakoff, 1971
dalam Raja 2005). Hal ini lebih sulit untuk memutuskan apakah model
kompetensi komunikatif bisa bersifat generative, atau malah menimbulkan
munculnya pernyataan probabilitas mengenai ketepatan penggunaan kalimat,
karena tidak ada satu orangpun yang tahu apa yang sebenarnya diharapkan
dari suatu model konteks sosial.
2.2 Representasi humor dan minda kebahasaan anak-anak balita yang
disfungsional
Representasi humor dan minda kebahasaan anak-anak balita yang
disfungsional ini terepresentasi karena anak menggunakannya sebagai
relaksasi untuk menghindari stress. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
peneliti selama bertahun-tahun, humor digunakan sebagai relaksasi untuk
menghindari stress, dan bila stress tidak dihindari maka manusis menjadi
10
mahluk yang mudah terkena penyakit (rentan), pelupa dan cepat tua. Bermain
dengan bahasa dengan efek kelucuan ini adalah asasi manusia. Berdasarkan
hasil analisis data, anak balitapun mampu tertawa mendengar kata-kata yang
janggal atau tidak standard secara kebahasaan, baik yang berupa puisi dengan
rima yang tidak biasa ataupun kata-kata kejut dari orang dewasa.
Perkembangan dan pertumbuhan budaya manusiapun diawali dari kegiatan
bermain. Berbagai permainan kreatif diciptakan para neurologis untuk
merangsang dan memotivasi pertumbuhan fisik dan psikis yang sehat dari
seorang anak. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya beraneka ragam
jenis mainan edukatif yang ada di toko mainan maupun buku-buku penuntun
untuk orang tua yang peduli pada pertumbuhan dan perkembangan kesehatan
jasmani dan rohani anak. Berbagai bentuk kebahasaan yang mendukung dan
direpresentasikan anak tampak pada data (21) dan (22) berikut.
Data (21) “Obu..obu”…(Batak “ayah-ayah”) dengan alunan intonasi
yang diteriakkan Subyek (Raira) ketika dia mulai jenuh disuapin ibunya
sambil bermain gadnet dan menonton tampilan dari film Scobydo. Celotehancelotehan
ini sering direpresentasikan karena ibu menyuapinya dengan
tampang yang diam selama hampir dan kadang lebih dari 2 jam dan hanya
memerintahnya untuk dekat-dekat dengan ibu karena ibu akan kesulitan
menyuapinya dengan materi makanan yang membosankan juga. Produksi
suara atau susunan suara yang tidak bermakna ini direpresentasikan Subyek
dengan cara yang monoton sehingga terkesan tidak interaktif dan lucu bagi
Mt. Produksi suara ini hanya berupa susuan bunyi (telegraphic) dan tidak
bermakna dan diekspresikan dengan lucu, namun datar. Berdasarkan temuan
hasil analisis data, tampak bahwa data (21) merupakan data kebahasaan yang
bersifat disfungsionalitas dalam kegiatan berbahasa sehingga membahayakan
Pn karena Pn tidak tampak berkembang kebahasaannya, baik di bidang
kosakata maupun tatabahasanya sehingga untuk ukuran anak yang seusia
dengannya (4 tahun) merupakan kompetensi yang mengkhawatirkan.
Walaupun secara mengejutkan anak mampu memproduksi kata-kata lain
misalnya (22) “hallo” dan (23) “ sampai jumpa”, namun kemampuan bahasa
dengan kompetensi ini perlu diarahkan menjadi kompetensi yang bersifat
fungsional.
Fenomena pendukung tampak pada data (24). Data ini
terepresentasikan sebagai data kebahasaan anak yang sedang mengalami
stress karena ibunya pergi bekerja, dan dia tinggal bersama pengasuh. Merasa
tidak nyaman dengan kondisi yang ada, tiba-tiba ia menjerit mencari ibunya.
(24) Mama…mama…mama…(tiba-tiba menjerit histeris padahal dia sedang
bersama pengasuh dengan kondisi nyaman menurut pengasuh). Ahli
semantik Pierre Guiraud (1976, 1981 dalam Aora Debra 2012), menyebut
kegiatan ini sebagai “defungsionalisasi” bahasa. Artinya kegiatan berbahasa
11
yang dilakukan Pn hanya bermanfaat untuk permainan. Berdasarkan temuan
hasil analisis data tampak pada cara Pn ketika memainkan objek. Hal ini bisa
menceritakan sesuatu pada kita mengenai sifat dasar objek, sebagaimana sifat
dasar pikiran anak-anak balita tersebut ketika melepaskan tekanan pada
pikirannya. Bahasa lucu merupakan unit-unit mandiri yang memberi kita
sesuatu tentang sifat bahasa dan sifat pikiran yang memproses bahasa.
Biasanya lelucon-lelucon disampaikan di dalam interaksi, namun ketika suatu
permainan bahasa tidak dibatasi baik fungsi komunikatif atau pribadi maka
Aquinas menggambarkan penggunaan bahasa yang lucu (Aquinas, Summa
Theologia, Question dalam Aora Debra, 2012:168). Penggunaan bahasa
dengan cara terdefungsionalisasi merupakan salah satu fungsi bahasa untuk
kepentingan bahasa itu sendiri bukan kepentingan si pembicara. Walaupun
kita bisa menghibur diri kita sendiri dengan bermain, akan jauh lebih
menyenangkan untuk bermain dengan orang lain. dalam arti bahwa, bermain
dengan bahasa mungkin baik dilakukan secara interaksional dan reflektif.
4. Simpulan
4.1 Representasi humor dan minda kebahasaan anak-anak balita yang
fungsional
Representasi humor dan minda kebahasaan anak-anak balita yang
fungsional didasarkan pada mempertimbangkan bahwa minda anak sudah
bekerja secara tacit untuk memproses pengetahuan sosiopragmatik secara
umum disamping pemrosesan aturan-aturan ujaran yang digunakan karena
anak bagian dari keanggotaan di dalam suatu masyarakat budaya. Hal ini
dibuktikan dengan dukungan hasil analisis data dalam penelitian ini.
Sejumlah kreasi linguistic yang dibuat oleh anak-anak menggunakan
fitur yang sama seperti yang ditemukan di dalam lelucon linguistic. Hal ini
mengungkapkan pengetahuan sadar tentang aturan bahasa pada saat bermain.
Seringkali kreasi linguistic digunakan di dalaman alisis bahasa anak-anak
untuk memperlihatkan perkembangan pemerolehan bahasa pertama. Tahaptahap
perkembangan pada kompeten sianak sangat penting dikaji untuk
kepentingan pembelajaran bahasa pertama, sehingga ketika anak yang baru
berusia 2 tahun berkata, “Aku kekayuan” maksudnya, dia telah menemukan
serpihan kayu yang memenuhi jarinya. Anak yang sama dengan jelas telah
menggeneralisir aturan tertentu karena pada minggu yang sama dia berkata
“aku mengatapkan bola” maksudnya dia baru saja melempar bola keatas atap.
Meskipun dari satu ujaran itu yang lazim digunakan, kita bisa memahami apa
yang diamaksudkan, kita bisa tahu aturan2 apa yang bisa ia ikuti. Contoh“
12
alternative yang dia temukan pada contoh kalimat berikut. “Aku
mengumpulan kertas di dalamsatu file menjadi aku memfilekan kertas “, ‘aku
meletakkan buah di dalam botol menjadi aku membotolkan buah”. Di dalam
kalimat2 yang dibuatnya ia mengikuti aturan, bahwa kalimat memiliki Verb
phrase (frasa kata kerja) yang terdiri dari kata kerjakata benda daripada
menggunakan bentuk kalimat komplek seperti kata kerja di tambah frasa kata
benda ditambah frasa preposisi. Contoh lain yang disebut Giggle me. Buat
aku tertawa terbahak-bahak, yang dihasilkan oleh seorang anak. Agaknya hal
ini punya aturan yang sama dengan kelitiki aku atau bawa (jinjingaku).
Hal ini berguna untuk pemahaman akan aturan untuk formasi causative
dalam bahasa Inggris. Contoh-contoh ini memberikan sisi transfaran pada
proses pemerolehan bahasa anak yang masih memilah-milah struktur
argument dalam kata kerja bahasa Inggris.(contoh lain bebatuan-kena batu).
Kreativitas berbahasa anak-anak ini sangat menghibur, dikarenakan
kesegaran dari kreasi itu dan nilai logis local tertentu yang menyadap
pengetahuan linguistic tacit dari para penutur dewasa.
4.2 Representasi humor dan minda kebahasaan anak-anak balita yang
disfungsional merupakan kreativitas yang ditujukan untuk permainan yang
diorientasikan pada kepentingan bahasa itu sendiri bukan pada si penutur.
Hal ini tidak dianjurkan dalam kegaiatan pemereolehan bahasa anak karena
kegaitan berbahasa seyogjanya merupakan kegiatan berbahasa yang
dialkukan secara interaktif dan reflektif.
5. Implikasi
Saat ini dalam pendidikan bahasa, kreativitas berbahasa pada
khususnya merupakan sesuatu yang sama pentingnya dengan literasi dan kita
harus memperlakukannya dengan status yang sama (Ken Robinson, dalam
Simister, C, J, 2009:87). Hal ini disebabkan, kreativitas berbahasa secara
fungsional dapat menjaga karekter anak sebagai mahluk sosial karena
kebiasaan-kebiasaan berbahasa anak digunakan dalam kegiatan interaksi
secara menyenangkan (Ayah Edi, 2012:157-174), sehingga pembentukkan
karakter anak dapat dilakukan dengan cara-cara membiasakan berbahasa
dengan humor.Humor merupakan produk dari permainan dengan bahasa
untuk melihat apa yang mungkin dan apa yang terjadi. Bermain itu
menyenangkan dan ini menghasilkan kesenangan. Setiap orang punya
serangkaian mainan baik langsung maupun tidak langsung sehingga berguna
untuk kegiatan serius. Hal ini didukung oleh Gregory bateson (1976), seorang
antropologis dan polymath, mendiskusikan permainan, dan juga gagasan
permainan bahasa. Ia menunjukkan bahwa permainan bahasa
dikarakteristikkan berdasarkan pada penambahan tindakan metakomunikatif,
13
suatu komentar, yang berada di luar level denotatif komunikasi (Bateson,
1976 : 121). Penelitian penunjang lain untuk konsep tersebut menunjukkan
bahwa keduabelahan otak terlibat dalam aktivasi semantic, selama
pembelajaran tentang lelucon diberlakukan (Kandhadai, Federmeier, 2008)
dan pemrosesan bahasa metaforik tidak mengaktifkan otak dengan cara yang
sama seperti yang dilakukan lelucon. Otak kanan menunjukkan kelebihannya
namun agak lebih lambat dalam memproses bahasa metaforik dan
pemrosesannya akhirnya diraih secara sama oleh kedua belahan otak yang
sama (Coulsun dan Van Petten, 2007 dalam Aero, Debra 2012). Pemrosesan
linguistic pada lelucon linguistic harus mengimplikasi otak kiri juga. Hal ini
telah terlihat pada permainan kata2 yang dilakukan oleh (Coulson dan
severens, 2007 dalam Aero, Debra 2012) yang telah mendemonstrasikan
bahwa meskipun otak kiri terlibat dalam disambiguitas dua makna yang
berbeda dari satu kata, otak kanan hanya berurusan dengan makna yang
paling berkaitan. Bagaimanapun juga kedua makna tersebut aktif di kedua
belah otak. Secara keseluruhan disimpulan, bahwa pemrosesan humor dalam
minda anak menuntut pemroesan belahan otak kiri dan kanan, sehingga
ketika kegiatan berbahasa terepresentasikan secara lucu, sebenarnya kedua
belahanan otak manusia bekerjasama untuk memaknai permainan bahasa
tersebut. (Gardner et al., 1983 dalam Aaron, Debra 2012:14). Hal sama
berlaku pada saat seseorang diperdengarkan mutarajul Al-Quran. Ditemukan
bahwa kedua belahan otak itu bekerjasama untuk “menikmati” lantunan ayatayat
yang dibacakan. (Hendraningrum, Putrisia A, 2011).
Daftar Pustaka
Aaron Debra, 2012. Jokes and The Linguistic Mind. New York : Routledge
Ayah Edi. 2012. Ayah Edi Menjawab. Jakarta:PT Mizan Publika
Al-Faruq Asadulloh, 2010. Mendidik Balita Mengenal
Agama.Jakarta:Kiswah
David Crystal, 1988:1. Joke and Their Relation to Society. Berlin and New
York : Mouton de Gruyter
Eerdmans, L Susan, dkk, 2002. Language and Interaction, discussions with
John J Gumperz. Philapeldia, USA: john Benyamin Publisher
Orberlander, R June.2008. Slow and Steady Get Me Ready, Buku Pedoman
14
Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Gramedia
Hendraningrum. A, Putrisia. 2011. Analisis Pengaruh Muratal Al-Qur’an
Terhadap Data rekam EEG Menggunakan Transformasi TF dan
STEF. Yogjakarta : Skripsi UGM Tidak diterbitkan
Kandhadai, Federmeier, 2008.
Setyorini, Amanda, 2013 (terjemahan). Anak-anak Cemerlang. Jakarta : PT.
Serambi Ilmu Semesta
1
ISTILAH BIDANG HUKUM: PEMAKAIAN DAN PENAFSIRANNYA
Dwi Purnanto
Fakukultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta
1. Pendahuluan
Pemakaian bahasa sebagai bentuk komunikasi akan dipahami oleh peserta tuturnya
tidak hanya melalui struktur kalimat yang disampaikan, tetapi juga melalui kesepakatan para
pemakai bahasa yang membentuk kelompok profesi tertentu di masyarakat. Bahasa sebagai
alat komunikasi ternyata merupakan aktivitas yang sangat kompleks karena melibatkan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan itu antara lain berupa kejelasan
bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pesan, kemampuan komunikator (penulis) di dalam
menyampaikan pesan, serta kesanggupan komunikan (pembaca) di dalam menangkap dan
memahami pesan seperti yang dikehendaki komunikator. Demi terlaksananya komunikasi
tersebut, bahasa dituntut untuk menunjukkan fungsinya sebagai alat yang efektif dan mantap.
Di dalam masyarakat terdapat beberapa kelompok profesi yang menggunakan bahasa
secara khas, seperti guru, pengusaha, dokter, militer, petani, pengacara, dan pedagang. Salah
satu kelompok profesi pemakai bahasa yang menarik adalah kelompok profesi hukum
(hakim, jaksa, pembela, notaris, dan ahli hukum lainnya). Sebagai kelompok profesi, para
ahli dan praktisi hukum berusaha menciptakan bentuk pemakaian bahasa yang khusus
(berbeda dengan bahasa kelompok profesi lain) sebagai penentu identitas kelompoknya.
Mengkaji bahasa, termasuk bahasa hukum, sebenarnya dapat ditilik dari beberapa
sudut pandang, antara lain dari sudut linguistik, sosiologi, psikologi, dan komunikasi. Bahasa
dalam pengertian ini dapat diartikan secara luas, yakni semua materi bahasa, baik kata-kata,
ungkapan atau idiom, peribahasa, pepatah, dan seluruh bentuk pernyataan pikiran yang
berbentuk kalimat yang dapat membawa manfaat bagi manusia dan masyarakat.
Pemakaian bahasa dalam bidang hukum ternyata memerankan fungsi yang sangat
penting karena setiap peraturan dan tata tertib harus dapat dijelaskan kepada setiap warga
negara dan masyarakat. Warga negara atau masyarakat diharapkan dapat mematuhi peraturan
perundang-undangan (hukum) dan menaati ketertiban. Untuk mencapainya diperlukan
pemakaian bahasa yang tertib, jelas, dan lancar. Bahkan, untuk dapat membangkitkan dan
memupuk kesadaran masyarakat di dalam menciptakan dan menegakkan hukum diperlukan
alat yang praktis dan efektif yang disebut bahasa.
Dalam setiap kegiatan hukum dibutuhkan bahasa sebagai medianya, khususnya dalam
2
produk tertulis, seperti perundang-undangan, jurisprudensi, buku-buku teks, tuntutan hukum
(requisitoir), pembelaan (ploidooi), surat-surat dalam perkara perdata maupun yang berwujud
keterampilan berbahasa dalam profesi, seperti konseptor-konseptor rancangan
perundangan-undangan, hakim, jaksa, pengacara, notaris, dan wartawan hukum. Tidak ada
satu pun kegiatan hukum tersebut yang dapat dilaksanakan tanpa bantuan bahasa yang
bersistem atau berstandar oleh para pencipta hukum tertulis yang menjadi syarat utama untuk
merumuskan hukum. Bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia, yang digunakan untuk
kepentingan bidang hukum sering disebut bahasa hukum.
Di dalam penggunaannya: bahasa itu tentu menunjukkan sejumlah ciri tersendiri,
frase-frase, serta susunan kalimatnya (Mahadi dan Sabaruddin, 1979:53; Hadikusuma,
1984:3). Jadi, bahasa hukum adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang
hukum dan tidak meninggalkan kaidah-kaidah dan syarat-syarat bahasa Indonesia.
2. Karakteristik Pemakaian Bahasa Hukum
Setiap pemakaian bahasa, baik lisan maupun tertulis, oleh para ahli dan praktisi hukum
dapat disebut bahasa hukum. Dengan mengikuti prinsip bahwa bahasa Indonesia dalam
bidang hukum merupakan bagian dari bahasa nasional yang paling abstrak, logis, jelas, dan
teliti, bahasanya pun juga harus mematuhi kaidah bahasa Indonesia yang mencakup sistem
tata kata, tata kalimat, ejaan, dan peristilahan. Dengan kata lain, setiap ketentuan kebahasaan
yang harus dipatuhi oleh bahasa standar pada umumnya harus pula dipatuhi bahasa di dalam
bidang hukum atau undang-undang dan para ahli hokum, baik sebagai teoritisi maupun
praktisi.
Bahasa standar (baku) adalah bahasa yang penggunaannya memenuhi syarat (1)
ketatabahasaan, (2) keselarasan logika, dan (3) keselarasan etika (Sabaruddin, 1979:54).
Lebih lanjut, Anton Moeliono mengajukan beberapa ciri bahasa keilmuan, termasuk di
dalamnya bahasa hukum, antara lain:
1. luas dan eksak karena menghindari dari kesamaran dan ketaksaan
2. objektif dan menekan prasangka pribadi
3. memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori yang
diselidikinya untuk menghindari kesimpang-siuran
4. tidak beremosi dan menjauhkan taksiran yang bersensasi
5. cenderung membakukan makna kata-katanya, ungkapan-ungkapannya, dan juga
paparannya berdasarkan konvensi
6. gaya keilmuan tidak dogmatis atau fanatik
7. gaya keilmuan bercorak hemat.
3
8. bentuk, makna, dan fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil dari yang dimiliki
kata biasa (Saleh, 1988:18).
Pemakaian bahasa Inggris di dalam bidang hukum juga memiliki kekhasan tersendiri.
Menurut Rahayuningsih, ciri-ciri itu antara lain terdapat dalam (1) pemakaian kalimat yang
panjang-panjang dan struktur tata bahasa yang kompleks, (2) kalimat pasif dan negatif ganda,
dan (3) pemakaian bahasa Perancis dan bahasa Latin, serta gaya bahasa kuno (2003:10-15).
Sementara itu, menurut pendapat Harkristuti masalah yang timbul dalam bahasa hukum itu
antara lain disebabkan ahli hukum (1) merumuskan atau menguraikan sesuatu dengan kalimat
yang panjang dengan banyak anak kalimat, (2) menggunakan istilah-istilah khusus tanpa
penjelasan, (3) menggunakan istilah ganda atau samar-samar, (4) menggunakan istilah asing,
dan (5) enggan bergeser dari format yang telah ada (2003:3).
Tidak semua kata, istilah, dan kalimat yang menunjukkan kaidah hukum, baik yang
dikemukakan secara lisan maupun tertulis dalam perundang-undangan bisa dipahami dengan
mudah. Oleh karena itu, diperlukan beberapa penafsiran hukum. Penafsiran hukum itu bisa
dilakukan berdasarkan tata bahasa, sistem, sejarah, sosiologis, dan otentik (Hadikusumo,
1984:21).
3. Pemakaian Istilah Hukum
Salah satu masalah yang dihadapi dalam pembinaan bahasa hukum di Indonesia adalah
masalah peristilahan. Dalam bidang peristilahan hokum, ditemukan masalah yang kompleks
karena peristilahannya harus mengikuti prinsip berasio, jelas, dan mengikat sebagaimana
yang dituntut dalam bahasa hukum. Sebagai produk tertulis, peristilahan dalam bidang
hukum berkaitan dengan bagaimana merumuskan, menyusun, dan menjabarkan
ketentuan-ketentuan hukum demi kepentingan hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, penggunaan
kata-kata, ungkapan-ungkapan, atau peristilahan-peristilahannya harus jelas, teliti, pasti,
seragam, dan bersistem. Untuk merumuskan peristilahan dalam bidang hukum yang dapat
mendukung konsep yang sudah ada dalam istilah asing dengan tepat dan jelas hendaknya
mempertimbangkan dua factor. Pertama, konsep-konsep itu sudah ada dalam masyarakat
bahasa Indonesia. Kedua, konsep-konsep itu masih asing bagi masyarakat Indonesia.
Faktor yang pertama berkaitan dengan kemampuan kata-kata bahasa Indonesia untuk
diangkat menjadi istilah hukum sehingga mampu mengembangkan konsep-konsep yang
dapat dipertimbangkan dan diangkat sebagai istilah yang tepat. Mengenai konsep-konsep
hukum yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, pembentukan dan peristilahannya
4
dilaksanakan secara pinjam-terjemah dan mengindonesiakan istilah asing dengan
menyesuaikan tata bunyi dan tata eja bahasa Indonesia.
Pemakaian istilah-istilah dalam bidang hukum ternyata banyak menggunakan bahasa
Latin dan bahasa Belanda. Pemakaiannya sudah ada yang diterjemahkan dan ada yang belum
diterjemahkan. Namun, istilah hukum yang sudah diterjemahkan ternyata juga belum tepat
dan konsisten. Sebagai ilustrasi, dapat ditampilkan beberapa contoh, misalnya bahasa hukum
yang berbunyi putusan in absentia. Kata ini berasal dari bahasa Latin. Ada yang
menerjemahkannya sebagai 'putusan tanpa hadirnya terdakwa', tetapi ada juga yang
menerjemahkan sebagai 'di luar hadirnya terdakwa'.
Karena hukum di Indonesia kebanyakan diambil dari hukum Belanda (khususnya buku
hukum pidana dan hukum perdata), pemakaian istilah banyak dipengaruhi oleh bahasa
Belanda. Di samping bahasa Belanda, bahasa asing lainnya yang berpengaruh adalah bahasa
Perancis, bahasa Inggris, dan bahasa Latin.
Berikut contoh-contoh istilah bidang hukum berikut padanannya dalam bahasa
sumbernya.
NO ISTILAH PADAN KATA ASAL BAHASA
1. pidana/hukuman straf Belanda
2. kejahatan voorval Belanda
3. pelanggaran hukum infringement Inggris
4. pelaku tindak pidana dader Belanda
5. pengaduan aanklacht Belanda
6. tuntutan requisitoir Perancis
7. keberatan exceptie Belanda
8. putusan tetap In krach van gewijde Belanda
9. putusan sela Temporary verdict Inggris
10. duplik dupliek Belanda
11. replik repliek Belanda
12. keterangan verklaring Belanda
13. alat bukti justificatoir Perancis
14. barang bukti Corpus delicti Latin
15. saksi getuigde Belanda
16. hakim rechter Belanda
17. penyangkalan contradictie Belanda
5
18. penasihat hukum/ pembela advocaat Belanda
19. penyidikan investigatie Belanda
20. pembelaan Ab instantia Latin
21. putusan bebas vrijspraak Belanda
22. delik delict/ strafbaarfeit Belanda
23. dakwaan kabur obscuur libel Belanda
24. kadalu warsa verjaard Belanda
25. kesaksian testimonium Belanda
26. saksi ahli contra expert Inggris
27. pengadilan rechtbank Belanda
28. penipuan zwenderarij Belanda
29. hak atas kebendaan Zakelijk recht Belanda
30. surat pembuktian justificatoir Perancis
31. peradilan rechtspraak Belanda
32. jurisprudensi jurisprudentie Belanda
33. jo juncto Latin
34. hakim pemeriksa Judex facti Latin
35. autopsi autopsy Inggris
36. hukum acara pidana Straf procesrecht Belanda
37. persidangan terechtzitting Belanda
Istilah-istilah di dalam bahasa hukum sebagian ada yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan ada sebagian yang belum diterjemahkan. Istilah hukum yang sudah
diterjemahkan itu ternyata juga belum tepat dan terpolakan. Beberapa contoh peristilahan itu
adalah "putusan in absentia". Kata ini berasal dari bahasa Latin. Ada yang
menerjemahkannya sebagai ‘putusan tanpa hadirnya terdakwa’, tetapi ada juga yang
menerjemahkan sebagai ‘di luar hadirnya terdakwa’. Istilah selanjutnya ialah "diktum". Kata
itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘amar’. Masyarakat pemakai bahasa
masih dituntut untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan istilah amar itu sendiri. Dalam
kaitan ini, kata amar diterjemahkan sebagai ‘isi suatu putusan’.
Istilah selanjutnya adalah eksepsi. Kata ini berasal dari bahasa Latin exceptio. Dalam
kenyataannya, kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ‘tangkisan’, ‘sanggahan’,
dan ‘sangkalan’. Arti kata-kata tersebut apabila dipergunakan terkadang masalah perasaan
6
turut terlibat. Oleh karena itu, perlu dipilih kata-kata yang tepat untuk menerjemahkan istilah
eksepsi.
Adanya perbedaan-perbedaan pemakaian peristilahan tersebut perlu segera dipikirkan
dan dipecahkan sesegera mungkin. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah mendaftar
istilah hukum yang ada. Hal ini sangat penting karena dapat membantu masyarakat luas
dalam rangka memahami peristilahan hukum. Tentunya dalam menertibkan atau
membakukan peristilan-peristilahan hukum tersebut perlu ada norma-norma yang
diperhatikan untuk menghindari agar istilah itu tidak mengandung makna ganda.
Di dalam penertiban peristilahan hukum, dimungkinkan dapat ditempuh dengan cara
menggali bahasa yang sudah ada dan dimengerti di daerah-daerah tertentu yang berada di
Indonesia dan selanjutnya ditingkatkan untuk menjadi bahasa nasional. Dalam hubungan ini,
terdapat beberapa contoh istilah, seperti residivis yang berasal dari bahasa Belanda residivist.
Istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘residivis’. Dalam kaitan dengan
ini setidak-tidaknya terdapat tiga arti yang perlu dipertimbangkan, yakni yang pertama
"bromocorah". Kata "bromocorah" berasal dari bahasa daerah (Jawa). Kedua, berarti
"kambuh". Ketiga, berarti "penjahat ulangan". Dalam memakai dan memilih kata "kambuh",
diupayakan harus hati-hati agar jangan sampai mempunyai makna ganda sebab kata
"kambuh" dalam komposisi kalimat "anak saya penyakitnya kambuh", bukan berarti "anak
saya penyakitnya residivis".
Dalam putusan pengadilan, ada istilah "in kracht van gewijsde" atau sering disingkat
"in kracht" saja. Istilah tersebut perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk
menerjemahkannya dengan istilah yang tepat, tentunya diperlukan pertimbangan kebahasaan,
misalnya ‘putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap", atau lebih singkat sebagai
‘kekuatan hukum tetap’.
4. Penafsiran Istilah Hukum
Perumusan bahasa hukum lazimnya disusun secara berbeda dengan pemakaian bahasa
sehari-hari. Sebagai contoh, ada dakwaan jaksa yang menuntut Tm berbunyi seperti berikut.
“… bahwa sekitar tanggal 13 Januari 2001 sekitar jam 16.00 WIB saksi Dody Harjito
datang ke tempat terdakwa R. Mulawarman bin Sunjaya yang bekerja di Difa Bar Senayan
dan mengatakan bahwa terdakwa R. Mulawarman sudah beli motor…” (Hidayana,
2002:101). Pernyataan tersebut sebenarnya akan menjelaskan bahwa “pada tanggal 13 Juni
2001 Dody Harjito datang sekitar pukul 16.00 WIB ke tempat kerja R. Mulawarman di Difa
7
Bar Senayan dan menanyakan apakah sudah membeli sepeda motor di Jalan Radio Dalam”,
kata Tri.
Persoalan yang menarik juga terdapat pada penafsiran hukum pasal 340 KUHP yang
berbunyi “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang
lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun
(Moeljatno, 2001:123).
Pasal di atas ditafsirkan jaksa dengan menjelaskan adanya empat unsur tindak pidana yang
saling berkaitan, yaitu:
1. barang siapa;
2. dengan sengaja;
3. dengan direncanakan terlebih dahulu;
4. merampas nyawa orang lain.
Unsur barang siapa ditafsirkan sebagai subjek hukum, yaitu orang atau manusia yang
melakukan tindak pidana dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan apa yang diperbuat
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Dalam perkara itu, barang siapa ialah CS alias
Tuti.
Jaksa menafsirkan unsur dengan sengaja dalam pasal itu juga mengandung makna
opzet. Menurut Memorie van Toelichting (MVT), yang dimaksud dengan sengaja (opzet)
adalah willen en wetten, yaitu seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki (willen) perbuatan itu, serta harus menginsyafi/mengerti (wetten) akibat
perbuatan itu. Di dalam perkara itu, akhirnya jaksa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan berkesimpulan bahwa terdakwa berniat untuk menghilangkan jiwa Sri Sukarsih
yang dapat dilihat dari perbuatan dan tindakannya yang dilakukan dengan penuh kesadaran.
Frasa dengan direncanakan terlebih dahulu ditafsirkan jaksa sebagai berikut.
Untuk dapat diterima suatu “rencana terlebih dahulu”, maka perlu adanya tenggang
waktu pendek atau panjang dalam mana dilakukan pertimbangan dan pemikiran yang
tenang. Pelaku harus memperhitungkan makna dan akibat-akibat perbuatannya, dalam
suasana kejiwaan yang memungkinkan untuk berpikir (H.R. 22 Maret 1409 KUHP
dan KUHAP dilengkapi yurisprudensi MA dan Hoge Raad Edisi KETIGA, R.
Soenarto Soeradibroto, SH hal 297).
Unsur merampas nyawa orang lain ditafsirkan seperti berikut.
Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan dihubungkan keterangan terdakwa dan
Visum Et Repertum yang dibuat oleh bidang Pelayanan Kedokteran Forensik Pusat
8
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia No. 1631-SKII/
1231/2-93 tanggal 18 Juni 1993 tertanda Drs. Siswadi Sudiono DSPF, menerangkan
telah melakukan pemeriksaan bedah jenazah atas jenazah Sri Sukarsih yang
berkesimpulan ….
Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, kami berkesimpulan unsur
“merampas nyawa orang lain” telah terbukti dengan sah dan meyakinkan menurut
hukum (Tuntutan Pidana oleh Jaksa Penuntut Umum, 1993:93-98).
Selain tindak pidana pembunuhan, penafsiran tindak pidana perzinaan sebagaimana
yang diatur dan diancam dalam pasal 284 (1) ke-1b jo. pasal 64 (1) KUHP ditafsirkan jaksa
seperti berikut.
Pasal tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut.
1. laki-laki beristri
2. berbuat Zinah
3. sedang diketahui pasal 27 KUH Perdata berlaku padanya
4. beberapa yang dipandang sebagai perbuatan berlanjut
Ad.1. Laki-laki beristri
Bahwa dari fakta yang terungkap dipersidangan terdakwa telah beristri dengan saksi
M dengan akte nikah No.178/18/VII/1987 pada tanggal 13 Desember 1987 di KUA
Karangnongko sehingga dari fakta tersebut maka unsur ke-1 telah dapat dibuktikan;
Ad.2. Berbuat zinah
Dari fakta yang terungkap di persidangan bahwa pada tanggal 10 Februari 2005,
terdakwa dengan saksi Mar melakukan persetubuhan yang dilakukan di kamar tidur
saksi Mar. Selain itu, sebelumnya antara terdakwa dan saksi Marinten juga telah
melakukan persetubuhan, yaitu tanggal 12 Januari, 26 Januari, 2 Februari, dan yang
terakhir tanggal 10 Februari 2005 tersebut. Karena antara terdakwa dan saksi
Mukinem bukan suami istri, sedangkan terdakwa masih terikat sebagai suami sah dari
saksi Mukinem sedangkan Mar suami sah dari saksi S maka persetubuhan terdakwa
dengan saksi Mar merupakan bentuk perbuatan Zinah, sehingga unsur kedua ini telah
terbukti;
Ad.3. Sedang diketahui pasal 27 KUH Pidana berlaku padanya;
Pengertian dari pasal tersebut bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi
seseorang perempuan dan perempuan hanya boleh menikah dengan seorang laki-laki.
Karena terdakwa dan saksi Mar memeluk agama Islam dan Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974, berlaku hal yang sama bahwa pada asasnya seorang
laki-laki hanya boleh menikahi seorang perempuan dan seorang perempuan hanya
boleh menikah dengan seorang laki-laki sehingga unsur tersebut juga terbukti;
Ad.4. Beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlanjut ;
Dari fakta yang terungkap di persidangan telah terbukti bahwa antara terdakwa
dengan saksi Marinten telah melakukan persetubuhan 4 kali, yaitu pada tanggal 12,
Januari, 26 Januari, 2 Februari, dan tanggal 10 Februari 2005. Oleh karena itu, maka
perbuatan tersebut dapat dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga unsur ini
juga telah dapat dibuktikan. (Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Klaten Tahun 2005)
9
Di dalam dokumen hukum, misalnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, juga
ditemukan hubungan kata yang sebenarnya tidak berhubungan, tetapi dimasukkan dalam satu
kelompok. Misalnya, konsep memanjat seperti dalam pengertian yang disebutkan dalam pasal
99 berbunyi “Yang disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang
sudah ada tetapi bukan untuk masuk; atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang
dengan sengaja digali; begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai
batas penutup” (Pasal 99 KUHPidana, Moeljatno, 2001:39).
Selain itu, di dalam KUHP juga ditemukan beberapa istilah atau kosa kata tindak
pidana yang dapat dikategorikan melanggar kepentingan seseorang yang dilindungi hukum
(rechtbelangen). Kepentingan-kepentingan itu dapat dikelompokkan atas kepentingan
individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan negara.
Setiap tindak pidana akan dijelaskan oleh praktisi hukum (hakim, jaksa, dan penasihat
hukum) dengan cara menafsirkan tindak pidana yang ditujukan kepada terdakwa. Melalui
analisis unsur tindak pidana tersebut, hasil penafsiran makna yang diciptakan dan disepakati
bersama oleh praktisi hukum akhirnya dapat diidentifikasi dan diketahui dengan jelas.
Penafsiran makna unsur-unsur tindak pidana lazimnya akan mengacu pada
kesepakatan praktisi hukum yang dibuat melalui analisis tindak pidana dengan menafsirkan
pasal KUHP atau undang-undang dan unsur tindak pidananya. Berdasarkan penafsiran
makna unsur tindak pidana dalam konteks pemakaiannya di persidangan, akan muncul
beberapa kosa kata (istilah tertentu) sebagai penentu register hukum.
Penafsiran unsur tindak pidana dapat dilakukan berdasarkan (1) makna referensial
unsur tindak pidana, (2) narasi (penceriteraan) peristiwa pidana, dan (3) penentuan makna
yang tercakup pada makna kata di atasnya (hiponiminya). Sebagai contoh penafsiran
referensial terhadap frasa barang siapa dilakukan dengan cara menentukan secara referensial
melalui pengertian hukum (konsep hukum). Konsep hukum di sini mengacu kepada subjek
hukum yang bisa dilakukan oleh orang atau badan hukum (yang diperlakukan seperti orang).
Setelah ditemukan konsep hukum, baru bisa ditentukan pelaku (terdakwa). Di dalam
menentukan terdakwa, sebenarnya akan menunjuk pada nama diri yang harus dipertegas
dengan nama orang.
Penafsiran dapat pula dilakukan dengan menceritakan terjadinya tindak pidana yang
dilakukan dengan cara menentukan (1) waktu (pada hari Senin tanggal 13 Desember 2004
pukul 09.00), (2) tempat (di Jl. Dr. Radjiman, Solo), (4) pelaku (terdakwa), (5) tindakan
(telah mengambil 7 buah play station), (6) cara (dengan cara merusak pintu dan grendel), (7)
tujuan tindakan (dibawa pergi untuk dijual). Misalnya, penafsiran dengan sengaja
10
mengambil sesuatu barang ditafsirkan sebagai ‘pada hari Senin tanggal 13 Desember 2004
di Jl. Dr. Radjiman, Solo sekitar pukul 09.00, terdakwa telah mengambil 7 buah play stasion
dengan cara merusak pintu serta grendel dan dibawa pergi untuk dijual’.
Penafsiran kata barang yang memiliki arti umum ditafsirkan secara hiponimi yang
secara leksikal menunjuk pada makna khusus atau suatu barang yang memiliki nilai
ekonomis tertentu (7 buah play station). Antara makna barang dan makna play station adalah
hubungan antara makna kelas dan makna subkelasnya.
Tindak pidana dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, antara lain tindak pidana
(1) pencurian, (2) penadahan, (3) penggelapan, (4) penipuan, (5) penganiayaan, (6)
pembunuhan, (7) pemakaian narkotika, (8) perjudian, (9) perzinahan, (10) pemerkosaan, (11)
korupsi, (12) pemalsuan, (13) keimigrasian, (14) penyimpangan obat, dan (15) tindak pidana
pengrusakan barang. Penjelasan masing-masing penafsiran unsur tindak pidana (peristilahan)
dapat dijelaskan sebagai berikut.
(1) Penafsiran makna unsur tindak pidana pencurian mengacu pada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 362 sampai dengan pasal 367. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, tindak pidana pencurian dapat dikategorikan atas (1) pencurian biasa, (2)
pencurian berat, dan (3) pencurian ringan. Ketiga kategori pencurian itu pada dasarnya
mempunyai kesamaan dalam hal penentuan ciri-cirinya, yaitu (1) mengambil, (2) barang,
(3) milik orang lain yang bukan haknya, dan (4) dengan melawan hukum. Sementara itu,
untuk membedakan macam-macam tindak pidana pencurian akan didasarkan adanya
jenis barang yang diambil, jumlah, dan cara mengambilnya.
Dikategorikan pencurian biasa jika pencurian tersebut memenuhi unsur (1) tindakan
mengambil, (2) yang diambil barang, (3) status barang itu sebagian atau seluruhnya
menjadi milik orang lain, dan (4) tujuan perbuatan itu dengan maksud untuk
memiliki barang itu secara melawan hukum (melawan hak).
(2) Penafsiran makna unsur tindak pidana penadahan mengacu pada KUHP pasal 480. Halhal
yang berhubungan dengan tindak pidana penadahan, antara lain adanya (1) barang
yang diperoleh dengan kejahatan, (2) kesengajaan atau culpa, dan (3) adanya kebiasaan
menadah (gewoonte-heling).
(3) Penafsiran makna unsur tindak pidana penggelapan mengacu pada KUHP pasal 372.
Tindak pidana penggelapan hampir sama dengan tindak pidana pencurian biasa.
Perbedaannya kalau dalam pencurian, barang yang diambil untuk dimiliki belum berada
di tangan pelaku, sedangkan dalam tindak pidana penggelapan, barang yang diambil
11
untuk dimiliki sudah berada di tangan pelaku dan tidak dengan jalan kejahatan atau
karena barang tersebut sudah dipercayakan kepadanya.
(4) Penafsiran unsur tindak pidana penipuan (bedrog) mengacu pada KUHP pasal 378.
Berdasarkan pasal itu, terdapat penyebutan ciri-ciri tindak pidana penipuan, antara lain
(1) membujuk orang lain, (2) untuk memberikan suatu barang atau membuat utang atau
menghapus piutang dengan melawan hukum, (3) dilakukan dengan tipu muslihat,
rangkaian kebohongan, nama palsu, dan peri keadaan palsu, dan (4) dengan maksud
hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain’.
(5) Penafsiran makna unsur tindak pidana penganiayaan mengacu pada KUHP pasal 351.
Berdasarkan pasal itu, tindak pidana penganiayaan digolongkan menjadi dua, yaitu
penganiayaan ringan dan penganiayaan berat. Dikategorikan penganiayaan ringan kalau
tidak menyebabkan sakit dan tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan jabatan
atau melakukan pekerjaan sehari-hari. Sebaliknya, dikatakan penganiayaan berat kalau
tindakan itu sampai mengakibatkan luka berat atau matinya si korban.
Tindak pidana penganiayaan dikategorikan menjadi dua tindakan, yakni direncanakan
secara tenang dan percobaan penganiayaan. Menurut pasal 353 KUHP, dikatakan sebagai
penganiayaan dengan direncanakan lebih dahulu secara tenang lama hukumannya 4
tahun penjara, dan akan meningkat lagi menjadi 7 tahun penjara apabila ada luka berat,
dan menjadi 9 tahun penjara apabila berakibat matinya orang; sedangkan dikatakan
penganiayaan berat dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu secara tenang, maka
maksimum hukuman menjadi 12 tahun penjara; dan apabila berakibat matinya orang
lama kurungannya menjadi 15 tahun penjara.
Sementara itu, menurut pasal 351 ayat 5 dan pasal 352 ayat 2, percobaan untuk
penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan tidak dikenakan hukuman.
(6) Penafsiran makna unsur tindak pidana pembunuhan mengacu pada pasal 338 KUHP.
Di dalam peristiwa pembunuhan perlu dibuktikan adanya tindakan yang mengakibatkan
kematian orang lain dan kematian itu memang disengaja oleh pelaku. Apabila kematian
itu tidak disengaja, tidak dikenai pasal 358, tetapi pasal 359, yaitu kurang hati-hatinya
menyebabkan matinya orang lain atau pasal 353 sub 3 yang menyatakan adanya
penganiayaan yang direncanakan lebih dahulu mengakibatkan matinya orang lain, atau
pasal 355 sub 2 ihwal adanya penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dahulu
yang mengakibatkan matinya orang lain.
(7) Penafsiran makna unsur tindak pidana pemakaian narkoba mengacu pada pasal Pasal 76
ayat (1) b UU RI no 22 Tahun 1997. Sesuai dengan ketentuan itu, tindak pidana
12
pemakaian narkotika dibedakan atas pengguna, pengedar, atau bandar; yang
konsekuensinya hukumannya juga akan berbeda.
(8) Penafsiran makna unsur tindak pidana perjudian mengacu pada pasal 303 ayat (3) KUHP.
Ada dua pasal yang berhubungan dengan perjudian, yakni pasal 303 tentang Kejahatan
Melanggar Kesopanan dan pasal 542 tentang Pelanggaran mengenai Kesopanan.
Menurut pasal 303 KUHP, ada tiga macam kejahatan yang semuanya diancam dengan
maksimum hukuman penjara dua tahun delapan bulan atau denda enam ribu rupiah;
sedangkan menurut pasal 542, ada dua macam pelanggaran yang akan dikenai ancaman
maksimum hukuman kurungan satu bulan atau denda tiga ratus rupiah. Selanjutnya, kosa
kata yang berhubungan dengan tindak pidana perjudian adalah barang siapa, (dengan)
sengaja, menuntut pencaharian, memberi kesempatan, main judi, turut campur,
(perusahaan) main judi, dan (dengan) tidak berhak atau tidak ada izin.
(9) Penafsiran makna unsur tindak pidana perzinaan mengacu pada KUHP pasal 284.
Menurut pasal itu, yang dimaksud zina adalah (1) persetubuhan yang dilakukan oleh
laki-laki atau perempuan, (2) yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang
bukan istri atau suaminya, dan (3) dilakukan atas dasar suka sama suka.
(10) Penafsiran makna unsur tindak pidana pemerkosaan mengacu pada KUHP pasal 285.
Menurut pasal itu, terdapat kriteria sebagai kosa kata persetubuhan yang diancam
hukuman maksimum 12 tahun penjara; sedangkan menurut pasal 289 KUHP, yang
menyerupai tindak pidana pemerkosaan adalah kriteria “penyerangan kesusilaan
dengan tindakan”, yang diancam dengan hukuman maksimum 9 tahun penjara. Ciri-ciri
tindak pidana perkosaan adalah (1) memasukkan alat vital ke vagina, (2) korban
meronta kesakitan, dan (3) mengeluarkan sperma.
(11) Penafsiran makna unsur tindak pidana korupsi mengacu pada KUHP pasal 25 Perpu No.
24 tahun 1960 yang dinamakan sebagai “Peraturan Pemberantasan Korupsi” atau yang
juga bisa disebut sebagai “Undang-Undang Anti-Korupsi”. Berdasarkan ketentuan itu,
yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi adalah (a) memperkaya diri, (b)
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan, dan (c) merugikan keuangan atau
perekonomian negara. Berhubung dengan adanya peraturan istimewa tentang
pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan atas tindak-tindak pidana korupsi ini termuat
dalam pasal-pasal 2 sampai dengan 12.
(12) Penafsiran makna unsur tindak pidana pemalsuan mengacu pada KUHP pasal 244. Yang
bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan adalah mengedarkan uang palsu dan
pemalsuan dalam surat-surat (Valschheid in Geschrift). Dalam pemalsuan uang, terdapat
13
kosa kata membuat secara meniru (namaken) dan memalsukan (vervalschen). Yang
dapat dikategorikan sebagai pemalsuan uang kertas jika uang kertas tulen diberi warna
lain dan termasuk dalam kategori pemalsuan uang logam jika ada perubahan bentuk uang
logam itu. Sementara itu, penafsiran makna unsur tindak pidana pemalsuan surat
mengacu pada KUHP pasal 263 ayat (1). Sesuai dengan ketentuan ini, tindak pidana
pemalsuan surat (valschheid in geschrift) bisa dikenai ancaman hukuman maksimal 6
tahun penjara.
(13) Penafsiran makna unsur tindak pidana keimigrasian mengacu pada KUHP pasal 52 UU
no. 9 tahun 1992. Selanjutnya, kosa kata khusus yang berkenaan dengan tindak pidana
keimigrasian adalah orang asing, izin keimigrasian, habis berlaku, masih berada dalam
wilayah Indonesia, melampaui batas waktu (60 hari), dan izin yang diberi.
(14) Penafsiran makna unsur tindak pidana penyimpanan obat mengacu pada KUHP pasal
82 ayat (I) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992.
(15) Penafsiran makna unsur tindak pidana pengrusakan barang mengacu pada KUHP pasal
406 ayat (1). Pada pokoknya perusakan barang akan memiliki ciri (1) tindakan
menghancurkan, merusakkan (membikin tidak dapat dipakai, mengihilangkan, (2)
sesuatu barang, (3) milik orang lain, dan (4) melawan hukum.
Pasal 406 ayat (1) tersebut mengancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah bagi siapa saja
yang dengan sengaja dan dengan melanggar hukum menghancurkan, merusakkan,
membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, atau menghilangkan barang yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain.
Berdasarkan ketentuan itu, ancaman hukuman bagi yang melanggar tindak pidana
pengrusakan barang adalah hukuman penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda
sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Sementara itu, apabila barang yang dirusak
mengacu pada kepentingan umum, dengan mengacu pada KUHP pasal 408, hukumannya
diperberat menjadi penjara selamanya 4 tahun. Sebaliknya, jika tidak ada unsur
kesengajaan dalam pengrusakan barang, dengan mengacu KUHP pasal 409, hukumannya
diperingan menjadi kurungan selamanya 1 bulan atau denda sebanyak-banyaknya seratus
rupiah.
14
5. Penutup
Karakteristik pemakaian bahasa hukum antara lain ditandai oleh adanya pemakaian
kosakata khusus atau istilah yang diserap dari bahasa lain, terutama dari bahasa Belanda dan
bahasa Inggris. Istilah dalam bidang hukum masih banyak menggunakan bahasa sumbernya,
khususnya bahasa Belanda, dalam pemakaiannya. Praktisi hukum secara tidak langsung akan
mengomunikasikan istilah tersebut untuk mengungkapkan gagasan-gagasan yang terkadang
hanya mereka pahami di dalam kelompok profesinya. Masyarakat atau warga negara yang
berada di luar kelompoknya masih banyak yang tidak atau kurang bisa memahami
peristilahan bidang hukum. Akhirnya, dapat dikatakan pemakaian istilah oleh praktisi hukum
bercorak khusus sebagai penanda identitas kelompok.
Ditemukan sejumlah cara penafsiran istilah hukum, yaitu dari perspektif kebahasaan
(tata bahasa), sistem, historis, sosiologis, dan otentisitasnya. Penafsiran kebahasaan
difungsikan untuk menentukan arti dan maksud suatu istilah dengan acuan makna yang
dikonvensikan para praktisi hukum sebagai ciri khas register hukum. Sementara itu,
penafsiran unsur tindak pidana atau peristilahan dilakukan berdasarkan (1) makna referensial
unsur tindak pidana, (2) narasi (penceriteraan) peristiwa pidana, dan (3) penentuan makna
yang tercakup pada makna kata di atasnya (hiponiminya).
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Muhammad. 1985. Ilmu Pengetahuan Notariat. Bandung: Sinar Baru.
Algra, N. E. 1983. Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia.Bandung: Bina Cipta.
Anwar, Khaidir. 1984. Fungsi dan Peranan Bahasa: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
GajahMadaUniversity Press.
Gautama, Sudargo. 1990. Contoh-contoh Kontrak, Rekes dan surat-surat Resmi Sehari-hari.
Bandung: Citra aditya Bakti.
Hadikusumo, Hilman. 1984. Bahasa Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Halim, Amran (ed.). 1984. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta: Balai Pustaka.
Irma Hidayana. 2002. “Bahasa Hukumku Melambung Tinggi” dalam Jentera Edisi 1 Agustus
2002.
Mahadi. 1983. "Menuju Bahasa Hukum dan Bahasa Administrasi yang Lebih Memadahi"
dalam Kongres Bahasa Indonesia III. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
15
Mahadi dan Sabaruddin Ahmad.1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Bandung:
Binacipta.
Moeliono, Anton (ed.). 1988. Tata Bahasa Baku bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.
Moeljatno.2001. Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Rahayuningsih Hoed. 2003. “Penerjemahan Teks Hukum dan Permasalahannya” dalam
Kongres Nasional Penerjemahan. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.
Saleh, Ismail. 1988. "Bahasa Indonesia sebagai Sarana untuk Menciptakan Tertib Hukum
Masyarakat" dalam Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta.
Sugandhi. 1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.
Yayah B. Mugnisjah Lumintaintang. 2003. “Kualitas Laras bahasa Hukum Berikut
Kesalahkaprahannya” dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembagan Bahasa.
1
KOSAKATA BAHASA INDONESIA SEBAGAI PENGUNGKAP PIKIRAN
CENDIKIA: PELUANG, KENDALA, DAN STRATEGI
(Fairul Zabadi, Badan Bahasa)
"Saya tidak ingin semua bagian rumah saya ditembok dan jendelanya ditutup. Saya
ingin budaya-budaya dari semua tempat berembus di seputar rumah saya
sebebas mungkin. Tetapi, saya menolak untuk terbawa dan terempaskan”.
(Mahatma Gandy)
Abstrak
Kosakata bahasa Indonesia menarik untuk diteliti karena memuat tiga golongan kata,
yaitu (1) kata Indonesia asli yang digunakan untuk mengacu pada perasaan, gagasan, atau
maujud (entity) yang dikenal dan dihasilkan masyarakat penuturnya, (2) kata daerah atau
serumpun yang digunakan untuk mengacu pada gagasan yang relatif baru berkat adanya
kontak bahasa/budaya, dan (3) kata asing yang dipadankan melalui penerjemahan,
penyerapan, dan gabungan penerjemahan dan penyerapan untuk gagasan atau maujud
yang dikenal. Keberadaan ketiga golongan kata itu terekam dalam beberapa Kamus
Bahasa Indonesia yang dari tahun ke tahun selalu menunjukkan pertumbuhan dan
perkembangan, baik dalam kuantitas maupun kualitas kosakatanya. Pengembangan
kosakata itu tidak hanya dirancang agar serasi dengan perubahan masyarakat dan tuntutan
kehidupan baru, tetapi juga dikemas agar berkaitan erat dengan pemodernan yang dapat
diartikan pencendikiaan (intellectualization) bahasa Indonesia bagi sejumlah larasnya.
Kosakata dan pengembangannya itu akan menafikan pandangan yang mengatakan bahwa
bahasa Indonesia, termasuk kosakatanya, belum mampu mengungkapkan gagasan,
pendapat, atau pikiran cendikia penuturnya.
Kata kunci: kosakata, kecendikiaan, pemberdayaan, pemadanan
1. Pengantar
Era global dan perdagangan bebas menuntut kita untuk menggunakan sarana yang
penting dalam berhubungan dengan dunia luar, yaitu bahasa yang berfungsi sebagai
wahana komunikasi global (language for wider communication). Gerakan ke arah satu
dusun besar menjagat (universe) ini mau tidak mau akan memerlukan suatu bahasa yang
mengglobal cakupannya. Ancang-ancang dini yang dimulai oleh raksasa leksikografi
Samuel Johnson (1709—1784) di Inggris dan Noah Webster (1758—1843) di Amerika
telah meletakkan batu dasar kemapanan bahasa Inggris untuk lebih mendunia jika
dibandingkan dengan bahasa lainnya. Kemapanan bahasa Inggris itu semakin terlihat
ketika penuturnya tidak lagi mengalami tantangan (callange) dan kendala (constraint)
dalam mengungkapkan pikiran cendikia (Crytal, 2003). Meskipun demikian, bahasa
2
Inggris tidak tinggal diam. Ia terus tumbuh dan berkembang seiring dengan
perkembangan ilmu dan masyarakat penggunanya.
Hal yang sama sesungguhnya juga terjadi pada bahasa Indonesia. Sebagai bahasa
nasional dan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia terus mengalami pertumbuhan dan
perkembangan, baik kosakata, pedoman atau kaidah, maupun jumlah penuturnya. Dalam
hal kosakata, bahasa Indonesia yang sebagian besar kosakatanya berasal dari bahasa
Melayu, bahasa daerah, dan bahasa asing telah memiliki 90.000 lema (Kamus Besar
Bahasa Iindonesia Edisi Keempat, 2008) dan 387.983 kata dari berbagai bidang ilmu
yang terekam dalam bentuk glosarium (Sugiono, 2008). Dalam hal pedoman atau
kebijakan pun bahasa Indonesia mengalami perkembangan. Pedoman Umum
Pembentukan Istilah (PUPI) Edisi III yang terbit 2008 memberi kemudahan kepada
pakar Indonesia untuk memadankan kosakata asing menjadi kosakata bahasa Indonesia.
Kemudahan itu tampak ketika mengindonesiakan kata dan istilah asing melalui
penyerapan. Dalam hal penutur bahasa Indonesia, perkembangannya dapat dilihat pada
semakin banyak jumlah penduduk Indonesia1 (250 juta) dan semakin banyak negara yang
mengajarkan bahasa Indonesia (35 negara dan 176 lembaga pengajar BIPA) sebagai mata
pelajaran di tingkat pendidikan menengah atau pendidikan tinggi. Persoalannya adalah
masih ada pemilik bangsa ini, termasuk para cendikiawan, yang mengatakan bahwa
kosakata bahasa Indonesia belum mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, atau
pikiran cendikia penuturnya2.
1 Di dalam buku berjudul Ethnologue: Languages of the world, yang disunting oleh Paul M Lewis (2009)
edisi ke-16, disebutkan bahwa berdasarkan jumlah penuturnya, bahasa Indonesia menempati urutan ke-9
dari sekitar 6.912 bahasa yang dituturkan orang di seluruh dunia. Urutan pertama bahasa Mandirin, kedua
bahasa Inggris, dan ketiga bahasa Hindi (bahasa resmi di India,selain bahasa Inggris). Berdasarkan data
yang diambil dari http://www.asal-usul.com/2010/06/10-bahasa-paling-banyak-digunakan-dunia.html;
jumlah penutur bahasa Indonesia diperkirakan sekitar 259 juta.
2 Seorang dosen bergelar Ph.D lulusan Monash University Australia menjawab pertanyaan mahasiswa
ketika mahasiswanya menanyakan apa padanan istilah-istilah yang ditayangkannya di layar saat
perkuliahan, “Makanya belajar Bahasa Inggris itu penting, gunanya supaya bisa paham term-term dalam
Science and Technology. Saya lebih suka menggunakan term-term aslinya, karena bahasa Indonesia itu
miskin kosakata ilmiah, gatek (gagap teknologi), dan kurang gaul” (http://bahasa.kompasiana.com)
3
Keberadaan bahasa Indonesia dengan kemampuan kosakatanya dalam
mengungkapkan pendapat dan gagasan itu apabila dikaitkan dengan proposisi Naisbit3
tentang globalisasi yang menempatkan perspektif lokal atau perspektif etnik (tribe) dalam
menyikapi semua fenomena masyarakat atau negara sangatlah tepat. Jika berpikir lokal
dan bertindak global (think locally, act globally) ala Naisbit itu dihubungkan pula dengan
semangat Sumpah Pemuda, 85 tahun silam, keraguan dan kepesimisan pada kemampuan
kosakata bahasa Indonesia dalam pengungkapkan pikiran cendikia harus dikikis habis. Di
dalam makalah ini dibahas keberadaan bahasa Indonesia dan kesiapan kosakatanya
menjadi bahasa cendikia. Pencendikiaan bahasa Indonesia tidak hanya dilihat dari masa
lalu, tetapi juga dipandang dari gejala yang ada sekarang ini; sedangkan kesiapan
kosakata dilihat dari sudut pemberdayaan kosakata bahasa Indonesia melalui
pemanfaatan bahasa daerah dan bahasa asing.
2. Pencendikiaan dan Pemodernan Bahasa Indonesia
Bahasa cendikia adalah bahasa yang mampu membentuk pernyataan yang tepat dan
seksama sehingga gagasan yang disampaikan dapat diterima secara tepat oleh pembaca.
Bahasa cendikia bukan berarti bahasa yang keluar dari mulut kaum cendikia, tetapi
bahasa yang taat pada kaidah dan tidak bias dalam pemaknaannya. Kecendikiaan bahasa
seseorang bertemali juga dengan keilmiahan bahasa yang digunakan orang itu, misalnya
bahasa yang digunakan harus lugas dan jelas serta menghindari kesamaran dan ketaksaan
dalam pengungkapan.
Kecendikiaan bahasa berkaitan erat dengan pemodernan bahasa yang mencakupi
usaha menjadikan bahasa itu sederajat secara fungsional dengan bahasa lain di dunia
yang dianggap sudah mantap, seperti bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis (Moeliono,
3 Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memaparkan paradoks dari tema keseragaman globalisasi.
Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi
dunia, perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan semakin mendominasi”. Dalam ‘Megatrends 2000’,
Naisbitt mengatakan bahwa masa yang akan datang adalah zaman bagi kesenian dan pariwisata.
Masyarakat akan menemukan keindahan dan rekreasi batiniah dengan menikmati aktivitas seni dan
budaya yang bersifat lokal yang akan menyita perhatian publik dan mengundang simpati melebihi
peristiwa olahraga dan politik.
4
1985). Dalam hal ini akan terjadi pengembangan kosakata atau leksikon dan bentukbentuk
wacananya, termasuk di dalamnya laras bahasa ilmu dan teknologi yang dicoraki
oleh sifat kerasionalannya.
Pemodernan bahasa Indonesia menyangkut dua aspek, yaitu (1) pemekaran
kosakata dan (2) mengembangan jumlah laras bahasa dan bentuk wacana. Pemekaran
kosakata diperlukan agar pelambangan konsep dan gagasan kehidupan modern dapat
disampaikan. Cakrawala sosial budaya yang melampaui batas peri kehidupan yang
tertutup memerlukan tersedianya kosakata baru dalam bahasa Indonesia. Sumber
kosakata baru itu berasal dari bahasa Indonesia/Melayu, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Sementara itu, pengembangan jumlah laras bahasa bertalian dengan retorika dan langgam
bahasa yang konsepnya mengacu ke ragam bahasa yang dipandang dari sudut
kelayakannya di dalam berbagai jenis situasi pemakaian bahasa. Laras bahasa yang
memerlukannya dapat mengungkapkan pernyataan dengan tepat dan seksama melalui
pernalaran (reasoning) yang benar.
3. Kesiapan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Cendikia
Danzel Carr dalam karangannya berjudul ‘Some Problems Arising from Linguistic
Eleutheromania’, dalam The Journal of Asian Studies, Volume XVII: Number 2,
February 1958 memberikan penilaian terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
dengan kata-kata:
English and the Bahasa Indonesia are pre-eminently fitted to be world languages.
English nees a good spelling system and Indonesian needs a generation or twi adequate
synonumic stabilization and differentiation. I am willing to wager that Indonesian will
achieve its part of this goal earlier.
Penilaian yang diberikan Profesor tersebut mengindikasikan bahwa bahasa Indonesia luar
biasa cocok untuk menjadi bahasa dunia dan bahasa cendikia seperti halnya bahasa
Inggris4. Bahasa Inggris memerlukan suatu sistem ejaan yang baik, sedangkan bahasa
4Pandangan senada mengenai kemampuan bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa dunia juga
disampaikan oleh Profesor Spitzbardt, gurubesar Universitas Jena yang melakukan kunjungan ke
Universitas Gadjah Mada pada awal tahun enam puluhan (lihat: Herman Yohannes ‘Usaha Mencari Istilah
Ilmiah Indonesia’ dalam Ilmuwan dan Bahasa Indonesia. 1988.
5
Indonesia membutuhkan satu atau dua generasi bagi pemantapan bentuk-bentuk
sinonimnya. Bahkan, ibarat berlomba dia berani bertaruh bahwa bahasa Indonesia akan
mencapai bagian dan tujuan tersebut terlebih dahulu.
Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak 28 Oktober 1928, tepatnya 85 tahun silam,
pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia telah dilakukan dengan semangat yang
berkobar-kobar (franticzeal) untuk membebaskan diri dari kungkungan kebahasaan
(linguistic shacles) asing. Kita dapat membedakan kurun waktu perkembangan kosakata
dan istilah dalam bahasa Indonesia menjadi enam, yaitu (1) kurun pewarisan (1928—
1942), (2) kurun kebangkitan (1942—1956), (3) kurun peralihan (1956—1969), (4)
kurun pematangan (1969—1980), (5) kurun jati diri (1980—1990), dan (6) kurun
pengembangan (1990—sekarang). Kurun pewarisan menunjukkan bahwa sikap kita pada
waktu itu seakan-akan menerima bahasa Indonesia sebagaimana adanya. Kurun
kebangkitan patut dicatat sebagai tonggak sejarah karena pada masa itu kita mulai
membina bahasa kebangsaan kita dengan penuh kesadaran. Kurun peralihan merupakan
masa pergeseran pandangan yang semula peristilahan kita berorientasi ke bahasa Belanda
beralih ke bahasa Inggris. Kurun pematangan merupakan masa tumbuhnya kesadaran
bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia adalah
serumpun. Masa penemuan jati diri merupakan masa kita mulai menemukan jatidiri
tentang bahasa kita. Kita mulai memahami berbagai ciri khas bahasa Indonesia dan
peluang yang ada menuju perkembangannya. Kurun pengembangan merupakan masa
bahasa Indonesia mulai berkembang, baik dalam hal pemakaian maupun pemakainya,
menuju bahasa yang luwes dan lentur dalam mengungkapkan ide dan gagasan.
1. Kesiapan Kosakata dan Istilah
Masuknya kosakata dari bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia merupakan hal yang
tidak dapat dihindari sebagai pertanda bahwa bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang.
Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa daerah dan bahasa asing. Tujuan utama adalah untuk memperkaya kosakata
bahasa Indonesia sehingga mampu menjadi pilihan utama ketika menyampaikan gagasan
atau ide dalam era global ini.
6
Untuk mengetahui kosakata bahasa Indonesia, kamus bahasa Indonesia dapat
dijadikan sebagai sumber karena di dalam kamuslah bentuk kodifikasi leksikon bahasa
Indonesia itu direkam dan disimpan. Kosakata bahasa Indonesia yang terekam di dalam
kamus sebagai bentuk kodifikasi pada tahun 1988 berjumlah 62.100 lema; pada tahun
1991 berjumlah 68.000 lema, pada tahun 2001 berjumlah 78.000 lema; dan pada tahun
2008 berjumlah 90.000 lema. Data yang ada memperlihatkan bahwa dari 90.000 kosakata
bahasa Indonesia yang terekam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat
ternyata 3.631 kosakata5 berasal dari 72 bahasa daerah (lihat: Budiwiyanto, 2008).
Konsep baru pada kosakata bahasa daerah yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia dan
kekerapan penggunaannya, baik oleh wartawan, penulis, pejabat, masyarakat menjadi
faktor utama yang memengaruhi banyak sedikitnya kosakata bahasa daerah diserap ke
dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, pemanfaatan kosakata daerah sebagai
pengungkap konsep atau ide yang belum ada dalam kosakata bahasa Indonesia menjadi
sangat perlu agar nuansa keindonesiaannya juga tampak.
Sementara itu, 387.983 kosakata asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa
Indonesia tersebar dalam berbagai bidang ilmu dan sudah dibakukan dan diterbitkan
dalam bentuk senarai dan kamus bidang ilmu. Untuk memudahkan pengguna bahasa,
184.479 kata dan istilah yang dipadankan itu sudah disusun dalam bentuk glosarium
cakram padat (compact disk). Padanan kosakata dan istilah yang paling banyak terdapat
di bidang kedokteran, kemudian bidang biologi, fisika, kimia, matematika. Hal itu
mengindikasikan bahwa bidang ilmu dasar memiliki padanan kasakata dan istilah yang
lebih banyak dibandingkan dengan bidang-bidang ilmu lain (Zabadi, 2010). Konsep
kosakata bahasa asing yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia dan kekerapan
penggunaan kosakata dan istilah bahasa asing, baik oleh wartawan, penulis, pejabat,
masyarakat menjadi faktor utama yang memengaruhi banyak sedikitnya kosakata bahasa
asing diserap ke dalam bahasa Indonesia.
5 Besarnya jumlah penutur ternyata tidak selalu menentukan jumlah kosakata bahasa daerah yang diserap
ke dalam bahasa Indonesia, misalnya bahasa Minangkabau dengan penutur 6.500.000 menyumbangkan
929 kosakata dalam bahasa Indonesia, melebihi sumbangan bahasa Sunda yang hanya 223 kosakata
dengan jumlah penutur 27.000.000. Konsep baru pada kosakata bahasa daerah yang tidak dimiliki oleh
bahasa Indonesia dan kekerapan penggunaan kosakata bahasa daerah, baik oleh wartawan, penulis,
pejabat, masyarakat menjadi faktor utama yang memengaruhi banyak sedikitnya kosakata bahasa daerah
diserap ke dalam bahasa Indonesia.
7
2) Kesiapan Pedoman dan Kebijakan
Upaya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengungkap pikiran cendikia juga
telah dilakukan, baik oleh pemerintah, pakar, maupun penggiat bahasa dalam bentuk
pengembangan pedoman dan kebijakan. Pengembangan itu tidak hanya dalam upaya
untuk memodernkan bahasa Indonesia, tetapi juga untuk mengantisipasi masuknya kata
dan istilah asing yang tidak seturut dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam upaya
memberi panduan dalam pengembangan kosakata dan istilah itulah disusun Pedoman
Umum Pembentukan Istilah (PUPI, 1975). Setelah digunakan selama 14 tahun pedoman
itu disempurnakan dan diterbitkan sebagai edisi kedua (1989).
Perubahan tatanan kehidupan dunia baru dengan globalisasinya telah mengubah
pola pikir dan masyarakat pengguna bahasa. Kosakata asing masuk ke dalam bahasa
Indonesia seiring dengan masuknya ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan ke
dalam masyarakat Indonesia. Untuk mengantisipasi itu, PUPI Edisi Kedua yang sudah
berusia 30 tahun itu ditinjau dan disempurnakan sehingga terbit PUPI Edisi Ketiga
(2005). Di dalam pedoman edisi ketiga terjadi pergeseran paradigma dalam menentukan
sumber pengidonesiaan kata dan istilah asing. Ketiga kelompok bahasa –bahasa
Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing--yang menjadi sumber pencarian istilah baru
memiliki peluang yang sama menjadi kosakata bahasa Indonesia. Prinsip dasar yang tidak
boleh dilanggar adalah kata yang menjadi sumber itu harus memiliki ketepatan makna,
singkat, dan tidak berkonotasi negatif.
Hal yang menarik terjadi pada awal tahun 1995 ketika masyarakat kita begitu
suka menggunakan kata dan istilah asing untuk menamai tempat, usaha, hasil usaha, atau
petemuan-pertemuan yang mereka adakan. Gejala itu telah disikapi pemerintah dengan
menerbitkan buku Pedoman Pengindonesian Kata dan Ungkapan Asing6 yang tidak
6 Dasar hukum pengeluaran buku pedoman ini adalah UUD 1945 Pasal 36 tentang Bahasa Negara ialah
bahasa Indonesia, Ketetapan MPR No. II tahun 1993 tentang GBHN; UU No. 5 tahun 1974 tentang pokokpokok
pemerintahan daerah; Keputusan Presiden No.57 tentang Ejaan Yang Disempurnakan; Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 20 tahun 1991 tentang pemasyarakatan bahasa Indonesia; Instruksi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 1/U/1992 tentang peningkatan usaha pemasyarakatan bahasa
Indonesia; dan Surat Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur, Bupati, dan Wali Kotamadya No.
434/1021/SJ tahun 1996 tentang Penertiban Penggunaan Bahasa Asing.
8
hanya menjadi pijakan dan dasar dalam mengindonesiakan kata dan ungkapan asing,
tetapi juga menjadi sumber untuk mendapatkan istilah asing yang sudah diidonesiakan.
Upaya terkini yang dihembuskan pemerintah untuk menjadikan dan
mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai pengungkap pikiran cendikia adalah dengan
mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang
Negara, dan Lagu Kebangsaan”. Jika undang-undang tersebut dapat diterapkan,
penempatan bahasa Indonesia sebagai pengungkap pikiran cendikia akan lebih tampak.
Sebagai bagian dari program perencanaan bahasa, peraturan ini diharapkan dapat menjadi
penangkal kekhawatiran Robin dan Fishben (1991) yang menduga bahwa setengah
bahasa di dunia tidak akan bertahan hidup pada abad XXI jika tidak dilakukan
perencanaan yang tepat.
4. Menungkan Pikiran Cendikia melalui Kosakata dan Istilah Bahasa Indonesia
Untuk mewujudkan cita agar bahasa kebangsaan kita ini digunakan dalam menuangkan
pikiran cendikia, pembinaan, pengembangan, dan pemeliharaan terhadap bahasa
Indonesia harus tetap dilakukan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menggapai hal
tersebut adalah dengan memberdayakan kosakata yang sudah ada dan mengindonesiakan
kosakata asing yang belum ada dalam bahasa Indonesia.
1) Pemberdayaan Kosakata
Cluttrebuck (2003) dalam bukunya The Power of Empowerment mengatakan bahwa
hukum pemberdayaan berbunyi “tidak ada seorang pun dapat diberdayakan oleh orang
lain; individu-individu harus memberdayakan diri mereka sendiri”. Jika pandangan
tersebut dikaitkan dengan keberadaan bahasa Indonesia sebagai pengungkap pikiran
cendikia, pemberdayaan kosakata bahasa Indonesia oleh masyarakat Indonesia menjadi
hal yang sangat dominan. Pemberdayaan itu berkaitan erat dengan memanfaatan kosakata
dan istilah bahasa Indonesia untuk mengungkapkan pikiran cendikia.
Kecendikiaan kosakata bahasa Indonesia, misalnya, dapat dilihat pada kosakata
yang termasuk dalam ranah makna kemarahan, yaitu marah, dongkol, jengkel, kesal,
sebal, kalap, keki, pitam, mangkel, dan gondok. Berdasarkan analisis komponen—makna
9
bersama dan makna diagnostik--, kesepuluh kosakata itu dapat dikelompokkan menjadi
(a) marah1 yang mencakup kosakata dongkol, sebal, kesal, gondok; jengkel, mangkel
dan (b) marah 2 yang mencakup kosakata kalap, berang, bengis. Marah 1 berhubungan
dengan perasaan marah yang ditahan dalam hati, sedangkan marah 2 berkaitan dengan
perasaan marah yang biasanya diikuti perbuatan. (Zabadi, 2009). Analisis yang dilakukan
berdasarkan pandangan Nida (1975) itu menunjukkan bahwa sesungguhnya kosakata
tersebut memiliki makna bersama dan makna berbeda yang menjadi ciri khususnya.
Berdasarkan ciri yang ada itu, tampak perbedaan gradasi atau intensitas di antara
kosakata tersebut. Marah memiliki makna ‘perasaan positif/negatif yang dimiliki dan
dialami manusia, dilakukan oleh diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya
terjadi karena perlakuan yang tidak pantas, dihina, kecewa, diperlakukan tidak
sepantasnya, mendapati/melihat perkerjaan yang tidak sesuai dengan harapan’. Dongkol
memiliki makna ‘marah yang ditahan yang dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri
sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi karena tidak puas’. Jengkel
memiliki makna ‘perasaan marah yang dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri
sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi karena permintaan selalu
ditolak’. Kesal memiliki makna ‘perasaan marah yang ditahan yang dimiliki dan dialami
manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi
karena tidak senang, bosan atau jemu’. Sebal memiliki makna ‘marah yang ditahan yang
dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri,
biasanya terjadi karena kecewa, melihat sesuatu perkara yang tidak sesuai dengan
harapan’. Kalap memiliki makna ‘marah yang diikuti tindakan yang dimiliki dan dialami
manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi
karena lupa diri, hilang akal’. Bengis memiliki makna ‘marah yang diikuti tindakan yang
dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri,
biasanya terjadi karena tidak puas’. Berang memiliki makna ‘marah yang diikuti tindakan
yang dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri
sendiri, biasanya terjadi karena gusar’. Mangkel memiliki makna ‘marah yang ditahan
yang dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri
sendiri, biasanya terjadi karena jengkel, tidak enak hati karena perbuatan atau perkataan’.
10
Jengkel memiliki makna ‘marah yang ditahan yang dimiliki dan dialami manusia,
dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi karena
permintaannya selalu ditolak’. Gondok memiliki makna ‘marah yang ditahan yang
dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri,
biasanya terjadi karena marah yang ditahan sehingga leher bagian atas tampak mengeras’.
Hierarkis makna kesepuluh kosakata tersebut memperlihatkan betapa cendikia dan
lengkapnya kosakata bahasa Indonesia untuk mengungkapkan perasaan marah.
Pengaruh bahasa Inggris telah merasuki hampir semua sendi kehidupan kita
sehingga kita lupa menikmati kosakata yang sudah kita miliki. Di ruang publik, terutama
di kota besar, seperti Jakarta, Medan, Bandung, Palembang, banyak merek dagang, kain
rentang, papan nama yang menggunakan bahasa Inggris, seperti Green Hill Residence,
one stop service, parking area, taxi station. Para pejabat negara pun tidak mau
ketinggalan menggunakan bahasa asing ketika mereka menyampaikan sesuatu, misalnya
fit and proper test yang sering mereka gunakan untuk mengetahui kemapuan seseorang
sebelum ia ditunjuk menjadi sorang pejabat atau pemimpin. Padahal kita tahu bahwa
bahasa Indonesia memiliki kosakata untuk mengungkapkan hal tersebut, yaitu uji layakpatut.
Demikian juga dengan istilah stakeholder dan breafing yang sering diselipkan oleh
pemuka negeri ini ketika mereka bertutur. Padahal—sekali lagi—bahasa Indonesia telah
memiliki kosakata untuk mengungkapkan ide dan gagasan tersebut, yaitu pemangku
(pemilik) kepentingan dan taklimat.
Dalam ranah pertevisian kita sering melihat kegiatan diskusi yang melibatkan
narasumber atau pakar yang berkompeten dalam bidangnya. Pewara dan narasumber
yang terlibat menyebut kegiatan itu dengan istilah talk show. Untuk mengungkapkan
makna yang terkandung dalam istilah tersebut bahasa Indonesia memiliki kosakata, yaitu
pertunjukan wicara, pamer wicara, atau gelar wicara. Ketiga bentuk tersebut bersinonim.
Meskipun demikian, kosakata bahasa Indonesia yang tepat untuk istilah talk show adalah
gelar wicara yang bermakna ‘acara bincang-bincang di televisi atau radio yang dilakukan
dalam suatu panel yang terdiri atas beberapa tokoh atau narasumber yang dipandu oleh
pembawa acara’. Istilah dubbing pun begitu akrab di telinga kita ketika banyak pemirsa
yang gemar menonton telenovela karena bahasanya sudah di-dubbing ke dalam bahasa
11
Indonesia. Istilah yang berasal dari bahasa Inggris dub itu dapat kita temukan dalam
kosakata bahasa Indonesia, yaitu sulih suara, bukan alih suara. Dalam sulih suara yang
terjadi adalah mengganti atau menyulih suara atau bahasa lisan yang ada di film,
sedangkan dalam alih suara yang terjadi adalah mengalihkan suara dari seseorang ke
orang lain. Ketika kita sedang asyik menikamti telenovela yang sudah disulihsuarakan
bahasanya, tiba-tiba muncul istilah commercial break untuk memberi kesempatan pada
perusahaan memamerkan produknya. Sangatlah naif rasanya menggunakan istilah
tersebut, padahal kita memiliki kosakata bahasa Indonesia, yaitu jeda iklan yang
bermakna ‘jeda atau rehat dalam suatu acara yang dipakai untuk menyiarkan atau
mengiklankan produk-produk tertentu’.
Dalam ranah teknologi dan informatika misalnya, kita begitu akrab dengan istilah
home page, download, online, e-mail, pada hal kita memiliki kata Indonesia laman untuk
home page; unduh untuk download; daring (dalam jaring) untuk online, dan pos-el untuk
e-mail. Kita akan kesulitan untuk menyuruh seseorang membeli ‘tetikus’ karena di pasar
komputer orang hanya memperdagangkan mouse. Istilah scanning dan scanner juga
sering kita temukan di dalam keseharian kita. Untuk menemukan istilah Indonesianya,
kita harus melihat entri pindai yang berasal dari bahasa Minangkabau dengan makna ‘1
melihat dengan cermat dan lama; memandangi’; 2 Dok memeriksa dengan alat
pengindraan (seperti fitometer dan sinar radiasi) untuk mendapatkan informasi;
melewatkan berkas elektron atau sesuatu lalu mengubahnya menjadi ...’. Berdasarkan
makna kata tersebut dapat dibentuk kata memindai yang merupakan padanan scan dalam
bahasa Inggris. Dengan demikian, scanning yang bermakna ‘proses memindai’ dapat
dipadankan dengan pemindaian; sedangkan scanner yang bermakna ‘alat untuk
memindai’ dipadankan dengan pemindai. Kata canggih pun merupakan kosakata bahasa
Indonesia yang sekarang digunakan sebagai pengganti stilah sophisticated. Kata canggih
yang berasal dari bahasa Melayu Palembang tersebut pada mulanya bermakna ‘banyak
cakap; bawel; cerewet’, kemudian kata tersebut mengalami perluasan makna sehingga
menjadi padanan yang tepat untuk istilah sophisticated. Salah satu makna yang
terkandung dalam canggih yang maknanya sama dengan sopihisticated adalah
‘kehilangan kesederhanaan yang asli (seperti sangat rumit, ruwet, atau terkembang)’.
12
Dalam ranah perekonomian, ketidakpedulian kita terhadap kosakata bahasa
Indonesia masih sering terjadi. Penggunaan istilah go public,dan holding company
sangat sering kita temukan. Padahal, untuk mengungkapkan makna ketiga istilah tersebut,
bahasa Indonesia memiliki kosakata yang tepat. Go public merupakan istilah pasar modal
yang bermakna ‘usaha untuk menjual, menawarkan, dan melepaskan hak atas saham
dengan pembayaran’. Perusahaan dapat go public dengan menjual saham baru yang
berasal dari modal yang sudah diberikan. Kosakata bahasa Indonesia yang tepat untuk
istilah tersebut adalah masuk bursa yang bermakna ‘menjual, melepaskan saham dengan
memasukkannya melalui bursa atau pasar saham’. Di Indonesia perusahaan yang menjual
obligasi termasuk juga go public. Istilah holding company pun sesungguhnya dapat
diganti dengan kosakata yang sudah ada dalam bahasa Indonesia, yaitu perusahaan
induk. Maksud istilah tersebut adalah perusahaan yang memiliki saham dengan hak suara
yang cukup di dalam perusahaan lain untuk mempengaruhi Dewan Direksi sehingga
dapat mngendalikan kebijaksanaan dan manajeman perusahaan tersebut. Perusahaan yang
menjadi holding company tidak perlu memiliki mayoritas saham dari anak
perusahaannya. Meskipun demikian, untuk mendapat keuntungan dari pajak konsiladasi
dan kemampuan untuk merugi, perusahaan tersebut harus memiliki 80% atau lebih lebih
saham dengan hak suara dari anak perusahaannya.
2) Pemadanan Kata dan Istilah Asing
Sebagai bahasa yang hidup dan dinamis, bahasa Indonesia masih tetap membutuhkan
kata dan istilah asing untuk mengungkapkan konsep-konsep yang belum ada di dalam
bahasa Indonesia. Untuk itu, kita harus berupaya mengindonesiakan kata dan istilah asing
tersebut dengan memadankannya ke dalam bahasa Indonesia. Upaya pemadanan yang
telah banyak dilakukan oleh ilmuwan (scientist), pakar, (expert) dan pandit (scholar)
Indonesia bukanlah pekerjaan yang sia-sia dan membuang-buang waktu-waktu serta
tenaga seperti yang dikira banyak pihak. Tujuannya tentu agar bahasa Indonesia dapat
menjadi bahasa modern yang ilmiah, indah, dan lincah, serta kaya kosakatanya.
Pemadanan kata dan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia dapat dilakukan
melalui penerjemahan, penyerapan, atau melalui gabungan penerjemahan dan penyerapan
13
(PUPI, 2008). Penerjemahan dapat dilakukan melalui penerjemahan langsung (misalnya
bonded zone menjadi kawasan berikat dan supermarket menjadi swalayan) dan
penerjemahan dengan perekaan (invention) (misalnya, survive menjadi sintas dan
catering menjadi jasa boga). Penyerapan kata dan istilah asing menjadi istilah Indonesia
diupayakan agar dapat meningkatkan ketersalinan bahasa asing dan bahasa Indonesia
secara timbal balik mengingat keperluan masa depan, mempermudah pemahaman teks
asing oleh pembaca Indonesia karena lebih dahulu dikenal, mempermudah kesepakatan
antarpakar jika padanan terjemahannya terlalu banyak sinonimnya, dan lebih cocok dan
tepat karena tidak mengandung konotasi buruk. Penyerapan kata dan istilah asing
menjadi kata dan istilah Indonesia dapat dilakukan melalui empat cara. Pertama, dengan
penyesuaian ejaan dan lafal. Misalnya, camera dan microfon diserap menjadi kamera
dan mikrofon (ejaan c pada kedua kata asing tersebut disesuaikan dengan ejaan dalam
bahasa Indonesia, yaitu k, dan dilafalkan seturut kaidah lafal bahasa Indonesia, yaitu
{kamera} dan {mikrofon}). Kedua, dengan penyesuaian ejaan tanpa penyesuaian lafal.
Misalnya, file menjadi fail. Ketiga, dengan tanpa penyesuaian ejaan, tetapi lafalnya
disesuaikan. Misalnya, bias dan nasal menjadi bias dan nasal (ejaan kedua kata bahasa
asing tersebut tidak perlu diubah atau disesuikan dengan ejaan bahasa Indonesia,
ejaannya diserap utuh), tetapi lafalnya harus disesuaikan dengan lafal bahasa Indonesia,
yaitu {bias} dan {nasal}, bukan {bÄ«∂s} dan {nâs∂l} seperti lafal bahasa Inggris).
Keempat, dengan tanpa penyesuaian ejaan dan lafal (penyerapan utuh). Misalnya, allegro
moderato, divide et impera, Aufklärung, dulce et utile, esprit de corps, vis-à-vis yang jika
ditulis miring dalam bahasa Indonesia. Penyerapan dilakukan apabila kata yang diserap
itu memang diperlukan untuk suatu pengungkapan karena kosakata di dalam bahasa
penyerap tidak tersedia. Sementara itu, gabungan penerjemahan dan penyerapan
dilakukan dengan menerjemahkan satu bentuk kata dan menyerap bentuk kata lain.
Misalnya, clay colloid menjadi koloid lempung (clay diterjemahkan menjadi lempung,
sedangkan colloid diserap menjadi koloid).
5. Peluang, Tantangan, dan Strategi
Sebagai bahasa yang termasuk sepuluh besar dalam hal jumlah penutur, bahasa Indonesia
memiliki peluang dan tantangan agar menjadi bahasa dunia yang mampu
14
mengungkapkan pikiran cendikia penuturnya. Menurut hemat saya ada tiga peluang besar
yang dimiliki dan harus dimanfaatkan bahasa Indonesia agar mampu menjadi bahasa
cendikia. Pertama, bahasa Indonesia memiliki jumlah kosakata yang sangat memadai
untuk mengungkapkan pikiran cendikia. Jumlah kosakata ini akan terus bertambah
mengingat Indonesia memiliki 743 bahasa daerah7 (SIL, 2006) yang akan menjadi
menyokong utama kosakata bahasa Indonesia. Kedua, bahasa Indonesia memiliki
pedoman dan kebijakan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk menerima kosakata
asing menjadi kosakata bahasa Indonesia. Dalam PUPI edisi I dan II tidak ada perbedaan
yang mencolok dalam hal penentuan sumber istilah. Keduanya masih tetap berpegang
pada aturan bahwa sumber utama pengembangan istilah adalah bahasa Indonesia umum,
kemudian bahasa serumpun/daerah—jika tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia
umum—, lalu bahasa asing—apabila tidak ditemukan dalam bahasa umum dan bahasa
serumpun/daerah. Sementara itu, dalam PUPI Edisi III hierarki pemilihan sumber istilah
itu tidak lagi begitu diutamakan. Ketiga kelompok bahasa yang menjadi sumber
pencarian istilah tersebut memiliki peluang yang sama menjadi kosakata bahasa
Indonesia. Ketiga, bahasa Indonesia digunakan oleh sekitar 259 juta penutur dan sudah
diajarkan di 35 negara. Jumlah penutur dan orang asing yang akan berlajar bahasa
Indonesia akan terus bertambah seiring dengan semakin membaiknya perekonomian
Indonesia dan semakin besarnya peran Indonesia di percaturan dunia.
Meskipun peluang untuk menjadi bahasa dunia dan pengungkap pikiran cendikia,
bahasa Indonesia masih memiliki tantangan yang harus segera diatasi. Tantangan utama
yang dihadapi adalah masyarakat Indonesia masih banyak yang lebih membanggakan
bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Hal itu terbukti dengan banyaknya masyarakat
Indonesia, termasuk pejabatnya, yang masih menggunakan kata dan istilah asing untuk
mengungkapkan gagasan dan pemikirannya. Padahal, konsep dan gagasan itu dapat
dituangkan dalam kosakata bahasa Indonesia. Selain itu, tantangan yang masih dihadapi
bahasa Indonesia adalah (a) kektidaktahuan atau kekurangpahaman masyarakat terhadap
7 Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan kesimpangsiuran dalam menentukan jumlah
bahasa daerah di Indonesia. Esser (1951) dan Alisjahbana (1954) menyebutkan ada 200 bahasa daerah,
Salzener (1960) menyebutkan ada 96 bahasa daerah, Grimes (1988) menyebutkan ada 672, dan Lembaga
Bahasa Nasional (1972) menyebut ada 418 bahasa daerah. Kesimpangsiuran itu terjadi antara lain karena
ketidakseragaman kuesioner, teori, metode, dan teknik yang digunakan.
15
kosakata bahasa Indonesia; (b) penyebaran hasil kodifikasi, seperti kamus, glosarium,
tata bahasa masih tidak merata dan tidak lancer; (c) penerbitan hasil kodifikasi dan
pengembangan bahasa masih belum banyak dan belum sampai kapada sasaran pengguna;
dan (d) pengajar di Perguruan Tinggi masih banyak menggunakan kata dan istilah bahasa
Inggris, sedangkan insan media tidak merasa terikat pada produk yang sudah dibakukan.
Untuk mengatasi tantangan agar kosakata bahasa Indonesia berperan dalam
menyampaikan pikiran cendikia, strategi yang menurut hemat saya dapat dilakukan
antara lain sebagai berikut.
1. Meningkatkan sikap positif masyarakat Indonesia terhadap bahasa Indonesia
sehingga mereka bangga menggunakan bahasa Indonesia.
2. Meningkatkan jumlah objek pembinaan, yaitu kelompok yang belum dapat
berbahasa Indonesia dan kelompok yang belum mahir berbahasa Indonesia.
3. Menyebarkan hasil kodifikasi (pengindonesiaan kata dan istilah asing) kepada
penutur bahasa Indonesia, terutama kepada penutur yang menjadi garda depan
dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
4. Melakukan penerbitan hasil kodifikasi dan pengembangan bahasa sebanyaksabanyaknya.
Hal itu akan lebih mudah dilakukan apabila penerbitan, baik buku,
kamus, kata dan istilah yang berkaitan dengan kebahasaan ditangani langsung
oleh lembaga resmi pemerintah yang manangani persoalan kebahasaan.
6. Penutup
Jika Indonesia akan hadir sebagai salah satu kekuatan budaya global (global-tribe) di
dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa Indonesia harus terus berkembang dan
kosakatanya harus siap menerima peran yang demikian. Bahasa Indonesia melalui
kosakatanya harus tetap menjadi bahasa yang unik di tengah dunia global dan mampu
menjadi bahasa yang ilmiah, lugas, indah, dan lincah dalam mengungkapkan gagasan dan
pikiran penuturnya. Untuk memenuhi kebutuhan kata dan konsep yang belum dimiliki,
bahasa Indonesia tetap membutuhkan kosakata bahasa daerah dan bahasa asing untuk
pengayaan bahasa Indonesia. Agar hal itu terwujud, bahasa Indonesia telah memiliki
pedoman—alih-alih-- politik bahasa yang bersifat terbuka, bukan bersifat defensif.
16
Memberdayakan kosakata bahasa Indonesia yang sudah ada dan menemukan
padanan kosakata asing seturut kaidah bahasa Indonesia harus tetap kita lakukan. Jika hal
itu tidak dilakukan, lambat laun bahasa Indonesia akan tergerogoti dan tercerabut dari
akar budayanya. Kita tidak ingin imperialisme ekonomi (asing) yang sudah
memporakporandakan perekonomian kita juga menular menjadi imperialisme bahasa
(Asing) yang akan merusak tatanan bahasa kita. Semuanya terpumpun (focused) pada
satu tujuan agar bahasa Indonesia tidak hanya tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri,
tetapi juga menjadi bahasa yang mampuni dan dinamis dalam upayanya meningkatkan
daya saing bangsa pada masa mendatang.
Bagi kita yang sempat menyaksikan perkembangan bahasa Indonesia di bidang
kecendikiaan--mampu merefleksikan pikiran cendikia—tentu memiliki kesan dan rasa
terhadap pertumbuhan itu. Kesan dan rasa itu dapat serupa dengan kesan dan rasa kita
ketika melihat sebongkah bunga tumbuh, yang diawali dengan berbunga, berputik,
berkembang, dan akhirnya merekah indah. Bahasa Indonesia juga berkembang dan
merekah indah bagaikan mekar bunga yang beraneka rona, yang akhirnya mampu
mengungkapkan pikiran cendikia melalui untaian leksikon yang lugas, ilmiah, jelas,
lincah, dan indah. Bersamaan dengan hal itu, timbullah keinginan di dalam diri kita untuk
melihat bahasa Indonesia itu tidak hanya tumbuh secara sehat; tetapi juga tidak rusak
karena terpaan dan pengaruh bahasa dan budaya lain, tidak lapuk karena hujan, tidak
lekang karena panas. Kita tentu akhirnya ingin melihat bahasa Indonesia itu berkembang
menjadi bahasa cendikia dan bahasa dunia yang setaraf dengan bahasa dunia lainnya.
17
Daftar Pustaka
Budiwiyanto, Adi . 2008. ”Penyerapan Kosakata Bahasa Daerah ke Dalam Bahasa
Indonesia pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat’. Makalah dalam
Seminar Bahasa dan Sastra dalam Konteks Keindonesiaan II. Kantor Bahasa Provinsi
NTB.
Crytal, David. 2003. English as a Global language. Cambridge: Cambrige University
Press.
David Cluttrebuck, David. 2003. The Power of Empowerment. Jakarta: Buana Ilmu
Populer.
E. Nida. 1975. Componetial Analysis of Meaning. The Hague: Mouton.
Ferguson, Gibson. 2006. Language Planning and Education. Edinburgh: E.U.Press.
Havranek, B. 1964. The Functional Differentiation of the Standard language. Di dalam A
Prague School reader on Esthetics, Literary Structure and Style. Washington:
Georgetown University Press.
Mahsun. 2009. ”Beberapa Persoalan dalam Upaya Menjadikan Bahasa Ibu sebagai
Bahasa Pengantar Pendidikan di Indonesia.” Dalam Seminar Internasional Bahasa
dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta: Pusat Bahasa
Moeliono, Anton. M. 1985. Pengembangan dan Perencanaan Bahasa. Jakarta:
Djambatan.
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2008. Pedoman Umum Pembentukan Istilah
Edisi Ketiga. Jakarta: Pusat Bahasa.
Sugiyono, 2008. “Pengembangan Kosakata dan Istilah Indonesia.” Dalam seminar
Bahasa dan Sastra Mabbim-Mastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Sugono, Dendy. 2009. ”Bahasa Daerah, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Asing dalam
Percepatan Realisasi Pendidikan Berkelanjutan bagi Anak Indonesia.” Dalam
Seminar Internasional Bahasa dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta: Pusat Bahasa.
---------------------. 2008. “Dinamika Bahasa dan Sastra Indonesia/Melayu Peneral Jiwa
Bangsa”. Dalam Pemartabatan Bahasa Kebangsaan: Kondisi, Tantangan, dan
Strategi. Jakarta: Pusat Bahasa
Zabadi, Fairul. 2010. “Pemberdayaan Kosakata dan Istilah Bahasa Indonesia dalam
Upaya Meningkatkan Daya Saing Bangsa”. Seminar Nasional, Medan.
--------------------------.2009. ”Leksem Sikap batin Bahasa Indonesia: Relasi Leksikal dan
Perubahan” Makna. Universitas Negegri Jakarta: Pascasarjana
AKURASI BAHASA INDONESIA DALAM
MENTRANSFER KONSEP ILMU EKONOMI
Dr. Karnedi, M.A.
Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Terbuka
karnedi@ut.ac.id
ABSTRACT
This paper aims to discuss the issue of accuracy in transferring those concepts in economics from English into
Indonesian. The main objective is to analyze the Indonesian translation of a number of economic concepts used
at the sentence level, rather than word or phrasal levels, as a unit of translation. As regards the methodology, an
English monolingual corpus has been designed as a study corpus. For this purpose, several economics textbooks
have been randomly chosen. They represent economics texts as a genre. The data is processed by utilizing
WordSmith Tools version 5.0, a computer program that has been widely used in Corpus Linguistics research. A
list of keywords in economics text is produced for eliciting some authentic use of economic terms in the data
concerned. Research findings show that, generally speaking, by applying appropriate translation strategy (i.e.
techniques, methods and ideology), higher level of accuracy in the Indonesian translation of economic terms
used in specific context can be achieved. To sum up, this research does not only support other relevan research
and development in translation theories but also modernize Indonesian as a major language.
Keywords: penerjemahan, konsep ilmu ekonomi, akurasi
1. Pendahuluan
Akurasi (accuracy) merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam menilai sebuah
teks terjemahan sebagai sebuah produk (Hatim dan Mason 1990, h. 3–4; Kelly 2005). Kriteria
itu mengacu pada ketepatan pengalihan makna (meaning) sejumlah konsep ilmu ekonomi,
misalnya, dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa) seperti bahasa Indonesia.
Kegiatan penerjemahan konsep yang dimaksud sangat ditentukan oleh strategi
penerjemahan yang digunakan yang meliputi teknik penerjemahan, metode, dan bahkan
sampai pada ideologi penerjemahan yang diadopsi oleh penerjemah.
Dalam konteks pengalihbahasaan konsep-konsep ilmu ekonomi yang manifestasinya
tercermin dalam sejumlah istilah khusus yang digunakan, pemilihan padanan sangat
ditentukan oleh siapa pembaca sasarannya (target reader), apakah para dosen, ataukah para
ekonom, ataukah para mahasiswa, bahkan masyarakat umum (Astuti 2007). Dengan kata lain,
pemilihan salah satu alternatif padanan sangat mempertimbangkan tingkat akurasi makna
dalam teks terjemahan dalam bahasa Indonesia dan juga tingkat keterbacaannya (readership)
oleh pembaca sasaran. Dengan begitu, konsep audience design yaitu untuk siapa sebuah teks
terjemahan dihasilkan dan needs analysis (tujuan penerjermahan) sangat relevan sebab kedua
aspek itu pada akhirnya akan menentukan jenis atau bentuk terjemahan itu sendiri (Nord
1997; Hoed 2006, h. 55).
2
2. Tinjauan Pustaka
Untuk mengatasi masalah transfer makna lintasbahasa dan budaya, termasuk konsep dalam
ilmu ekonomi, Lörscher (2005, h. 600−601) mengusulkan definisi strategi penerjemahan
berikut ”translation strategies are procedures for solving translation problems. They range
from the realization of translational problems to its solution or the realization of its
insolutibility by a subject at a given moment.”
Menurut Hatim (2001, h. 32), konsep ‘strategi’ mengakomodasi tiga hal, yaitu (1)
perbedaan sistem antara BSu dan BSa, misal perbedaan relasi/pola leksikal dalam teks
sumber (TSu) dan teks sasaran (TSa), (2) jenis bahasa yang digunakan dalam setiap teks (TSu
dan TSa), misalnya laras bahasa ekonomi, dan (3) pemilihan ekuivalensi yang sesuai
(motivated choice) dalam konteks penggunaan bahasa (language in use), atau tujuan
komunikasi tertentu (communicative aims). Hal senada juga dikemukakan oleh Hatim dan
Mason (1990, h. 4) bahwa teks dapat dimaknai sebagai perwujudan dari sebuah pilihan yang
didasarkan pada sebuah motivasi.1 Para penulis teks tentunya mempunyai tujuan dalam
berkomunikasi sehingga akan memilih unsur leksikal dan menggunakan konstruksi
gramatikal tertentu untuk mencapainya.
Berbagai teknik penerjemahan (translation techniques) yang digunakan dalam makalah
ini merujuk pada pendapat Molina dan Albir (2005, h. 498−512) yang diilhami oleh gagasan
yang disampaikan oleh Vinay & Darbelnet (1958), seperti yang dikutip oleh Fawcett (1997,
h. 34–40) dan oleh Newmark (1988), seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi Teknik Penerjemahan2
Teknik
Penerjemahan
Penjelasan Contoh
adaptation
‘adaptasi’
Menggantikan unsur budaya sumber
dengan unsur budaya sasaran.
baseball (bahasa Inggris) => fútbol
(bahasa Spanyol)
amplification
‘penambahan’ 3
Memberikan informasi lebih detail
yang tidak tercantum dalam TSu.
Penambahan kata Ramadan pada
frasa Ramadan, the Muslim month of
fasting (bahasa Inggris)
borrowing: pure
borrowing &
naturalized
borrowing
‘peminjaman:
murni & natural’
Menyerap kata atau ungkapan
langsung dari BSu yang meliputi
peminjaman murni dan peminjaman
alamiah.
Peminjaman murni: lobby (bahasa
Inggris) => lobby (bahasa Spanyol)
Peminjaman alamiah: meeting
(bahasa Inggris) => mitin (bahasa
Spanyol)
1 “… texts can be seen as the result of motivated choice: proceducers of texts have their own communicative
aims and select lexical items and grammatical arrangement to serve those aims” (Hatim dan Mason 1990, h. 4)
2 dengan perubahan
3 Kadang-kadang digunakan istilah addition ‘penambahan’atau contextual conditioning ‘pemadanan
berkonteks’.
3
4
calque Penerjemahan harfiah kata atau frasa
BSu secara leksikal atau struktural.
école normale (bahasa Perancis) =>
normal school (bahasa Inggris)
compensation)
‘kompensasi’
Memperkenalkan sebuah informasi
dalam TSu pada bagian lain dalam
TSa atau untuk menciptakan dampak
stilistika.
I was seeking thee, Flathead (bahasa
Inggris) => En vérité, c’est bien toi
que je cherche, Q Tête-Plate (bahasa
Perancis)
description
‘deskriptif’
Menggantikan sebuah istilah atau
ungkapan dengan sebuah deskripsi
tentang bentuk dan/atau fungsi dalam
TSu.
panettone (bahasa Italia) => the
traditional Italian cake eaten on New
Year’s Eve (bahasa Inggris)
discursive creation
‘bebas’
Memberikan padanan sementara
namun terlepas dari konteks.
rumble fish (bahasa Inggris) => la ley
de la calle (bahasa Spanyol)
established
equivalent ‘padanan
baku/ resmi’
Menggunakan sebuah istilah atau
ungkapan yang dianggap sebagai
padanan dalam BSa berdasarkan
kamus atau penggunaan bahasa.
They are as like as two peas (bahasa
Inggris) => Se parecen como dos
gotas
de agua (bahasa Spanyol)
generalization
‘generalisasi’
Menggunakan istlah yang lebih umum
atau netral (lawannya: partikularisasi).
guichet, fenêtre, devanture (bahasa
Perancis) window (bahasa Inggris)
linguistic
amplification
‘penambahan unsur
bahasa’4
Menambahkan sejumlah unsur bahasa,
sering digunakan dalam penerjemahan
lisan dan sulih bahasa.
no way (bahasa Inggris) => de
ninguna de las maneras (bahasa
Spanyol)
linguistic
compression
‘sintesa bahasa’
Menggabungkan unsur-unsur bahasa
dalam TSa.
Yes, so what? (bahasa Inggris) =>
¿Y? (bahasa Spanyol)
modulation
‘modulasi’
Mengubah sudut pandang, fokus, atau
kategori kognitif terkait dengan TSu
yang bersifat leksikal atau struktural.
You are going to have a child (bahasa
Arab) => You are going to be a father
(bahasa Inggris)
particularization
‘partikularisasi”
Menggunakan istilah yang lebih persis
atau konkret.
window (bahasa Inggris) => guichet,
fenêtre, devanture (bahasa Perancis)
reduction ‘reduksi’ Mengungkapkan sebuah informasi
dalam TSu secara sangat singkat
dalam TSa.
the Muslim month of fasting =>
Ramadan (bahasa Inggris)
substitution −
linguistic,
paralinguistic
‘substitusi’
Mengubah unsur bahasa dengan unsur
paralinguistik seperti intonasi dan
bahasa tubuh.
Menempelkan tangan di dada (bahasa
Arab) => Thank you (bahasa Inggris)
transposition
‘trannsposisi’
Mengubah kategori
gramatikal/pergeseran bentuk
He will soon be back (bahasa Inggris)
=> No tardará en venir (bahasa
Spanyol)
variation ‘variasi’ Mengubah nada teks, gaya bahasa,
dan dialek
Perubahan dialek dalam dialog pada
teater dan nada pada novel anak-anak
Setingkat di atas teknik penerjemahan, dikenal istilah metode penerjemahan, yaitu
prinsip yang dianut oleh penerjemah yang mendasari cara ia menerjemahkan TSu ke dalam
BSa yang disesuaikan dengan target pembaca (audience design) dan tujuan penerjemahan
(needs analysis) yang pada akhirnya menentukan jenis atau bentuk terjemahan (Hoed 2006,
h. 55). Menurut Newmark (1982, h. 45), terdapat delapan metode penerjemahan, yang
digambarkan melalui Diagram-V berikut.
4 Unsur bahasa yang ditambahkan pada TSa lebih banyak dibandingkan dengan jika menggunakan teknik
penambahan (amplification/addition/contextual conditioning).
5
SL Emphasis TL Emphasis
Word-for-word translation Adaptation
Literal translation Free translation
Faithful translation Idiomatic translation
Semantic translation Communicative translation
Melalui karya terjemahan, perspektif ideologis yang dianut oleh seorang penerjemah
sering dapat diamati, terutama ketika bersentuhan dengan budaya sumber dan bahasa sumber.
“Posisi” atau strategi penerjemahan yang dipilih boleh jadi lebih berorientasi pada BSa yang
dikenal domesticating strategies of translation/domestication, atau lebih menunjukkan
keberpihakan pada budaya sasaran dan bahasa sasaran yang disebut dengan foreignizing
strategies of translation/foreignazation (Penrod 1993), seperti yang dikutip oleh Fawcett dan
Munday (2009, h. 138). Namun, batasan kedua dikotomi itu dikritik oleh beberapa pakar di
bidang kajian penerjemahan.
Batasan ‘ideologi’ dalam penerjemahan yang dijadikan acuan dalam makalah ini
mengacu pada definisi ideologi menurut beberapa pakar penerjemahan, yaitu Hatim dan
Mason (1997) dan Tymoczko (2003), seperti yang dikutip oleh Munday (2007, h.197).
A body of assumptions which reflects the belief and interest of an individual, a
group of individuals, a social institution, etc. and which ultimately find expression in
language (Hatim dan Mason 1997, h. 218).
The ideology of a translation resides not simply in the text translated, but in the
voicing and stance of the translator, and in its relevance to the receiving audience. These
latter features are affected by the place of enunciation of the translator: indeed they are
part of what what we mean by the ‘place’ of enunciation, for that ‘place’ is an
ideological positioning as well as geographical or temporal one. (Tymoczko 2003)
Di sisi lain, konsep ‘benar’, ‘berterima’, dan ‘baik’ dalam penerjemahan sangat
ditentukan oleh tujuan [skopos] penerjemahan itu sendiri: apakah berorientasi pada BSu
(ideologi foreignization) ataukah berorientasi pada BSa (ideologi domestication)? Hoed
(2003, h. 11) menggarisbawahi sikap kita/penerjemah terhadap kedua dikotomi ideologi
dalam penerjemahan yaitu domestication dan foreignization, khususnya dalam konteks
penerjemahan teks dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, seperti yang terlihat pada kutipan
berikut.
... ideologi dalam penerjemahan dalam masyarakat kita menjadi pilihan yang
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pembaca [needs analysis]. Dalam hal ini,
sikap kita seharusnya terbuka pada kedua ideologi yang saya kemukakan di atas.
Keduanya dapat memberikan dampak posisif atau pun negatif karena akhirnya karya
terjemahan berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
6
Di samping sejumlah kajian teoretis tersebut di atas, kiranya perlu diulas sedikit tentang
istilah ‘ekonomi’ itu sendiri. Istilah itu dapat ditinjau dari tiga perspektif (White 2003, h.
131−132). Pertama, dalam artian sempit, istilah itu dalam bahasa Yunani mengacu pada
sebuah rumah tangga dan manajemen sumber daya yang dimilikinya. Kedua, dalam konteks
yang lebih luas, ilmu ekonomi secara historis melihat adanya hubungan antara sumber daya
dan manusia secara kolektif. Ketiga, definisi istilah ekonomi secara kontemporer
dikemukakan oleh Isaacs et al. (1990, h. 125): “economics is a social science concerning
behaviour in the fields of production, consumption, distribution and exchange.”
Ilmu ekonomi kemudian dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu ilmu ekonomi mikro dan
ilmu ekonomi makro. Mankiw (2003, h. 27–28) memberi batasan ilmu ekonomi mikro dan
ilmu ekonomi mikro sebagai berikut: “microeconomics is the study of how households and
firms make decisions and how they interact in specific markets. macroeconomics is the study
of economywide phenomena.” Kegiatan ekonomi pada tataran mikro ditandai dengan
penanganan berbagai kasus yang lebih sederhana dan nyata, seperti menimbang, mengukur,
dan menghitung. Pada waktu yang sama juga dikaji sejumlah elemen yang sangat mendasar
seputar pengalaman manusia dalam berinteraksi secara sosial dan ekonomi. Dalam realitas,
kedua cabang ilmu ekonomi itu saling terkait satu sama lain. Perubahan perekonomian di
tingkat makro terjadi karena keputusan yang diambil oleh jutaan pelaku ekonomi pada tataran
mikro.
Ketika para ekonom berbicara tentang ekonomi yang berhubungan dengan barang dan
jasa, dia tidak lagi beroperasi pada tataran mikro melainkan sudah memasuki ranah ilmu
ekonomi makro yang memiliki tingkat kompleksitas dan tantangan yang semakin besar.
Dengan kata lain, ekonomi makro merupakan kumpulan kegiatan ekonomi mikro yang
melibatkan berbagai variabel yang lebih abstrak. Oleh karena itu, diperlukan indikator yang
berbeda untuk mengukur atau menganalisis gejala ekonomi secara makro. Misalnya masalah
produk domestik bruto (gross domestic product)5, seperti pada kalimat Indonesia's economy
grew steadily, from a per capita GNP6 of $70 in 1967 to $1,110 in 1997. It became
recognized as a newly industrializing economy. Real GDP growth has averaged nearly 4.5%
over the past 35 years. Produk domestik bruto (selanjutnya disingkat PDB) adalah jumlah
5 Disingkat PDB, yaitu jumlah output barang dan jasa yang dihasilkan oleh sebuah negara selama periode
tertentu (Rutherford 1995, h. 175; Hussey 1995, h. 182).
6 Gross National Product (GNP) atau produk nasional bruto (PNB) adalah Gross Domestic Product (GDP) atau
produk domestik bruto (PDB) ditambah dengan bunga (interest), laba (profit) dan dividen (divident) yang
diterima oleh masyarakat dari luar negeri (Hussey 1995, h. 183).
7
output barang dan jasa yang dihasilkan oleh sebuah negara selama periode tertentu
(Rutherford 1995, h. 175).
3. Metodologi
Kajian ini menerapkan metode kualitatif (Travers 2001, h. 4–5; William & Chesterman
2002, h. 64–65) berupa analisis teks (textual analysis) dalam bentuk studi kasus. Metode
penelitian yang dimaksud digunakan untuk menjelaskan bagaimana konsep-konsep dalam
teks bidang ekonomi ditransfer dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Analisis komparatif
yang didasarkan pada model komparatif (TSu ≈ TSa atau TSa ≈ TSu) difokuskan pada
bagaimana sejumlah konsep dalam teks bidang ekonomi (TSu) ditransfer ke bahasa Indonesia
(TSa). Di samping itu, pendekatan korpus juga digunakan untuk mendukung metode tersebut
di atas, yaitu dengan menyajikan sebuah daftar kata kunci dalam TSu dan signifikansinya
(keyness) dalam data (lihat Tabel 2) dengan melibatkan The British National Corpus (BNC)
sebagai korpus pembanding (referent corpus).
Tabel 2 Daftar Kata Kunci dalam Korpus
N Key word Freq. %
RC.
Freq. RC. % Keyness
1 PRICE 3041 0.29851 1096 0.021992916 6417.473633
2 DEVELOPMENT 2658 0.26092 969 0.019444466 5583.378906
3 GROWTH 2198 0.21576 509 0.010213863 5372.667969
4 INCOME 2260 0.22185 643 0.012902778 5189.268066
5 LABOR 1396 0.13704 6 4878.215332
6 DEMAND 2067 0.2029 592 0.011879385 4735.506348
7 SUPPLY 1770 0.17375 367 4457.139648
8 MANAGER 1416 0.139 311 3511.325928
9 GOODS 1368 0.13429 263 3510.791748
10 ECONOMY 1516 0.14881 553 0.01109679 3182.547607
11 MARKET 2247 0.22057 2052 0.041176517 2785.672852
12 EMPLOYEE 1113 0.10926 252 2736.822754
13 COST 1631 0.1601 1029 0.020648457 2619.715576
14 POPULATION 1242 0.12192 457 2598.172607
15 CAPITAL 1318 0.12938 560 0.011237256 2596.024658
16 TAX 1411 0.13851 923 0.018521406 2216.775391
17 EQUILIBRIUM 652 0.064 15 2175.161133
18 POVERTY 767 0.07529 144 1979.457031
19 TRADE 1419 0.13929 1113 0.022334047 1975.567505
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, sebuah korpus paralel sebagai data telah didesain
yang terdiri dari: (1) subkorpus TSu, yaitu kumpulan teks dalam bentuk file elektronik yang
berasal dari tiga buku teks ekonomi dalam bahasa Inggris sebagai BSu, (2) subkorpus TSa,
yaitu terjemahannya dalam format elektronik dalam bahasa Indonesia sebagai BSa. Tiga
karya terjemahan bidang ekonomi telah diseleksi secara representatif (purposive sampling)
8
dengan memperhatikan tiga kriteria utama: (1) keterwakilan data dalam korpus
(representativeness); (2) cakupan bidang dalam ilmu ekonomi (scope) seperti Ilmu Ekonomi,
Manajemen, dan Studi Pembangunan; dan (3) jumlah token dalam setiap subkorpus (Bowker
dan Pearson 2002, h. 58–74). Kriteria itu disempurnakan oleh Olohan (2004) dengan
mengusulkan empat kriteria, yaitu representativeness, size, sampling, dan jenis teks &
fungsi/tujuannya.
4. Hasil dan Pembahasan
Analisis penerjemahan berikut difokuskan pada penerapan strategi penerjemahan yang
meliputi aplikasi teknik penerjemahan, metode penerjemahan, dan ideologi dalam
penerjemahan penerjemahan. Pada tataran mikroteks, telah dipilih sejumlah contoh kalimat
yang di dalamnya digunakan beberapa kata kunci dalam teks bidang ekonomi, yaitu price,
growth, income, labor, demand, supply, manager, goods, dan economy. Misalnya
penerjemahan kalimat TSu (1a) berikut.
TSu (1a)
Both a tariff7 and an import quota8 raise prices,9 restrict trade, and cause deadweight losses,10
but at least the tariff produces revenue11 for the U.S. government rather than for Japanese auto
companies. [file: chapter-09-poe.txt]
TSa (1b)
Tarif dan kuota impor memang sama-sama menaikkan harga domestik mobil, menurunkan
volume perdagangan, dan menimbulkan kerugian beban baku, namun setidaknya
pemberlakuan tarif akan memberikan pendapatan tambahan kepada pemerintah Amerika, dan
bukan pada perusahaan-perusahaan mobil Jepang.
Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi dalam TSa, beberapa teknik
penerjemahan telah digunakan, yaitu teknik harfiah, teknik calque, teknik peminjaman
7 An import tax. The superiority of a tariff to import licensing arises from its lower administrative costs and the
production of revenue; few tariffs succeed in excluding all imports and so they earn revenue. As a form of
taxation, tariffs have been used from earliest recorded history as in primitive economies they had the advantage
of involving fewer valuation problems than taxes on income or on capital. In the post-war period, tariff
reductions aimed to reduce the protectionism of the 1930s; most of these had withered away before the Dillon,
Kennedy and Tokyo Rounds (Rutherford 1995, h. 402).
8 The maximum amount of a commodity, fixed by the government, that can be imported into a country by an
enterprise, individual or other entity during a specified period (De Lucca 2001, h. 298).
9 The amount of money, or something of value, requested, or offered, to obtain one unit of a good or service.
Relative prices are not expressed in terms of money but in other goods or other services (Rutherford 1995, h.
319).
10 A loss of consumer’s surplus by buyers not matched by a corresponding producer’s sur plus. This concept is
crucial to much of welfare economics, e.g. the analysis of the effects of a monopoly, of taxes and of tariffs. The
size of the deadweight loss depends on the elasticity of demand or supply (Rutherford 1995, h. 95).
11 The proceeds obtained by a firm during a given time period for the sale of its goods and services; the amount
raised by a government from taxation and trading activities (Rutherford 1995, h. 352).
9
alamiah, teknik transferensi, teknik transposisi, teknik modulasi, dan teknik penambahan.
Penerapan teknik harfiah dapat dilihat pada pemilihan sejumlah padanan berikut: tariff ::
tarif, import quota :: kuota impor, dan revenue :: pendapatan. Pemilihan padanan itu yang
memang sudah dibakukan dalam Bahasa Indonesia dimaksudkan untuk menjaga agar
komponen semantis TSu tetap dapat dipertahankan dalam TSa. Penerapan teknik calque yang
beroperasi pada tataran frasa juga dapat dilihat pada pemadanan deadweight losses ::
kerugian beban baku (Karnedi 2011, h. 4) yang juga merupakan proses penerjemahan secara
harfiah.12
Penerapan teknik peminjaman alamiah berorientasi pada BSu dapat dilihat pada
pemilihan beberapa padanan berikut: tariff :: tarif, quota :: kuota, dan import :: impor.
Penerapan teknik transferensi menunjukkan bahwa terjemahan sangat terikat atau
dipengaruhi atau setia mengikuti konstruksi atau struktur TSu. Hal itu dilakukan guna
mencapai tingkat keakuratan transfer makna yang lebih tinggi dalam TSa untuk beberapa
konsep ilmu ekonomi tersebut.
Berbeda dengan keempat teknik penerjemahan sebelumnya, kedua teknik penerjemahan
berikut yaitu teknik transposisi dan teknik penambahan lebih mengutamakan kewajaran
dalam BSa. Penerapan teknik transposisi terlihat pada bagaimana konstruksi kalimat both a
tariff and an import quota raise prices, … diterjemahkan menjadi kalimat tarif dan kuota
impor memang sama-sama menaikkan harga domestik mobil, … dalam TSa (1b). Dengan
kata lain, teks terjemahan itu tidak lagi mengikuti pola-pola kalimat dalam TSu melainkan
lebih mengikuti kaidah atau konstruksi kalimat yang berterima secara gramatikal dalam BSa.
Dengan kata lain, akurasi bahasa Indonesia (TSa) beroperasi pada tataran kata sampai pada
tataran kalimat.
TSu (2a)
But because of its spectacular growth,13 Japan is now an economic superpower, with average
income only slightly behind that of the United States. [file: chapter-25-poe.txt]
TSa (2b)
Tetapi, karena laju pertumbuhannya yang spektakuler, Jepang sekarang merupakan negara
adikuasa di bidang ekonomi, dengan pendapatan rata-rata yang hanya sedikit di bawah
pendapatan rata-rata penduduk AS.
12 Dalam “Glosarium Istilah Asing-Indonesia” (2006), diberikan beberapa alternatif padanan untuk istilah
deadweight losses, yaitu kerugian luput, kerugian bobot mati, dan rugi beban mati.
13 The growth in the total, or per capita, output of an economy, often measured by an increase in real gross
national product, and caused by an increase in the supply of factors of production or their productivity
(Rutherford 1995, h. 118).
10
Enam teknik penerjemahan telah digunakan oleh penerjemah ketika menerjemahkan TSu
(2a). Keenam teknik penerjemahan tersebut adalah teknik harfiah, teknik deskriptif, teknik
peminjaman alamiah, teknik transferensi, teknik modulasi, dan teknik penambahan. Teknik
harfiah telah diterapkan pada TSu (2a) seperti yang terlihat pada sejumlah padanan berikut:
growth :: pertumbuhan, average income :: pendapatan rata-rata dan the United States :: AS
yang lebih mementingkan aspek semantis TSu dan TSa. Selain teknik harfiah, juga
diterapkan teknik peminjaman alamiah pada unsur leksikal economic :: ekonomi. Teknik
penerjemahan transferensi juga terlihat pada penerjemahan TSu (2a) yang dengan setia
mengikuti konstruksi TSu (restricted), bahkan sampai pada titik-koma (TSa, 2b).
Kalau ketiga teknik penerjemahan yang disebutkan terakhir lebih mengutamakan aspek
semantis TSu dan TSa, dua teknik penerjemahan berikut ini lebih berorientasi pada
kelaziman dalam BSa. Pertama adalah teknik modulasi yaitu perubahan sudut pandang secara
semantis terhadap frasa average income only slightly behind that of the United States
(sebagai TSu). TSu (2a) berdimensi horizontal yang ditandai dengan penggunaan adverbia
behind. Dimensi depan-belakang itu kemudian diterjemahkan menjadi dimensi atas-bawah
yang ditunjukkan oleh penggunaan padanan di bawah pada klausa pendapatan rata-rata yang
hanya sedikit di bawah pendapatan rata-rata penduduk AS (TSa, 2b) yang lebih menekankan
dimensi vertikal.
Kelima, penerapan teknik penambahan juga terlihat pada penambahan unsur leksikal
penduduk pada frasa pendapatan rata-rata penduduk AS agar lebih jelas bagi pembaca TSa.
Teknik deskriptif juga digunakan, misalnya pemilihan padanan frasa economic superpower ::
negara adikuasa di bidang ekonomi.
TSu (3a)
Revenue from personal income taxes14 (per person, adjusted for inflation) fell by 9 percent from
1980 to 1984, even though average income (per person, adjusted for inflation) grew by 4 percent
over this period. [file: chapter-08-poe.txt
TSu (3b)
Pendapatan pemerintah dari pajak penghasilan pribadi (tiap orang, disesuaikan dengan inflasi)
turun sebesar 9 persen dari tahun 1980 hingga 1984, [bahkan] walaupun pendapatan rata-rata
(tiap orang, disesuaikan dengan inflasi) naik sebesar 4 persen selama periode ini.
Diperlukan beberapa teknik penerjemahan untuk mengatasi masalah penerjemahan TSu
(3a), seperti yang dilakukan oleh penerjemah berikut, yakni dengan menerapkan teknik
14 A tax levied on taxable income. It is a complex tax because of different rates for different types of income,
exemption of some types of income (particularly fringe benefits) and allowances/deductions for various
categories of expenditure (e.g. expenses related to employment, charitable covenants) (Rutherford 1995, h.193).
11
harfiah (misal pemadanan revenue :: pendapatan pemerintah, personal income taxes :: pajak
penghasilan pribadi, dan average income :: pendapatan rata-rata), teknik peminjaman
alamiah (misal pemadanan inflation :: inflasi, percent :: persen, dan period :: periode), teknik
tranferensi (terlihat pada TSa yang terkesan mengikuti/setia dengan konstruksi TSu, bahkan
sampai pada penggunaan tanda baca seperti titik-koma dan tanda kurung). Ketiga teknik
penerjemahan yang dimaksud lebih mengutamakan karakteristik BSu dalam TSa. Di samping
itu, juga digunakan teknik penambahan atau pemadanan berkonteks yaitu dengan cara
menambahkan informasi pemerintah pada frasa pendapatan pemerintah (TSa, 3b) sehingga
maknanya menjadi lebih jelas bagi pembaca TSa.
TSu (4a):
When the market15 is in this equilibrium, each firm has bought as much labor16 as it finds
profitable at the equilibrium17 wage18. [file: chapter-18-poe.txt]
TSa (4b)
Ketika pasar berada pada kondisi seimbang, tiap perusahaan telah membeli sebanyak mungkin
tenaga kerja yang dianggapnya menguntungkan pada upah keseimbangan.
Dalam menerjemahkan TSu (4a), penerjemah menerapkan tiga teknik penerjemahan,
yaitu teknik harfiah, teknik peminjaman alamiah, dan teknik transposisi. Penerapan teknik
harfiah dapat dilihat pada pemilihan sejumlah padanan berikut: equilibrium :: kondisi
seimbang, labor :: tenaga kerja, dan equilibrium wage :: upah keseimbangan. Pemilihan
beberapa padanan itu dimaksudkan untuk mempertahankan aspek semantis TSu dalam TSa
sehingga kesalahan dalam memahami makna dalam TSu dapat dihindari. Teknik
penerjemahan yang dimaksud terkesan sangat harfiah, oleh karena itu, lebih berorientasi pada
BSu.
Penerapan teknik peminjaman alamiah juga dapat dilihat pada penerjemahan unsur
leksikal: to accumulate :: terakumulasi. Fenomena penerjemahan itu juga mencerminkan
bahwa penerjemah ingin mempertahankan aspek bunyi TSu dalam TSa meskipun dengan cara
15 A medium for exchanges between buyers and sellers. Some markets are physically located in one place;
others connect buyers and sellers by telephone, fax and telex, especially in the case of financial markets.
Markets for goods and services are termed ‘product’ markets; for labour and capital, ‘factor
markets’(Rutherford 1995, h. 253).
16 A factor of production which consists of the effort and time of human beings engaged in the production of
goods or services. The notions of human capital and economic rent blur the distinction between this factor and
capital and land (Rutherford 1995, h. 228).
17 A state of balance such that a set of selected interrelated variables has no inherent tendency to change. In
economics, a major example is the balance of the forces which equate demand and supply (Rutherford 1995, h.
133).
18 Payment to workers for supplying their services for a particular amount of time, or for producing a defined
amount ofoutput (Rutherford 1995, h. 436).
12
mengadaptasi sistem bunyi BSu dalam TSa. Penerapan teknik transposisi pada penerjemahan
TSu (4a) ditandai dengan pengalihan makna TSu ke dalam TSa melalui pergeseran bentuk
TSu sedemikian rupa sehingga memenuhi kaidah BSa. Misal konstruksi kalimat she buys a
bond that pays an interest rate of 10 percent, the $1,000 will accumulate at the end of 45
years to $72,900 ... :: ia membeli surat obligasi dengan suku bunga 10%, maka pada akhir
tahun ke-45 tabungan sebesar $1.000 tersebut akan terakumulasi menjadi $72.900 ....
Dengan kata lain, penerjemah telah melakukan perubahan struktur kalimat TSu dalam TSa
berdasarkan kaidah yang berlaku dalam BSa.
Analisis penerapan strategi penerjemahan itu (TSu, 4a dan 4b) membuktikan bahwa
penerjemah menganut satu prinsip yang lebih mengutamakan aspek makna TSu dalam TSa.
Dengan kata lain, penerjemah menggunakan metode penerjemahan setia sebab dua dari tiga
teknik penerjemahan yang digunakan lebih menekankan aspek makna dan maksud penulis
TSu.
TSu (5a)
Once we realize that saving represents the supply19 of loanable funds20 and investment
represents the demand,21 we can see how the invisible hand22 coordinates saving and
investment. [file: chapter-26-poe.txt]
TSa (5b)
Setelah memahami bahwa tabungan mencerminkan penawaran dana pinjaman dan investasi
mencerminkan permintaan dana pinjaman, kita dapat melihat bagaimana tangan tak tampak
mengoordinasikan tabungan dan investasi.
Berdasarkan terjemahan tersebut di atas (TSa), diketahui bahwa penerjemah
menggunakan tiga teknik penerjemahan, yaitu teknik harfiah, teknik peminjaman murni, dan
teknik transposisi. Penerapan teknik harfiah juga dapat dilihat pada pemilihan sejumlah
padanan berikut: saving :: tabungan, supply :: penawaran, loanable funds :: dana pinjaman,
investment :: investasi, demand :: permintaan, the invisible hand :: tangan tak tampak,23
saving :: tabungan. Pemilihan sejumlah padanan itu, terutama perpadanan loanable funds ::
dana pinjaman dan the invisible hand :: tangan tak tampak merupakan satu wujud kesetiaan
19 aggregate supply – the total output which all the producers of an economy are willing to supply at each price
level (Rutherford 1995, h. 10).
20 loanable funds theory –A popular theory of the determination of the rate of interest which was dominant
before Keynes’s General Theory. Under the theory, the investment demand for funds and the supply of loanable
funds through savings would in equilibrium bring about a unique rate of interest (Rutherford, 1995:240).
21 The amount of factors of production or their products desired at a particular price. This is shown graphically
in a demand curve (Rutherfor 1995, h. 99).
22 The underlying mechanism of a market economy which causes self-interested economic agents through
exchange to promote the general good of society (Rutherford 1995, h. 211).
23 Dalam “Glosarium Istilah Asing-Indonesia” (2006) digunakan padanan tangan tersembunyi meskipun
padanan itu tidak terlalu sering digunakan dalam teks terjemahan bidang ekonomi.
13
pada maksud penulis TSu dan bentuk BSu. Penerapan teknik peminjaman alamiah pada TSa
5b semakin melengkapi indikasi kesetiaan penerjemah pada bentuk TSu dalam TSa.
Fenomena yang dimaksud dapat dilihat pada penerjemahan unsur leksikal to coordinate ::
mengoordinasikan dan investment :: investasi.
Teknik transposisi sebagai sebuah teknik penerjemahan yang lebih berorientasi pada BSa
dapat mengimbangi kecenderungan penerjemah yang berlebihan pada bentuk TSu. Misal
penerjemahan konstruksi kalimat once we realize that saving represents the supply of
loanable funds and investment represents the demand, we can see how … . Penggunaan
pronomina we terasa diulang-ulang dalam TSu tetapi diterjemahkan secara lebih efisien
dalam TSa menjadi kalimat setelah memahami bahwa tabungan mencerminkan penawaran
dana pinjaman, kita dapat melihat bagaimana …; penggunaan padanan kita (we) tidak perlu
diulang (repetisi). Fenomena penerjemahan itu semakin membuktikan bahwa simplifikasi
(simplication) sebagai salah satu ciri teks terjemahan atau kesemestaan terjemahan
(translation universal) secara empiris memang benar adanya.
TSu (6a)
In 1986, OPEC members started arguing over production levels, and their long-standing
agreement to restrict supply24 broke down. [file: chapter-35-poe.txt]
TSu (6b)
Pada tahun 1986, anggota-anggota OPEC mulai berselisih pendapat mengenai tingkat produksi,
dan kesepakatan lama mereka untuk membatasi penawaran minyak tidak berlaku lagi.
Empat teknik penerjemahan telah digunakan ketika menerjemahkan unit bahasa dalam
TSu (6a). Keempat teknik penerjemahan itu adalah teknik harfiah, teknik peminjaman
alamiah, teknik peminjaman murni, dan teknik penambahan. Pemilihan padanan pada tataran
kata dan frasa seperti OPEC members :: anggota-anggota OPEC, production level :: tingkat
produksi, agreement :: kesepakatan, to restrict :: membatasi dan supply :: penawaran
merupakan bukti empiris bahwa teknik harfiah telah diterapkan oleh penerjemah. Pemilihan
itu dimaksudkan untuk mempertahankan atau menjamin bahwa aspek semantis TSu dapat
dipertahankan dalam TSa.
Di samping itu, pemilihan padanan production :: produksi dan OPEC :: OPEC masingmasing
sebagai aplikasi teknik peminjaman alamiah dan teknik peminjaman murni (Vinay &
Darbelnet 1958, Molina & Albir 2005) semakin menguatkan jastifikasi bahwa penerjemah
lebih berorientasi pada BSu.
24 supply function – the relationship between the amount of a good or service produced and its price
(Rutherford 1995, h. 396).
14
Sebagai kompensasinya, penerjemah juga menerapkan teknik penambahan, yaitu dengan
menambahkan informasi minyak pada klausa membatasi penawaran minyak ‘… to restrict
supply ...’. Fenomena penerjemahan yang dimaksud menyiratkan bahwa meskipun ideologi
strategi penerjemahan dapat memposisikan penerjemah pada sisi BSu (ideologi
foreignisation) saja, atau BSa saja (ideologi domestication) sesuai metode penerjemahan atau
prinsip yang dianut, secara empiris terbukti pula bahwa ideologi penerjemahan pada
hakikatnya bersifat relatif (Hoed 2003).
TSu (7a):
For example, when a mutual fund25 wants to buy a Japanese government bond,26 it needs to
change dollars into yen, so it supplies dollars in the market for foreign-currency exchange.27
[file: chapter-32-poe.txt]
TSa (7b):
Sebagai contoh, ketika reksa dana AS ingin membeli obligasi pemerintah Jepang, mata uang
dolar AS perlu ditukar dengan mata uang yen, jadi reksadana menawarkan dolar AS pada pasar
pertukaran valuta asing.
Dalam pemadanan TSu (7a) dengan TSa (7b), penerjemah telah menerapkan empat
teknik penerjemahan TSu yang digunakan oleh penerjemah. Pertama adalah teknik harfiah
(literal translation) yang dapat dilihat pada dua fenomena pemilihan padanan berikut: to
supply :: menawarkan dan the market for foreign-currency exchange :: pasar pertukaran
valuta asing. Pemilihan padanan itu dimaksudkan agar aspek semantis TSu tetap dapat
dipertahankan dalam TSa meskipun terkesan terikat dengan bentuk TSu atau berorientasi
pada BSu.
Kedua adalah teknik calque yang digunakan ketika menerjemahkan frasa mutual fund
menjadi frasa reksadana dan frasa government bond menjadi frasa obligasi pemerintah.
Kesepadanan antara BSu dan BSa dalam kedua kasus itu secara struktural beroperasi pada
tataran frasa (Molina dan Albir 2002, h. 499). Teknik penerjemahan ketiga, yaitu teknik
penambahan (addition/contextual conditioning) juga digunakan seperti yang terlihat pada
penambahan informasi AS pada frasa reksadana AS dan pada frasa dolar AS, serta frasa mata
uang masing-masing dimaksudkan untuk memperjelas makna frasa a mutual fund dan
nomina dollar dan yen termasuk penggunaan padanan reksa dana pada kalimat ’reksa dana
menawarkan dolar AS’ sebagai padanan untuk pronomina it dalam TSu.
25 US unit trust (Rutherford 1995, h. 9-277).
26 A long-term stock market security issued by a central, state or local government which is either irredeemable
or to be repaid after a stated number of years (Rutherford 1995, h. 9-172).
27 A market in which currencies are exchanged for each other. Both spot and forward trading are used
(Rutherford 1995, h.157).
15
Keempat adalah teknik transposisi (transposition) yang ditandai dengan pengalihan
makna dalam TSu ke dalam TSa yang dilakukan melalui pergeseran bentuk TSu (shift)
sedemikian rupa berdasarkan kaidah BSa. Misalnya kalimat it needs to change dollars into
yen menjadi konstruksi mata uang dolar AS perlu ditukar dengan mata uang yen yang tidak
lagi terikat pada konstruksi TSu.
TSu (8a)
If net exports are negative, exports are less than imports, indicating that the country sells fewer
goods and services abroad than it buys from other countries. In this case, the country is said to
run a trade deficit. [file: chapter-31-poe.txt]
TSa (8b)
Jika ekspor neto bernilai negatif, maka ekspor lebih kecil dari import menunjukkan bahwa
negara tersebut menjual barang dan jasa lebih sedikit daripada jumlah pembelian barang dan
jasanya dari negara lain. Jika demikian, negara tersebut dikatakan mempunyai defisit
perdagangan (trade deficit).
Pada tataran mikro teks, penerjemah telah menggunakan setidaknya tiga teknik
penerjemahan, yaitu teknik harfiah, teknik peminjaman alamiah, dan teknik transposisi.
Penggunaan teknik harfiah ditandai dengan pemilihan padanan trade deficit :: defisit
perdagangan. Di samping teknik harfiah, juga digunakan teknik peminjaman alamiah yang
dapat dilihat pada pemilihan padanan: net export ’ekspor neto’ yang telah disesuaikan dengan
kaidah ejaan dan pelafalan dalam bahasa Indonesia. Kedua teknik penerjemahan itu
mencerminkan satu upaya penerjemah untuk mengutamakan agar ciri TSu tetap dapat
dipertahankan dalam TSa.
Berbeda dengan kedua teknik penerjemahan terdahulu, penerapan teknik transposisi
berikut juga mengisyaratkan bahwa penerjemah juga mempertimbangkan tingkat keterbacaan
dalam TSa. Untuk mencapai tujuan itu penerjemah melakukan pergeseran bentuk atau
mengubah konstruksi kalimat if net exports are negative, exports are less than imports ...
(TSu, 8a) menjadi konstruksi kalimat jika ekspor neto bernilai negatif, maka ekspor lebih
kecil dari import ... dalam TSa (8b) yang disesuaikan dengan kaidah yang berlaku dalam
bahasa Indonesia.
TSu (9a)
Central planners failed because they tried to run the economy with one hand tied behind their
backs − the invisible hand28 of the marketplace. [file: chapter-01-poe.txt]
28 Menurut Courtemanche (2005, h. 70), the invisible hand merupakan satu cara bagaimana kita membayangkan
ideologi kapitalisme yang identik dengan pasar bebas sebagi sebuah pesan moral (moral order) yang spontan,
menarik, dan mempunyai kekuatan seperti halnya 200 tahun yang silam ketika Adam Smith mencetuskan ide itu
dalam karyanya yang berjudul Wealth of Nations.
16
TSa (9b)
Perencana terpusat gagal karena mereka menjalankan perekonomian dengan satu tangan terikat
di belakang [punggung] mereka − tangan tak tampak itu sendiri.
Penerjemahan TSu (9a) juga menggunakan tiga teknik penerjemahan, yaitu teknik
harfiah, teknik peminjaman alamiah, dan teknik penghilangan. Penerapan teknik harfiah
tergambar dalam pemilihan beberapa padanan berikut: central planner :: perencana terpusat
dan the invisible hand :: tangan tak tampak. Penerapan teknik peminjaman alamiah juga
dapat dilihat pada pemilihan padanan economy :: perekonomian.29 Penerjemah melakukan
penyesuaian ejaan dan lafal TSu dalam TSa.
Berdasarkan sejumlah analisis penerjemahan di atas, pada tataran mikroteks, ditemukan
penggunaan sejumlah teknik penerjemahan teks bidang ekonomi (TSu) ke bahasa Indonesia
(TSa). Teknik penerjemahan itu disajikan pada Tabel 3. Hubungan antara keduanya terletak
pada fungsinya sebagai bagian dari strategi penerjemahan pada tataran mikroteks, termasuk
metode penerjemahan.
Tabel 3 Teknik Penerjemahan Teks Bidang Ekonomi
Orientasi pada TSu Orientasi pada TSa
(6) Teknik hafiah (11) Teknik transposisi30
(7) Teknik peminjaman alamiah31 (12) Teknik modulasi
(8) Teknik tranferensi (13) Teknik penghilangan
(9) Teknik calque (14) Teknik eksplisitasi
(10) Teknik peminjaman murni (15) Teknik penambahan32
(16) Teknik deskriptif
Pada tataran mikro teks, analisis penerjemahan TSu tersebut d atas ke bahasa Indonesia
membuktikan bahwa penerjemah menggunakan tiga metode penerjemahan, yaitu metode
penerjemahan harfiah, metode penerjemahan setia, dan metode penerjemahan semantis
dengan penekanan pada BSu. Secara visual, ketiga komponen strategi penerjemahan
dirangkum dalam Bagan 1.
29 Dalam “Glosarium Istilah Asing-Indonesia” (2006) digunakan padanan economy :: ekonomi dalam ilmu
Perhutanan.
30 Baker (1996) menggunakan istilah normalisation.
31 Vinay and Darbelnet (1995) menggunakan istilah borrowing sedangkan Baker (1992, h. 34−36) mengusulkan
strategi “translating using a loan word or loan word plus explanation” yang merupakan gabungan antara teknik
borrowing dan pemadanan bercatatan (Machali 2000, h. 72−73)
32 Machali (2000, h. 71−72) menggunakan istilah pemadanan berkonteks.
17
5. Kesimpulan
Tingkat akurasi yang tinggi dalam mentransfer konsep-konsep ilmu ekonomi dari bahasa
Inggris ke bahasa Indonesia antara lain dicapai dengan menerapkan strategi penerjemahan
yang tepat, khususnya pemilihan sejumlah teknik penerjemahan yang kemudian akan
mencerminkan metode penerjemahan, bahkan ideologi penerjemahan yang diadopsi.
Dengan kata lain, strategi penerjemahan mencerminkan berbagai upaya yang dilakukan
oleh penerjemah untuk mengatasi masalah transfer konsep-konsep bidang ilmu ekonomi.
Melalui makalah ini terbukti bahwa penerjemah, pada tataran makro teks, telah mengadopsi
dua ideologi dalam penerjemahan, yaitu ideologi foreignization dan ideologi domestication.
Fakta empiris itu dapat dipahami sebab di satu sisi penerjemah ingin mengutamakan makna
dan karakteristik TSu dalam TSa sehingga dipilih ideologi foreignization. Di sisi lain,
penerjemah juga ingin mengutamakan ciri BSa dalam TSa dengan cara mengadopsi ideologi
domestication. Meskipun demikian, penggunaan ideologi yang disebutkan pertama lebih
menonjol daripada ideologi yang kedua.
Bagan 1 Model Strategi Penerjemahan Teks Bidang Ekonomi dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia
STRATEGI PENERJEMAHAN
TEKS BIDANG EKONOMI
(PENERJEMAH)
ORIENTASI PADA BSa
▪ METODE
PENERJEMAHAN
KOMUNIKATIF
ORIENTASI PADA BSu
▪ METODE
PENERJEMAHAN
HARFIAH, SETIA, DAN
SEMANTIS
TEKNIK HARFIAH
TEKNIK PEMINJAMAN ALAMIAH
TEKNIK TRANSPOSISI
TEKNIK TRANSFERENSI
TEKNIK CALQUE
TEKNIK MODULASI
TEKNIK PENGHILANGAN
TEKNIK EKSPLISITASI
TEKNIK PENERJEMAHAN TSu
Fungsi Kultural, Pragmatis
Kognitif, dan Retorik (TSa)
TEKNIK PENAMBAHAN
TEKS SUMBER TEKS SASARAN
TEKNIK PEMINJAMAN MURNI
TEKNIK DESKRIPTIF
TEKNIK PENERJEMAHAN TSu
Fungsi Kultural, Pragmatis
Kognitif, dan Retorik (TSa)
18
Daftar Referensi
Astuti, W.D. (2007). Sikap bahasa mahasiswa dan dosen terhadap istilah terjemahan dan istilah
serapan dalam bidang Ekonomi hasil MABBIN” dalam Humaniora 19(1): 62-72.
Baker, M. (1992). In other words: A coursebook on translation. London: Routledge.
Baker, M. (1996). Corpus-based translation studies: the challenges that lie ahead. Terminology, LSP
and Translation, 175−186.
Courtemanche, E. (2005). Invisible hands and visionary narrators: Why the free market is like a novel.
Metaphors of economy: Critical studies (Vol. 25). Bracker, N., & Herbrechter, S. (Ed.).
Amsterdam: Editions Rodopi B.V.
De Lucca, J.L. (2001). Elseviers Economics Dictionary. Amsterdam: ELSEVIER SCIENCE B.V.
Fawcett, P. (1997). Translation and language: Linguistic theories explained. Manchester: St. Jerome.
Fawcett, P., & Munday, J. (2009). Ideology. Dalam Baker, M. (Ed.). Routledge encyclopedia of
translation studies (h. 137−140). London: Routledge.
Pusat Bahasa Depdiknas. (2006). Glosarium istilah asing-Indonesia. Jakarta.
Hatim, B., & Mason, I. (1990). Discourse and translator. London: Longman.
Hatim, B. (1997). Communication across cultures: Translation theory and contrastive text linguistics.
Exeter: University of Exeter Press.
Hatim, B. (2001). Teaching and researching translation. London: Longman.
Hoed, B. H. (2003, September). Ideologi dalam penerjemahan. Makalah yang disajikan dalam
Seminar Nasional Penerjemahan, Tawangmangu.
Hoed, B. H. (2006). Penerjemahan dan kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hussey, R. (1995). A dictionary of accounting. Oxford: Oxford University Press.
Isaacs, A., et al (1990). A concise dictionary of business English. Oxford: Oxford University Press.
Karnedi (2011). The translation of neologisms: Challenges for the creation of new terms in Indonesian
using a corpus-based approach. International Journal of Scientific and Engineering Research
(IJSER) 3(5).
Kelly, D. (2005). Handbook for translator trainers. Manchester: St. Jerome Publishing.
Lörscher, W. (2005). The translation process: Models and problems of its investigation. Meta 50(2),
597−608.
Machali, R. (2000). Pedoman bagi penerjemah. Jakarta: Grasindo.
Mankiw, N. G. (2003). Principles of economics, 3rd edition. USA: South-Western.
Molina, L. & Albir, A.H. (2002). Translation techniques revisited: A dynamic and functionalist
approach. Meta : Journal des Traducteurs / Meta: Translators' Journal 47(4): 498-512.
Munday, J. (2007). Translation and ideology: A textual approach. The Translator 13(2), 195−217.
Newmark, P. (1988). A textbook of translation. Hertforshire: Prentice Hall International (UK)
Limited.
Nord, C. (1997). Translation as a purposeful activity. Manchester: St. Jerome.
Olohan, M. (2004). Introducing corpora in translation studies, London: Routledge.
Rutherford, D. (1995). Routledge dictionary of economics. London: Routledge.
Travers, M. (2001). Doing qualitative research through case studies. London: Sage.
Vinay, J.-P., & Darbelnet, J. (1995). Comparative stylistics of French and English. Dalam Venutti, L.
(Ed.). The translation studies readers. (Sager, J. C., & Hamel, M.-J., Penerjemah). London:
Routledge.
White, M. (2003). Metaphor and economics: The case of growth. English for Specific Purposes 22(2),
131−151.
Williams, J., & Chesterman, A. (2002). The MAP: A beginner’s guide to doing research in translation
studies. Manchester: St. Jerome Publishing.
1
BAHASA INDONESIA DALAM BUKU AJAR
Oleh: Ramon Mohandas, Ph.D.
A. Pendahuluan
Kurikulum 2013 menyadari peran penting bahasa sebagai wahana untuk
mengekspresikan perasaan dan pemikiran secara estetis dan logis. Sejalan dengan peran
itu, pembelajaran Bahasa Indonesia disajikan dalam buku dengan berbasis teks, baik lisan
maupun tulis, dengan menempatkan Bahasa Indonesia sebagai wahana untuk
mengekspresikan perasaan dan pemikiran. Di dalam buku ajar dijelaskan berbagai cara
penyajian perasaan dan pemikiran dalam berbagai macam jenis teks.
Pemahaman terhadap jenis, kaidah, dan konteks suatu teks dibelajarkan sehingga
peserta didik menangkap makna yang terkandung dalam suatu teks serta menyajikan
perasaan dan pemikiran dalam bentuk teks yang sesuai.
Kurikulum 2013 menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi sikap,
keterampilan, dan pengetahuan. Sejalan dengan itu kemampuan berbahasa dituntut
melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang
jenis, kaidah, dan konteks suatu teks, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan suatu
teks tulis dan lisan baik terencana maupun spontan, dan bermuara pada pembentukan
sikap kesantunan dan ketepatan berbahasa serta sikap penghargaan terhadap Bahasa
Indonesia sebagai warisan budaya bangsa.
Buku ajar merupakan usaha minimal yang harus dilakukan peserta didik untuk
mencapai kompetensi yang diharapkan. Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam
Kurikulum 2013, peserta didik dibiasakan mencari sumber belajar lain. Guru berperan
meningkatkan dan menyesuaikan daya serap peserta didik dengan ketersediaan kegiatankegiatan
berbahasa peserta didik. Guru harus memperkaya dengan kreasi dalam bentuk
kegiatan-kegiatan lain yang sesuai dan relevan yang bersumber dari lingkungan sosial,
budaya, dan alam.
2
B. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks
Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks menerapkan prinsip-prinsip: (1) bahasa
dipandang sebagai teks, bukan hanya kumpulan kata atau kaidah kebahasaan, (2)
penggunaan bahasa tidak lain adalah proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan untuk
mengungkapkan makna, (3) bahasa bersifat fungsional yang tidak dapat dilepaskan dari
konteks yang mencerminkan ide, sikap, nilai, dan pandangan penggunanya, dan (4)
bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia. Setiap teks
memiliki struktur tersendiri yang merupakan cerminan struktur berpikir. Semakin banyak
jenis teks yang dikuasai siswa, semakin banyak struktur berpikir yang dapat
digunakannya dalam kehidupan. Dengan demikian peserta didik dapat mengonstruksi
ilmu pengetahuan melalui kemampuan mengobservasi (observing), menanya
(questioning), mengasosiasikan (associating), menganalisis (analysing), dan menyajikan
(presenting) hasil analisis secara memadai.
Dengan kata lain, dalam pembelajaran bahasa berbasis teks, bahasa Indonesia
diajarkan bukan sekadar sebagai pengetahuan bahasa, melainkan sebagai teks yang
mengemban fungsi untuk menjadi sumber aktualisasi diri penggunanya pada konteks
sosial, budaya, dan akademis. Teks dimaknai sebagai satuan bahasa yang
mengungkapkan makna secara kontekstual.
Buku ajar dalam Kurikulum 2013 menyajikan berbagai jenis teks, yang terdiri atas
teks sastra dan nonsastra. Teks nonsastra dapat berupa teks laporan dan teks prosedural
serta teks transaksional dan teks ekspositori. Sementara teks sastra dapat berupa teks
cerita naratif dan teks cerita nonnaratif. Jenis-jenis teks tersebut dapat dibedakan atas
dasar tujuan (fungsi sosial teks), struktur teks (tata organisasi), dan ciri-ciri kebahasaan
teks-teks tersebut. Sesuai dengan prinsip tersebut, teks yang berbeda tentu memiliki
fungsi yang berbeda, struktur teks yang berbeda, dan ciri-ciri kebahasaan yang berbeda.
Dengan demikian, pembelajaran bahasa berbasis teks merupakan pembelajaran yang
memungkinkan siswa untuk menguasai dan menggunakan jenis-jenis teks tersebut di
masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, siswa diharapkan selalu menggunakan jenis teks yang
sesuai dengan tujuan kegiatan yang dilakukannya. Dengan demikian, jenis-jenis teks
3
tersebut diproduksi dalam konteks sosial yang melatarbelakangi kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh siswa, baik konteks situasi maupun konteks budaya.
Buku ajar dirancang berbasis aktivitas, artinya siswa aktif melakukan kegiatan
belajar melalui kegiatan-kegiatan, tugas-tugas, baik secara mandiri, pasangan, maupun
kelompok. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan buku ajar sesuai
Kurikulum 2013, peserta didik akan menempuh tahapan-tahapan: (1) pembangunan
konteks, (2) pemodelan teks, (3) pembuatan teks secara bersama-sama, dan (4)
pembuatan teks secara mandiri. Teks buatan siswa diharapkan dapat dipublikasikan
melalui forum komunikasi atau media publikasi yang tersedia di sekolah.
Pembangunan konteks dimaksudkan sebagai langkah awal yang dilakukan oleh guru
bersama siswa untuk mengarahkan pemikiran ke dalam pokok persoalan. Pemodelan
adalah tahap yang berisi pembahasan teks yang disajikan sebagai model pembelajaran.
Pembangunan teks secara bersama-sama, semua siswa. Tahap kegiatan berikutnya adalah
kegiatan belajar mandiri. Pada tahap ini, siswa diharapkan dapat mengaktualisasikan diri
dengan menggunakan dan mengkreasikan teks sesuai dengan tujuan berkomunikasinya.
Purwo (1984) membagi dua pola penataan materi pembelajaran bahasa, yaitu
pembelajaran dengan fokus utamanya pada bentuk (form) bahasa dan pembelajaran
dengan fokus utama pada fungsi (function) bahasa. Belajar bahasa lebih dari sekadar
mempersoalkan kegramatikalan karena yang lebih penting adalah kecocokan penggunaan
suatu tuturan pada konteks sosiokulturalnya. Pembelajaran dengan penekanan pada
bentuk bahasa telah berlangsung cukup lama, yaitu sepanjang periode 1880 s.d. 1970-an,
sedangkan pembelajaran dengan penekanan pada fungsi bahasa telah berlangsung mulai
1980-an.
Purwo (1984) lebih lanjut menyatakan bahwa secara metodologis, pembelajaran
bahasa dengan penekanan pada bentuk telah menjadi bahan utama bagi pendekatan
pembelajaran bahasa melalui: Metode Penerjemahan Tata Bahasa (Grammar
Translation Method), Metode Langsung (Direct Method), Metode Audiolingual
(Audiolingual Method), Teori Pembelajaran Kognitif (Cognitive Learning Theory), dan
Pendekatan Komunikatif (Communicative Approach). Namun, perbedaan di antara
keempat metode tersebut terletak pada prosedur penyajian materinya. Pada pendekatan
Metode Penerjemahan Tata Bahasa dan Teori Pembelajaran Kognitif, penyajian materi
4
didahului dengan materi tata bahasanya, lalu diikuti struktur bahasanya (induktif), pada
pendekatan Metode Langsung dan Metode Audiolingual yang didahulukan adalah
struktur bahasanya, kemudian diikuti uraian tata bahasanya (deduktif). Adapun
penekanan pada materi penguasaan penggunaan bahasa menjadi pusat perhatian
pembelajaran bahasa melalui metode Pendekatan Komunikatif atau yang sering disebut
dengan Metode Pendekatan Fungsional/Nosional (Functional/Notional Approach).
Di dalam Kurikulum 2013, bahasa Indonesia menekankan pembelajaran berbasis
teks. Satuan bahasa yang mengandung makna, pikiran, dan gagasan lengkap adalah teks.
Teks tidak selalu berwujud bahasa tulis. Teks dapat berwujud teks tulis maupun teks lisan
(bahkan dalam multimodal: perpaduan teks lisan dan tulis serta gambar/animasi/film).
Teks itu sendiri memiliki dua unsur utama yang harus dimiliki. Pertama adalah konteks
situasi penggunaan bahasa yang di dalamnya ada register yang melatarbelakangi lahirnya
teks, yaitu adanya sesuatu pesan, pikiran, gagasan, atau ide yang hendak disampaikan
(field), sasaran atau kepada siapa pesan, pikiran, gagasan, atau ide itu disampaikan
(tenor), dan dalam format bahasa yang bagaimana pesan, pikiran, gagasan, atau ide itu
dikemas (mode). Unsur kedua adalah konteks situasi, yang di dalamnya ada konteks
sosial dan konteks budaya yang menjadi tempat teks tersebut diproduksi.
Terdapat perbedaan antara satu jenis teks tertentu dan jenis teks lain. Perbedaan
dapat terjadi misalnya pada struktur teks itu sendiri. Struktur teks membentuk struktur
berpikir sehingga di setiap penguasaan jenis teks tertentu, siswa akan memiliki
kemampuan berpikir sesuai dengan struktur teks yang dikuasainya. Dengan berbagai
macam teks yang sudah dikuasainya, siswa akan mampu menguasai berbagai struktur
berpikir. Bahkan, satu topik tertentu dapat disajikan dalam jenis teks yang berbeda dan
tentunya dengan struktur berpikir yang berbeda pula.
Dengan memperhatikan jenis-jenis teks itu, serta adanya unsur utama yang harus
dimiliki sebuah teks, salah satunya adalah mode (sarana bahasa yang digunakan untuk
mengemas pesan, pikiran, gagasan, dan ide yang disampaikan melalui teks) melalui
pembelajaran bahasa berbasis teks, materi sastra dan materi kebahasaan dapat disajikan.
5
C. Strategi Pembelajaran dalam Buku Ajar
Secara prinsip, kegiatan pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi
kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa,
serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kegiatan
pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta didik menjadi
kompetensi yang diharapkan.
Lebih lanjut, strategi pembelajaran harus diarahkan untuk memfasilitasi
pencapaian kompetensi yang telah dirancang dalam dokumen kurikulum agar setiap
individu mampu menjadi pebelajar mandiri sepanjang hayat, dan yang pada gilirannya
mereka menjadi komponen penting untuk mewujudkan masyarakat belajar. Kualitas lain
yang dikembangkan kurikulum dan harus terealisasikan dalam proses pembelajaran
antara lain kreativitas, kemandirian, kerja sama, solidaritas, kepemimpinan, empati,
toleransi, dan kecakapan hidup peserta didik guna membentuk watak serta meningkatkan
peradaban dan martabat bangsa.
Untuk mencapai kualitas yang telah dirancang dalam dokumen kurikulum,
kegiatan pembelajaran perlu menggunakan prinsip yang: (1) berpusat pada peserta didik,
(2) mengembangkan kreativitas peserta didik, (3) menciptakan kondisi menyenangkan
dan menantang, (4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan (5)
menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan
metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna.
Di dalam pembelajaran, peserta didik didorong untuk menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan yang sudah
ada dalam ingatannya, dan melakukan pengembangan menjadi informasi atau
kemampuan yang sesuai dengan lingkungan dan jaman tempat dan waktu ia hidup.
Kurikulum 2013 menganut pandangan dasar bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari guru ke peserta didik. Peserta didik adalah subjek yang memiliki
kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan
pengetahuan. Untuk itu pembelajaran harus berkenaan dengan kesempatan yang
diberikan kepada peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam proses
6
berpikirnya. Agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, peserta
didik perlu didorong untuk bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu
untuk dirinya, dan berupaya keras mewujudkan ide-idenya.
Guru memberikan kemudahan untuk proses ini dengan mengembangkan suasana
belajar yang memberi kesempatan peserta didik untuk menemukan, menerapkan ide-ide
mereka sendiri, menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri
untuk belajar. Guru mengembangkan kesempatan belajar kepada peserta didik untuk
meniti anak tangga yang membawa peserta didik ke pemahaman yang lebih tinggi, yang
semula dilakukan dengan bantuan guru tetapi semakin lama semakin mandiri. Bagi
peserta didik, pembelajaran harus bergeser dari “diberi tahu” menjadi “aktif mencari
tahu”.
Di dalam pembelajaran, peserta didik mengkonstruksi pengetahuan bagi dirinya.
Bagi peserta didik, pengetahuan yang dimilikinya bersifat dinamis, berkembang dari
sederhana menuju kompleks, dari ruang lingkup dirinya dan di sekitarnya menuju ruang
lingkup yang lebih luas, dan dari yang bersifat konkrit menuju abstrak. Sebagai manusia
yang sedang berkembang, peserta didik telah, sedang, dan/atau akan mengalami empat
tahap perkembangan intelektual, yakni sensori motor, pra-operasional, operasional
konkrit, dan operasional formal. Secara umum jenjang pertama terjadi sebelum seseorang
memasuki usia sekolah, jejang kedua dan ketiga dimulai ketika seseorang menjadi peserta
didik di jenjang pendidikan dasar, sedangkan jenjang keempat dimulai sejak tahun kelima
dan keenam sekolah dasar.
Proses pembelajaran terjadi secara internal pada diri peserta didik. Proses tersebut
mungkin saja terjadi akibat stimulus luar yang diberikan guru, teman, atau lingkungan.
Proses tersebut mungkin pula terjadi akibat stimulus dalam diri peserta didik yang
terutama disebabkan oleh rasa ingin tahu. Proses pembelajaran dapat pula terjadi sebagai
gabungan stimulus luar dan dalam. Dalam proses pembelajaran, guru perlu
mengembangkan kedua stimulus pada diri setiap peserta didik.
Di dalam pembelajaran, peserta didik difasilitasi untuk terlibat secara aktif
mengembangkan potensi dirinya menjadi kompetensi. Guru menyediakan pengalaman
belajar bagi peserta didik untuk melakukan berbagai kegiatan yang memungkinkan
mereka mengembangkan potensi yang mereka miliki menjadi kompetensi yang
7
ditetapkan dalam dokumen kurikulum atau lebih. Pengalaman belajar tersebut semakin
lama semakin meningkat menjadi kebiasaan belajar mandiri dan ajeg sebagai salah satu
dasar untuk belajar sepanjang hayat.
Dalam suatu kegiatan belajar dapat terjadi pengembangan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan dalam kombinasi dan penekanan yang bervariasi. Setiap kegiatan belajar
memiliki kombinasi dan penekanan yang berbeda dari kegiatan belajar lain tergantung
dari sifat muatan yang dipelajari. Meskipun demikian, pengetahuan selalu menjadi unsur
penggerak untuk pengembangan kemampuan lain.
Kurikulum 2013 mengembangkan dua modus proses pembelajaran, yaitu proses
pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung. Proses pembelajaran
langsung adalah proses pendidikan di mana peserta didik mengembangkan pengetahuan,
kemampuan berpikir, dan keterampilan melalui interaksi langsung dengan sumber belajar
yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran. Dalam
pembelajaran langsung tersebut peserta didik melakukan kegiatan belajar mengamati,
menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan
mengomunikasikan apa yang sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis. Proses
pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung atau yang
disebut dengan instructional effect.
Pembelajaran tidak langsung adalah proses pendidikan yang terjadi selama proses
pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus. Pembelajaran tidak
langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap. Berbeda dengan pengetahuan
tentang nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses pembelajaran langsung oleh mata
pelajaran tertentu, pengembangan sikap sebagai proses pengembangan moral dan
perilaku dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan yang terjadi di
kelas, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran Kurikulum
2013, semua kegiatan yang terjadi selama belajar di sekolah dan di luar dalam kegiatan
kokurikuler dan ekstrakurikuler terjadi proses pembelajaran untuk mengembangkan
moral dan perilaku yang terkait dengan sikap.
Baik pembelajaran langsung maupun pembelajaran tidak langsung terjadi secara
terintegrasi dan tidak terpisah. Pembelajaran langsung berkenaan dengan pembelajaran
yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-3 dan KI-4. Keduanya dikembangkan
8
secara bersamaan dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi wahana untuk
mengembangkan KD pada KI-1 dan KI-2. Pembelajaran tidak langsung berkenaan
dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-1 dan KI-2.
Proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu:
a. mengamati;
b. menanya;
c. mengumpulkan informasi;
d. mengasosiasi; dan
e. mengomunikasikan.
Kelima pembelajaran pokok tersebut dapat dirinci dalam berbagai kegiatan
belajar sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:
Tabel 1: Keterkaitan antara Langkah Pembelajaran dengan Kegiatan Belajar dan
Maknanya
LANGKAH
PEMBELAJARAN
KEGIATAN BELAJAR KOMPETENSI YANG
DIKEMBANGKAN
Mengamati Membaca, mendengar,
menyimak, melihat (tanpa
atau dengan alat)
Melatih kesungguhan,
ketelitian, mencari
informasi
Menanya Mengajukan pertanyaan
tentang informasi yang tidak
dipahami dari apa yang
diamati atau pertanyaan untuk
mendapatkan informasi
tambahan tentang apa yang
diamati (dimulai dari
pertanyaan faktual sampai ke
pertanyaan yang bersifat
hipotetik)
Mengembangkan
kreativitas, rasa ingin tahu,
kemampuan merumuskan
pertanyaan untuk
membentuk pikiran kritis
yang perlu untuk hidup
cerdas dan belajar
sepanjang hayat
Mengumpulkan
informasi/eksperimen
- melakukan eksperimen
- membaca sumber lain
Mengembangkan sikap
teliti, jujur, sopan,
9
LANGKAH
PEMBELAJARAN
KEGIATAN BELAJAR KOMPETENSI YANG
DIKEMBANGKAN
selain buku teks
- mengamati objek/kejadian
- beraktivitas
- wawancara dengan nara
sumber
menghargai pendapat
orang lain, kemampuan
berkomunikasi,
menerapkan kemampuan
mengumpulkan informasi
melalui berbagai cara yang
dipelajari,
mengembangkan
kebiasaan belajar dan
belajar sepanjang hayat
Mengasosiasikan/
mengolah informasi
mengolah informasi yang
sudah dikumpulkan baik
terbatas dari hasil kegiatan
mengumpulkan/eksperimen
mau pun hasil dari kegiatan
mengamati dan kegiatan
mengumpulkan informasi
- Pengolahan informasi yang
dikumpulkan dari yang
bersifat menambah keluasan
dan kedalaman sampai kepada
pengolahan informasi yang
bersifat mencari solusi dari
berbagai sumber yang
memiliki pendapat yang
berbeda sampai kepada yang
bertentangan
Mengembangkan sikap
jujur, teliti, disiplin, taat
aturan, kerja keras,
kemampuan menerapkan
prosedur dan kemampuan
berpikir induktif serta
deduktif dalam
menyimpulkan
Mengomunikasikan Menyampaikan hasil
pengamatan, kesimpulan
Mengembangkan sikap
jujur, teliti, toleransi,
10
LANGKAH
PEMBELAJARAN
KEGIATAN BELAJAR KOMPETENSI YANG
DIKEMBANGKAN
berdasarkan hasil analisis
secara lisan, tertulis, atau
media lainnya
kemampuan berpikir
sistematis,
mengungkapkan pendapat
dengan singkat dan jelas,
dan mengembangkan
kemampuan berbahasa
yang baik dan benar
Strategi pembelajaran dalam buku ajar sesuai Kurikulum 2013 menggunakan
prinsip-prinsip dan langkah-langkah sebagaimana terurai di atas. Pada praktiknya
pembelajaran untuk buku bahasa Indonesia wajib mengutamakan pembelajaran
berkelompok, berpasangan, dan mandiri. Pada prinsipnya, pembelajaran di kelas hanya
menyampaikan pengetahuan pokok dan memberikan dasar-dasar untuk pendalaman
materi dengan melaksanakan tugas kelompok, berpasangan, dan mandiri. Untuk
mendalami materi pembelajaran teks, guru perlu memanfaatkan sebanyak mungkin
sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekitar sekolah, sesuai dengan ketersediaan
sumber belajar. Tugas tambahan membaca buku perlu diberikan kepada setiap siswa.
Selama proses pembelajaran teks berlangsung, dengan pendekatan ilmiah yang
diterapkan, diupayakan agar siswa gemar belajar. Buku ajar Kurikulum 2013 mendorong
digunakannya berbagai sumber belajar. Sumber belajar merupakan rujukan, objek
dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak
dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.
D. Penilaian dalam Buku Ajar
Di dalam silabus telah ditentukan jenis penilaian yang akan dilakukan. Penilaian
pencapaian KD peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan
dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan
kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk,
penggunaan portofolio, dan penilaian diri. Oleh karena pada setiap pembelajaran peserta
11
didik didorong untuk menghasilkan karya, maka penyajian portofolio merupakan cara
penilaian yang harus dilakukan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan
menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam
pengambilan keputusan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang penilaian adalah sebagai berikut:
1. Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensi, yaitu KD-KD pada KI-3
dan KI-4;
2. Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan
peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan
posisi seseorang terhadap kelompoknya;
3. Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan
dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan
KD yang telah dikuasai dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan peserta
didik;
4. Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut berupa
perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang
pencapaian kompetensinya di bawah ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta
didik yang telah memenuhi ketuntasan;
5. Sistem penilaian harus disesuaikan dengan pengalaman belajar yang ditempuh dalam
proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas
observasi lapangan, maka evaluasi harus diberikan baik pada proses, misalnya teknik
wawancara, maupun produk berupa hasil melakukan observasi lapangan.
Terkait pembelajaran siswa dalam proses belajar-mengajar bahasa Indonesia,
penilaian dilakukan antara lain dengan:
a. Penilaian terhadap Latihan-Latihan yang Dilakukan oleh Siswa
Latihan-latihan yang dikerjakan siswa pada pembelajaran setiap jenis teks yang terkait
dengan keterampilan yang harus dikuasai siswa (sesuai dengan konteks teks tersebut)
12
dinilai sebagai tugas nontes. Penilaian dilakukan terhadap kemampuan reseptif dan
produktif. Lembar penilaian setiap jenis teks disertakan dalam buku siswa dan buku guru.
Lembar penilaian perlu dipelajari siswa agar siswa mengetahui tuntutan akademik berupa
indikator dan penskoran tiap-tiap aspek penguasaan jenis teks (isi, struktur teks, kosakata,
kalimat, dan mekanik; diadopsi dari Teaching ESL Composition: Principles and
Techniques; Hughey, Jane B, et al., 1983). Penilaian ini disebut sistem penskoran analitis
(analytical scoring system) karena penilaian dilakukan secara terperinci untuk setiap
aspek dengan rentangan angka sesuai dengan pembobotan skor untuk setiap aspek
tersebut. Penilaian terperinci ini dilakukan selama proses pembelajaran suatu jenis teks
berlangsung agar siswa mengetahui hasil belajar tiap aspek. Ketika melakukan perbaikan
teks yang disusunnya, siswa dapat memusatkan perhatiannya terhadap indikator yang
masih belum maksimal.
Penilaian terhadap setiap jenis teks dalam tugas mandiri dapat dilakukan oleh siswa
secara berpasangan (peer editing) dengan memberikan lingkaran/garis bawah pada
indikator yang mencerminkan aspek yang dimaksud. Selain itu, komentar juga dituliskan
pada kolom yang disediakan untuk setiap aspek. Berikutnya, siswa memberikan komentar
umum terhadap karya temannya dalam bentuk pernyataan tentang kelebihan dan
kekurangan karya teman pada bagian bawah dari paparan skor dan indikator. Kegiatan ini
mendidik siswa untuk menghargai karya teman dan memberikan dukungan bagi upaya
perbaikan karya tersebut. Guru harus mengecek penilaian berpasangan ini untuk
mengetahui ihwal pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam setiap
pembelajaran jenis teks. Hasil belajar berpasangan dalam hal kualitas proses dan hasil
belajar serta kerja sama siswa menjadi perhatian utama penilaian.
b. Penilaian Formatif dan Sumatif
Penilaian tengah semester dapat dilakukan setelah siswa mempelajari beberapa jenis teks.
Penilaian sumatif pada akhir semester I dan II dilakukan setelah siswa mempelajari
seluruh jenis teks dalam buku itu. Bentuk tes ditentukan oleh guru
13
c. Penilaian Kemajuan Belajar Siswa dengan Portofolio
Portofolio dilakukan berdasarkan fungsi pedagogis dan pelaporan.
1) Fungsi pedagogis portofolio (sebagai metode) adalah untuk
a. mempromosikan pentingnya keterampilan dalam pembelajaran seumur hidup;
b. membangkitkan kepedulian meta-linguistik dan metakognitif;
c. memperbaiki keterampilan penilaian-diri (self-asessment) terkait kebahasaan;
d. memotivasi siswa bertanggung jawab terhadap pembelajaran, kemampuan
mengatur, merefleksikan, dan mengevaluasi tujuan pembelajarannya (learner
autonomy); dan
e. memberikan pernyataan penilaian-diri sebagai alat persiapan silabus.
2) Fungsi pelaporan portofolio (sebagai bukti karya nyata dan alat penilaian) adalah
untuk
a. membuktikan penguasaan bahasa;
b. membuktikan pembelajaran yang sudah atau sedang berlangsung;
c. menunjukkan rekaman antarbudaya dan pengalaman belajar bahasa;
d. menunjukkan hubungan eksplisit antara tujuan kurikulum dan keterampilan
komunikatif dengan standar penguasaan eksternal yang dinyatakan dalam
skema UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) atau skema standar lain,
seperti Common European Framework of Reference (CEFR) dan Programme
for International Student Assessment (PISA).
E. Penutup
Buku ajar dalam Kurikulum 2013, khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia
dirancang berbasis teks. Pendekatan pembelajarannya berbasis aktivitas dengan langkahlangkah
pembelajaran sesuai dengan pendekatan ilmiah, dan penilaian pembelajarannya
menggunakan penilaian autentik. Semoga dapat meningkatkan kreativitas anak bangsa.
14
Daftar Pustaka
Cleland, B. & Evans, R. 1984. Learning English through General Science. Melbourne:
Longman Cheshire.
Halliday, M.A.K. 1985. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward
Arnold.
Halliday, M.A.K. & Hasan, R. 1985. Language, Context, and Text: Aspects of Language
in a Social-Semiotic Perspective. Oxford: Oxford University Press.
Halliday, M.A.K. & Matthiessen, C.M.I.M. 2004. An Introduction to Functional
Grammar (3rd ed.). London: Hodder Education.
Indradi, Agustinus. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia. Pedoman Praktis Penyusunan
Karangan Ilmiah. Malang: Dioma.
Jordan, R.R. 2003. Academic Writing Course. Harlow: Pearson Education Limited.
Luecke, L. 2010. Best Practice Workplace Negotiations. Florida, NY: American
Management Association.
Martin, J.R. 1992. English Text: System and Structure. Amsterdam: John Benjamins.
Martin, J.R. & Rose, D. 2003. Working with Discourse. London & New York:
Continuum.
_______. 2008. Genre Relations: Mapping Culture. London: Equinox.
Matthiessen, C.M.I.M., Teruya, K., & Lam, M. 2010. Key Terms in Systemic Functional
Linguistics.London:Continuum.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A tahun
2013 tentang Implementasi Kurikulum
Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak
Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.
Pusat Bahasa (sekarang Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa). 2001. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua. Jakarta: Pusat Bahasa.
Rakhmat, J. 1999. Retorika Modern: Pendekatan Praktis. Bandung: Reaja Rosdakarya.
15
Santosa, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial: Pandangan terhadap Bahasa. Surabaya:
Pustaka Eureka & Jawa Pos.
Sumarlam, dkk. 2003. Teori dan praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
Tarigan, H. G. 1986. Menyimak sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
_______. 2008. Menulis sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
The British Council. 1986. Reading and Thinking in English, Vol. 1. Oxford: Oxford
University Press.
_______. 1987. Reading and Thinking in English, Vol. 2. Oxford: Oxford University
Press.
_______. 1987. Reading and Thinking in English, Vol.3. Oxford: Oxford University
Press.
Wiratno, T. 2003. Kiat Menulis Karya Ilmiah dalam Bahasa Inggris. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 1
Subtema: 1
Konsep Bahasa dan Implikasi Metodologi Pengajarannya
dalam Kurikulum 2013*
Riyadi Santosa
FSSR, UNS
Abstrak
Makalah ini menjelaskan bahwa kurikulum 2013 memerlukan
konsep kebahasaan dan metodologi pengajarannya khusus.
Kurikulum Bahasa Indonesia 2013 ini berusaha keras untuk
merealisasikan tiga aspek, yaitu: pengetahuan, ketrampilan dan
sikap. Untuk merealisasikan ketiga aspek ini secara simultan,
pemerintah telah merancang struktur kurikulum bahasa 2013 ini
terdiri dari Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD): A,
B, C, dan D. KI dan KD: A dan B merepresentasikan nilai-nilai
keagamaan dan sosial-budaya yang kita ingin capai. KI C dan D
berisi target pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang ingin
dicapai melalui teks-teks tertentu. Badan Bahasa yang diberi tugas
untuk merealisasikan kurikulum Bahasa Indonesia 2013 ini
menggunakan pendekatan kebahasaan berbasis ‘jenis teks atau
genre’. Konsep kebahasaan seperti ini mempunyai implikasi
metodologis tertentu. Metode pengajarannya memerlukan empat
tahap sebagai berikut: membangun konteks, pemodelan,
membangun teks bersama-sama, membangun teks mandiri.
Dengan tahapan seperti ini, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap
akan terbangun dalam proses belajar mengajar di kelas.
Kata kunci: KI, KD, konsep bahasa dan pengajaran
berbasis jenis teks atau genre,
1. Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui tingkat literasi anak didik kita sampai
saat ini masih pada level 3 sementara negara tetangga sudah dapat
mencapai 4, 5 bahkan 6 (lihat hasil PISA 2009). Sementara itu, survey
literasi PIRLS dan TIMSS menempatkan 95% anak Indonesia hanya pada
posisi bawah sampai menengah. Ini menunjukkan bahwa tingkat literasi
anak didik kita masih terlalu rendah. Hal ini tentu saja tidak kondusif
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 2
untuk mengembangkan sumber daya manusia yang dapat bersaing di
kehidupan global. Seperti negara-negara lain di dunia, misalnya cina,
(Xiaoming, 2011) pemerintah perlu membenahi kurikulum KTSP 2006
yang masih belum dapat meningkatkan level literasi (pengetahuan,
ketrampilan dan sikap) bangsa kita.
Kurikulum 2013 Bahasa Indonesia mempunyai struktur yang
mirip dengan struktur kurikulum negara-negara di dunia, yang diabngun
melalui tiga tujuan utama ialah penguasaan pengetahuan, ketrampilan dan
pengembangan sikap (lihat Xiaoming 2011). Kurikulum 2013 ini
mempunyai struktur Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD)
yang dibangun melalui konsep kurikulum yang holistik. Tingkat
keholistikan kurikulum ini dapat dilihat dari konsep KI dan KD yang
merepresentasikan nilai-nilai keagamaan, sosial-budaya, dengan
pengetahuan, ketrampilan berbahasa serta sikap yang dibentuk melalui KI
dan KD tersebut, konsep kebahasaan yang digunakan sebagai pendekatan
serta implikasi metodologi pembelajarannya (Mahsun, 2013).
Keholistikan kurikulum ini dapat dilihat melalui KI, KD, dan
indikatornya yang memberikan akses anak didik untuk belajar secara
holistik. Anak didik belajar memahami konsep (kognitif), berlatih
menggunakan bahasanya secara tepat (ketrampilan) serta menentukan
sikapnya terhadap lingkungannya secara simultan melalui berbagai jenis
teks (proses sosial atau genre) yang dipelajari. Dengan kurikulum ini anak
didik tidak hanya belajar secara aktif mengenai lingkunagn (kognitif) dan
bagaimana (ketrampilan) cara berproses sosial dengan lingkungan dengan
tepat. Akan tetapi, mereka juga akan belajar bersikap terhadap
lingkungannya melalui berbagai jenis teks (genre) serta indikatornya atau
registernya (sistem kebahasaanya) yang sesuai dengan konteksnya (lihat
juga Moskver, 2008).
Untuk merealisasikan KI dan KD dengan berbagai genre dan
registernya yang sesuai dengan konteksnya, kurikulum ini dikemas di
dalam metode pembelajaran berbasis jenis teks atau genre (lihat Burns,
2003), yang melibatkan siswa melakukan ‘dekonstruksi dan rekonstruksi
secara integratif’. Metode pembelajaran ini meliputi empat tahap, yaitu:
membangun konteks (MK), pemodelan (P), membangun teks bersamasama
(MTB), dan membangun teks mandiri (MTM) (MEDSP, 1985).
Dengan metode pembelajaran ini, mengajak anak untuk mendekonstruk
teks dengan properti linguistik, sosial dan budayanya. Kemudian mereka
diajak untuk merekonstruksi properti linguistik, sosial dan budayanya
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 3
bersama-sama dengan teman dan gurunya. Setelah mereka menguasai,
mereka akan menggunakan jenis teks dan propertinya untuk bersikap
terhadap lingkungan hidup, sosial dan budayanya secara mandiri
(Santosa, 1995). Dengan demikian, siswa diperkenalkan segala sisi dunia
melalui teks dan bertindak dan bersikap terhadap sebagala isi dunia
dengan teks yang baru. Oleh karena itu, pendekatan ini dalam berbagai
hal juga akan menempatkan anak didik sebagai manusia seutuhnya,
‘humanized curriculu’ (Al-Amri, 2010). Dengan demikian, kurikulum ini
diharapkan dapat meningkat tingkat literasi anak didik dan mereka dapat
berkomunikasi dengan lingkungannya secara tepat. Akan tetapi,
kurikulum ini memerlukan assessment yang bersifat holistik pula.
Perangkat penilaian berbasis jenis teks atau genre, yang berupa profile
yang mengekspresikan pengetahuan, ketrampilan, serta sikap anak didik
setelah belajar (lihat Lee, 2012).
Kurikulum Bahasa Indonesia 2013 ini merupakan kurikulum
dengan pendekatan baru yang mempunyai implikasi metodologi
pengajaran baru, serta sistem penilaian dan sistem administrasi yang baru
pula. Pada tahap-tahap awal akan mempunyai gap antara konsep dan
realitas di lapangan (lihat Albright, Knezevic, and Farrel, 2013). Oleh
karena itu, diskusi, penataran, penyegaran, serta simulasi hendaknya
dikerjakan secara terus menerus.
2. Bahasa sebagai Teks
Di dalam kurikulum ini konsep bahasa yang digunakan
merealisasikan KI dan KD-nya adalah bahasa sebagai teks. Bahasa yang
kita gunakan di dalam kehidupan sehari-hari selalu hadir dalam bentuk
teks. Di dalam percakapan sehari-hari, di kantor, di pasar, di dalam media
cetak, audio, maupun video, bahasa yang digunakan untuk mencapai
tujuan sosialnya selalu dalam bentuk teks (lisan maupun tulis). Oleh
karena itu, Halliday ( dalam Halliday dan Hasan, 1985) mengatakan
bahwa teks adalah bahasa yang sedang menyelesaikan tugas atau fungsi
sosialnya di dalam suatu konteks sosial tertentu.
Teks, dalam konsep ini, selalu hadir dalam suatu konteks situasi
dan konteks budaya tertentu. Oleh karena itu, teks juga merepresentasikan
nilai-nilai kultural serta proses sosial tertentu (Martin 1992; Santosa,
2003). Pada dasarnya, nilai dan norma kultural di dalam suatu masyarakat
direalisasikan melalui proses sosial atau genre. Setiap proses sosial ini
membawa nilai, norma, serta tujuan proses sosial dengan tahapannya.
Oleh karena itu, nilai, norma, tujuan sosial, tahapan di dalam genre akan
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 4
direalisasikan ke dalam teks dengan propertinya (ciri-ciri kebahasaan)
termasuk struktur teks dan teksturnya (Sturat-Smith, 2007). Dengan
demikian, setiap proses sosial atau genre yang berbeda direalisasikan ke
dalam teks yang berbeda. Di dalam pengertian seperti ini, genre sama
dengan jenis teks (Moessner, 2001; Santosa, 2003).
Konsep bahasa sebagai teks ini menunjukkan bahwa teks tidak
sekedar pengembangan struktur gramatikal. Teks bukan merupakan
kumpulan kalimat-kalimat. Akan tetapi, teks merupakan realisasi sistem
nilai, norma sosial, proses sosial dengan tujuan sosialnya. Oleh karena itu,
teks mempunyai sistem tersendiri yang berupa semantik wacana, yang
mengandung nilai dan norma sosial-budaya. Oleh karena itu, teks tidak
dapat diukur dengan jumlah kalimat atau banyak sedikit kata yang
dimiliki. Teks, secara sistemik, adalah bahasa yang sedang melaksanakan
tugas untuk mencapai tujuan sosialnya di dalam konteks situasi dan
budaya tertentu. Oleh karena itu teks harus dipahami sebagi proses dan
produk (Halliday & Hasan 1985, Knapp & Watkins, 2005). Sebagai
proses teks harus dipandang sebagai proses negosiasi antara aspek register
medan, pelibat dan sarana sehingga menghasilkan bahasa yang digunakan
untuk mencapai tujuan sosialnya. Sebagai produk, teks merupakan hasil
dari konfigurasi kontelstual anata meda, pelibat, dan sarana sehingga
menghasilkan teks yang dapat direkam dan didekonstruk. Jika
digambarkan, maka konsep bahasa di dalam kurikulum 2013 ini seperti
yang terdapat di dalam Gambar 1.
Gambar 1: Bahasa, teks dan konteks
Nilai dan norma konteks budaya
budaya
Proses sosial konteks situasi
/ genre
Register: Bahasa sebagai teks
Uniti: struktur teks dan tekstur
(semantik wacana, gramatika,
leksis, fonologi/ grafologi
(diadaptasi dari Martin 1992)
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 5
3. Konsep Genre
Banyak definisi mengenai genre, tetapi terdapat tiga tradisi studi
genre yang kuat di dunia ini, yaitu ESP (English for Specific Purposes),
Sydney School, dan NR ( New Rhethoric) (lihat Hyon, 1996; Lewin,
Fine, and Lynne (2001). Masing-masing mempunyai fokus yang berbeda.
Misalnya ESP memfokuskan pada genre yang dihasilkan dari sub-kultur
yang menghasilkan genre makro, sedangkan Sydney School
mengembangkan genre untuk pendidikan yang berasal dari superordinate
culture, yang menghasilkan genre mikro (lihat Santosa 2010).
Sementara itu, NR lebih memfokuskan studi etnografiknya di dalam
mempelajari genre. Untuk pengembangan kurikulum 2013, kita
mengadopsi genre yang telah dikembangkan di Sydney Schools.
Genre adalah proses sosial yang berorientasi pada tujuan itu. Dan
tujuan sosial itu dicapai secara bertahap (Martin, 1992). Maka genre
bukan bahasa, tetapi lebih pada semacam aturan sosial yang berupa
tahapan prosedural yang secara konvensional digunakan untuk mencapai
tujuan sosial tertentu lihat juga, (Taboada, 2011). Karena setiap genre
mempunyai nilai, norma, dan tujuan tertentu, maka setiap genre
menghasilkan teks tertentu. Dalam pengertian ini genre seolah-olah sama
dengan jenis teks (lihat juga Lee, 2001).
Genre terdiri dari genre mikro dan genre makro (Martin, 2006).
Genre mikro berasal dari kristalisasi proses sosial di dalam kebudayaan
superordinat sehingga genre ini bersifat generik. Genre makro berasal dari
kebudayaan sub-ordinat dengan demikian dekat dengan konteks situasi,
dan oleh sebab itu bersifat lebih unik tidak generik (Santosa, 2010). Genre
makro ini menurut Martin (2008) sama dengan konsep genre EAP yang
dikemukakan Swales (1980) dan Bhatia (2004) dan Dijk (2001) (lihat
juga Santosa, 2011a; 2011b; 2012).
Genre mikro terdiri dari genre faktual, dan cerita, serta genre lisan
(Martin 1992; 2006). Genre faktual terdiri dari delapan jenis, seperti:
deksripsi, laporan, rekon, prosedur, eksplanasi, eksposisi, diskusi dan
eksplorasi. Sementara itu, genre cerita terdapat empat jenis, yaitu, genre
rekon, anekdot, eksemplem, dan naratif. Ahli lain mengklasifikasikan
genre berbeda-beda. Akan tetapi, di dalam kurikulum 2013 menggunakan
konsep Martin ini. Konsep genre mikro dan makro ini pulalah di dalam
kurikulum 2013 direalisasikan ke dalam kompetensi inti (KI) dan
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 6
kompetensi dasar (KD) serta indikator ketercapaian KD dan KI
(Kemendikbud, 2013).
Di dalam KI C dan D Kurikulum 2013 secara implisit mensiratkan
pembelajaran berdasarkan jenis teks. Di dalam KD, jenis teks tersebut
diurai berdasarkan ranah kedekatan dengan siswa serta tingkat kesulitan
tatanan nila dan norma sosial yang terealisir di dalam bahasanya. Berikut
ini template atu prototipe jenis teks yang terdapat di dalam kurikulum
2013 beserta indikator kebahasaannya.
4. Genre Tahapan, dan Ciri Kebahasaan
Di dalam kurikulum 2013 terdapat tiga macam genre, faktual,
cerita dan tanggapan. Pembagian genre ini masih membuka peluang
klasifikasi baru, karena sifat klasifikasi ini terbuka dan umum.
Genre faktual digali dari kehidupan riil yang ada di dalam
masyarakat kita. Genre ini pada dasarnya bersifat genre mikro, walapun di
dalam beberapa contoh nanti kita juga dapatkan genre makro. Pada
dasarnya terdapat delapan macam genre: deskripsi, laporan, rekon,
prosedur, eksplanasi, eksposisi, diskusi, dan eksplorasi. Masing-masing
genre mempunyai tujuan sosial dan tahapan atau urutan aktifitas yang
berbeda. Seperti yang terlihat di dalam Tabel 1, deskripsi digunakan
untuk mendeskripsikan sesuatu yang bersifat unik. Walaupun deskripsi
mempunyai tahapan yang sama-sama tidak terstruktur dengan laporan,
tetapi laporan digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu yang bersifat
generik.
Tabel 1: Genre Faktual
fungsi
sosial
aktifitas
generalisasi +generalisasi:
dokumen
menjelaskan/
memecahkan
debat
aktifitas tak
terstruktur deskripsi laporan eksposisi diskusi
aktifitas
terstruktur rekon prosedur eksplanasi eksplorasi
(diambil dari Martin 1992 dengan modifikasi)
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 7
Demikian juga rekon dan prosedur sama-sama mempunyai aktifitas yang
terstruktur, tetapi rekon ditujukan untuk menceriterakan berdasarkan
waktu lampau dan bersifat unik, sedangkan prosedur bersifat nir-waktu
dan generik. Sementara itu, eksplanasi digunakan untuk menjelaskan
suatu kejadian yang melibatkan urutan waktu dan sebab-akibat. Eksposisi
digunakan untuk memechkan masalah secara sepihak. Sementara diskusi
dan eksplorasi digunakan untuk mendiskusikan permasalahan sebelum
mengambil kesimpulan. Bedanya, diskusi tidak terstruktur tahapannya,
sedangkan eksplorasi mempunyai tahapan yang terstruktur.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas berikut ini
digambarkan di dalam tabel dari berbagai genre dalam fungsi/tujuan
sosial, tahapan, dan ciri kebahasaanya.
Tabel 2: Perbedaan Deskripsi dan Laporan
Deskripsi Laporan
Fungsi/tujuan sosial Mendeskripsikan sesuatu
(hidup atau mati) seperti
apa adanya (unik)
Mendeskripsikan sesuatu
(hidup ataumati) seperti
apa adanya (generik)
Tahapan - Deskripsi umum
- deskripsi bagian,
fungsi/kegunaan (benda
mati), perilaku, habitat
- klasifikasi umum
- deskripsi bagian,
fungsi/kegunaan (benda
mati), perilaku, habitat
Ciri-ciri kebahasaan - partisipan unik
- kohesi leksikal meronimi
- Hubungan konjungtif
spasial, penambahan
(deskripsi bagian dan
habitat), kohesi waktu
(deskripsi perilaku)
- medeskripsikan fakta dan
opini
- kata kerja relasi, milik
(mendeskripsikan
bagian), kata kerja
akfitifitas material
(untukmendeskripkan
fungsi dan perilaku)
- Subjeknya sesuai dengan
tema atau sub tema
- Leksis /kata yang
digunakan: deskriptif dan
atitudinal
- Partisipan generik
- kohesi leksikal hiponimi
dan meronimi
- Hubungan konjungtif
spasial, penambahan
(deskripsi bagian dan
habitat), kohesi waktu
(deskripsi perilaku)
- mengklasifikasikan dan
mendeskripsikan fakta
- kata kerja relasi, milik
(mendeskripsikan
bagian), kata kerja
aktifitas material (untuk
mendeskripkan fungsi
dan perilaku)
- Subjeknya sesuai dengan
tema atau sub tema
- Leksis /kata yang
digunakan: deskriptif
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 8
Dengan tujuan sosial yang berbeda deskripsi dan laporan
mempunyai perbedaan yang signifikan pada pembukaan dan ciri-ciri
kebahasaannya. Pembukaan pada deskripsi berupa deskripsi umum,
sedangkan pada laporan adalah klasifikasi umum. Sementara itu pada
level kebahasaannya, terdapat perbedaan yang sangat jelas. Pertama,
deskripsi bersifat unik. Oleh karena itu, perangkat semantik wacanya,
gramatikanya, serta leksisnya semuanya ditujukan untuk menggambarkan
realitas ini, sehingga muncul opini yang bersifat unik. Sementara itu,
laporan digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bersifat generik.
Oleh karena itu, semantik wacananya, gramatikanya, serta leksisnya
secara sistemik digunakan menggambarkan fakta yang bersifat generik.
Demikian juga, antara rekon, prosedur, dan eksplanasi. Ketiga
genre ini mempunyai aktifitas atau tahapan yang terstruktur berdasarkan
waktu. Akan tetapi, rekon digunakan untuk menceritakan kejadian yang
unik, sementara prosedur dan eksplanasi digunakan untuk
mendokumentasikan kejadian yang bersifat generik. Oleh karena itu,
masing-masing di tingkat semantik wacananya, gramatikanya, dan
leksisnya mempunyai perbedaan. Rekon bersifat catatan kejadian tertentu,
sehingga ceritanya murni merupakan kejadian yang durutkan berdasarkan
waktu. Intinya konjungsi temporal, berbagai aktifitas, dan fakta dan opini.
Tabel 3: Rekon, Prosedur, and Eksplanasi
Rekon Prosedur Eksplanasi
Fungsi/Tujuan
Sosial
- Menceriterakan
kejadian masa
lampau untuk
menghibur
- Mendeskripsikan
bagaimana kita
menyelesaikan
suatu pekerjaan
- Menjelaskan
proses bagaimana
sesuatu terjadi
atau bekerja
Tahapan - Orientasi
- Urutan kejadian
- Tujuan
- Langkah 1 sampai
selesai
- Pernyataan umum
untuk
memposisikan
pembaca atau
pendengar
- Sederet penjelasan
mengapa atau
bagaimana sesuatu
terjadi atau
bekerja
Ciri-ciri
kebahasaan
- Agen manusia
atau yang lain
(unik)
- Agen manusia
umum (kamu)
- Beberapa kalimat
- Agen bukan
manusia generik
(lebih banyak
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 9
- Umumnya
hubungan
konjungtif
temporal
- Kata kerja
aktifitas material,
mental,
behavioral, dll
- Leksis deskriptif
dan atitudinal
imperatif
- Hubungan
konjungtif,
umunya, temporal
- Kata kerja
aktifitas material
- Leksis deskriptif
proses dari pada
agen)
- Hubungan
konjungtif
temporal dan
logikal
- Kata kerja
aktifitas material
- Kalimat pasif
digunakan untuk
membuat tema
/subjeknya sesuai
- Leksis deskriptif
Sementara prosedur dan eksplanasi digunakan untuk mencatat
kejadian yang bersifat generik. Oleh karena itu itu kejadiannya bersifat
faktual bukan opini. Perbedaanya ialah prosedur berfokus pada agen
manusia (umum: kamu), sedangkan eksplanasi berfokus pada kejadiannya
itu sendiri. Di samping itu, urutan aktifitas prosedur disusun berdasarkan
urutan waktu, sedangkan pada eksplanasi disusun berdasarkan urutan
waktu dan sebab-akibat (lihat Tabel 3).
Akhirnya genre eksposisi, diskusi, dan eksplorasi digunakan untuk
menyelesaikan masalah. Perbedaannya, eksposisi digunakan untuk
menyelesaikan masalah secara sepihak, sedangkan diskusi dan eksplorasi
menyelesaikan masalah dengan cara mempertimbangkan pihak lain (lihat
Tabel 4).
Tabel 4: Genre eksposisi, diskusi, dan eksplorasi
Eksposisi Diskusi Eksplorasi
Fungsi Sosial - Mengajukan
pendapat,atau
argumen
- Mengajukan
informasi dan
argumen dua sisi
mengenai suatu
topik
- Mencari informasi
dan argument
mengenai suatu
topik
Tahaan - Tesis (opini)
- argumen (1 – n)
satu sisi
- Reiterasi atau
- Isu
- Argument
mendukung dan
menentang atau
- Tujuan
- Langkah 1 dengan
argumentasinya –
langkah akhir
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 10
pernyataan
kembali tesis
argumen berbagai
sudut pandang
- Simpulan dan
saran
dengan
argumentasinya
- Simpulan dan saran
Ciri-ciri
Kebahasaan
- Partisipan generik
baik manusia atau
non-manusia
- Kohesi leksikal
dan gramatikal
- Hubungan
konjungtif
penambahan,
temporal dan
logikal
- Leksis deskriptif
(analitis) dan
atitudinal
(hortatoris)
- Partisipan generik
baik manusia atau
non-manusia
- Kohesi leksikal
dan gramatikal
- Hubungan
konjungtif
penambahan,
temporal,
perbandingan,
dan logikal
- Leksis deskriptif
dan atitudinal
- Partisipan generik
baik manusia atau
non-manusia
- Kohesi leksikal dan
gramatikal
- Hubungan
konjungtif
penambahan,
temporal,
perbandingan dan
logikal
- Leksis deskriptif
dan atitudinal
Oleh karena itu, tujuan sosial ini mempengaruhi semantik wacana ketiga
genre tersebut. Misalnya, pada eksposisi, karena argumennya hanya
sepihak, maka tidak ada hubungan konjungtif internal perbandingan,
sementara pada diskusi dan eksplorasi mempunyai hubungan konjungtif
perbandingan.
Tabel 5: Genre Cerita
Jenis Genre Urutan Aktifitas
Rekon orientasi rekaman kejadian
Anekdot orientasi krisis reaksi
Eksemplum orientasi insiden interpretasi
Narasi orientasi komplikasi evaluasi resolusi
(diambil dari Martin 1992 dengan modifikasi)
Sementara itu, genre cerita digali dari dunia cerita, walaupun
memungkinkan juga bahwa dunia cerita tersebut dikembangkan dari
dunia nyata. Paling tidak terdapat empat jenis genre cerita: rekon,
anekdot, eksemplum, dan narasi. Rekon dimulai dari orientasi, yaitu
pengenalan tokoh, seting dan kejadian umum, kemudian diikuti dengan
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 11
kejadil detil cerita tersebut. Anekdot juga dimulai dengan orientasi,
kemudian diikuti dengan krisis, yaitu kejadian yang tidak lazim, yang
memalukan misalnya, kemudian diikuti dengan reaksi tokoh terhadap
kejadian yang memalukan tersebut. Reaksinya bersifat afektif, maka
anekdot tidak selalu menhasilkan humor. Sementara itu, eksemplum
sesudah orientasi diikuti dengan insiden, yaitu kejadian yang sifatnya
negatif tidak dikehendaki tokoh. Kemudian insiden ini diinterpretasikan.
Interpretasinya bersifat obligatif, seharusnya tidak begitu, tetapi mestinya
begini. Akhirnya, narasi merupakan cerita yang lengkap. Diawali dengan
orientasi, narasi dikembangkan melalui komplikasi, yaitu suatu kejadian
yang meruncing menjadi masalah. Masalah ini di akhir cerita diselesaikan
melalui serentetan usaha/kejadian. Seringkali sebelum diselesaikan
masalahnya dievaluasi dulu.
Dengan tahapan seperti ini, maka sebetulnya satu cerita dapat
dikembangkan menjadi empat genre. Misalnya, cerita Kancil atau Lebai
Malang dapat dibuat menjadi rekon, anekdot, eksemplum, atau narasi.
Penulis tinggal menyesuaikan tahapannya.
5. Pengajaran bahasa berdasarkan Jenis teks.
Untuk mengajarkan genre ini diperlukan metode pembelajaran
yang interaktif, dekontruktif dan rekonstruktif. Di dalam kurikulum ini
disebut empat tahap: membangun konteks, pemodelan, membangun teks
bersama-sama,dan membangun teks mandiri. Tahapan ini mengadopsi
metode pembelajaran berdasarkan genre yang telah dilaksanakan di
Sydney Schools, yang disebut ‘teaching-learning cycle’ (MEDSP, 1989;
Bawarshi & Reiff, 2010). Metode ini meliputi building knowledge of the
field (BKOF), modeling, joint construction of texts, dan independent
construction of text. Metode ini diketahui sangat bagus untuk membangun
siswa aktif untuk membangun pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Hal
ini dikarenakan anak diajak secara aktif untuk mengenal konteks melalui
membangun konteks,kemudian mereka diajak untuk mendekonstruk teks
beserta nilai dan cirri kebahasaannya melaui kegiatan-kegiatan
dekonstruktif dalam tahap pemodelan. Berikutnya, siswa diajak
merekonstruksi teks bersama-sama dengan teman dan bantunan guru
melaluikegiata-kegiatan rekonstruktif dalam tahap membangun teks
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 12
bersama-sama. Setelah mereka, menguasai tahap ketiga ini, siswa diberi
tugas untuk membuat teks dengan genre yang sama tetapi dengan topik
yang berbeda secara mandiri di dalam tahapan membangun teks secara
mandiri (lihat Tabel 6).
Tabel 6 : Proses dalam metode pembelajaran
Membangun
konteks
Pemodelan Membangun
teks bersama
Membangun
teksmandiri
Kegiatan
persiapan
pengenalan
konteks dari
teks yang akan
diajarkan
Kegiatan
dekonstruksi
teks
berdasarkan
nilai, tujuan
sosial, serta ciri
kebahasaan
Kegiatan
rekonstruktif
membangun
teks(nilai, tujuan
sosial, dan ciri
kebahasaan)
bersama teman
dan bantuan
guru
Kegiatan
rekonstruktif
membangun
teks(nilai, tujuan
sosial, dan ciri
kebahasaan)
secara mandiri
berdasarkan
observasi dan
belajar mandiri
5.1 Membangun Konteks
Tahap membangun konteks ini digunakan guru dan siswa untuk
mempersiapkan siswa untuk masuk ke pelajaran yang akan diberikan.
Tahap ini dapat dimulai dengan kegiatan mereview pelajaran minggu lalu
atau mengajak siswa untuk menyelami ranah pelajaran yang akan
diberikan. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui tanya-jawab, cerita ulang,
atau diskusi.
5.2 Pemodelan
Pemodelan merupakan tahap awal pengenalan model teks yang
diberikan. Biasanya, tahap ini guru memberikan model genre atau tipe
teks tertentu yang ideal, lengkap dengan tujuan sosial (termasuk nilai dan
norma sosialnya), tahapan, dan ciri-ciri kebahasaan. Di dalam tahap ini
pemodelan dilaksanakan dalam sejumlah kegiatan dekonstruksi tujuan
sosial, tahapan, dan ciri kebahasaan untuk teks ini. Kegiatan dekonstruktif
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 13
ini bersifat top-down dari level teks, semantik wacana, gramatika, leksis,
dan fonologi/grafologi. Kegiatan pembelajaran pada tahap pemodelan ini
umumnya bersifat less productive (kurang produktif). Artinya belum
menghasilkan sebuah teks. Hal ini karena pemodelan bersifat pengenalan
nilai, norma, tujuan sosial serta realisasinya di dalam ciri-ciri kebahasaan
pada level semantik wacana, gramatika, leksis, dan fonologi atau
grafologi. Kegiatan pembelajaran pada tahap ini bisa meliputi: membaca
cepat (skimming) dan membaca detil (scanning), tanya jawab,
memasangkan, melabeli, pilihan ganda, memparafrase, drilling dan
sebagainya.
5.3 Membangun teks bersama
Pada tahap ini siswa diajak merekonstruksi nilai-nilai sosial,
tujuan sosial, tahapan, dan ciri-ciri kebahasaan dari level semantik
wacana sampai dengan fonologi/grafologi. Siswa diajak membuat teks
dengan genre, tujuan sosial, tahapan, dan ciri-ciri kebahasaannya. Yang
tidak kalah pentingnya ialah siswa diajak menentukan sikapnya di dalam
teks tersebut. Kegiatan ini sangat sulit terutama untuk menangkap struktur
teks dan ciri-ciri kebahasaan yang sesuai (lihat Su-Hie, & Pei-Feng,
2008). Oleh karena itu, untuk membangun teks bersama ini, siswa perlu
dibantu melalui kelompok-kelompok siswa yang disupervisi guru.
Kegiatan pembelajarannya melalui kegiatan pembelajaran yang lebih
produktif. Kegiatan-kegiatan melengkapi dialog, bagan, meringkas, dan
kegiatan membangun teks (jumbled reading, sets of questions, sets of
situations) akan sangat membantu siswa untuk membangun teks secara
bersama-sama. Yang paling penting di dalam kegiatan ini adalah proses
bagaimana siswa membangun teks secara bersama-sama dengan teman
dan gurunya. Pastikan di dalam kegiatan ini terdapat kegiatan ‘learning
how to learn’ atau belajar strategi belajar agar siswa nantinya dapat
membangun teks secara mandiri. Oleh karena itu, kegiatan membangun
teks bersama ini harus dikerjakan secara berulang mencari sumber di
perpustakaan, media, internet, observasi lapangan, dan interview
narasumber secara kelompok (lihat juga Chaisiri, 2010). Kemudian, siswa
akan mempunyai catatan kepustakaan, catatan lapangan, dan hasil
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 14
interview yang akan ditulis menjadi sebuah teks dengan genre yang utuh
secara bersama.
5.3 Membangun teks mandiri
Membangun teks mandiri ini merupakan puncak dari seluruh
kegiatan yang mengakumulasikan antara kegiatan-kegiatan membangun
teks dengan segala isinya. Secara prosedural ini merupakan kegiatan yang
sama dengan kegiatan membangun teks bersama, hanya kali ini siswa
diminta untuk bekerja secara mandiri. Siswa akan bekerja secara mandiri
mulai mencari sumber di perpustakaan, media, internet, observasi di
lapangan, interview nara sumber untuk memperoleh data yang akurat
untuk membangun teks secara mandiri ini. Kemudian, siswa akan
mempunyai catatan kepustakaan, catatan lapangan, dan hasil interview
yang akan ditulis menjadi sebuah teks dengan genre yang utuh secara
mandiri. Demikian pula siswa juga diminta untuk mempunyai sikap
terhadap lingkungan sebelum dituangkan ke dalam bentuk teks.
Keseluruhan proses pembelajaran secara keseluruhan akan
digambarkan ke dalam Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7: Metode Pembelajaran berbasis Genre
Metode Isi Kegiatan Kegiatan
Pembelajaran
Produktifitas
kegiatan
Membangun
Konteks
mereview pelajaran
lalu atau
mengenalkan ranah
pelajaran yang
akan diberikan
tanya-jawab, cerita
ulang, atau diskusi.
Kurang
produktif
Pemodelan Mengenalkan nilai,
tujuan sosial,
tahapan, ciri
kebahasaan
membaca cepat,
tanya jawab,
memasangkan,
melabeli, pilihan
ganda, diskusi
kelompok,
parafrase, dan
sebagainya
Kurang
produktif
Membangun
Teks
Bersama
Membangun nilai,
sikap, ketrampilan
melalui teks yang
melengkapi dialog,
bagan, meringkas,
dan kegiatan
Lebih
produktif
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 15
utuh secara
bersama-sama
membangun teks
(jumbled reading,
sets of questions,
sets of situations)
observasi bersama
Membangun
teks
Mandiri
Membangun nilai,
sikap, ketrampilan
melalui teks yang
utuh secara mandiri
Membuat laporan Paling
produktif
6. Penutup
Makalah ini sudah berusaha menggambarkan konsep kebahasaan
serta implikasi metodologi pembelajarannya yang dipakai untuk
melandasi Kurikulum Bahasa 2013. Yang jelas kurikulum ini menunut
semua pihak yang terkait memahami konsep kebahasaan serta implikasi
metodologisnya, jika semuanya menginginkan siswa mempunyai
pengetahuan, ketrampilan sekaligus sikap. Oleh karena itu, kita perlu
usaha keras dan kesabaran yang terus menerus mengingat fokus
kurikulum ini lebih menekankan proses dengan produk (pengetahuan,
ketrampilan dan sikap) yang lebih baik. Yang jelas bahwa bahasa tetap
bisa diajarkan di sekolah, tidak hanya diperoleh melalui pengalaman
praktis saja (Purcell-Gates, Duke, & Martineau, 2007) .
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amri, Majid (2010) Humanizing TESOL Curriculum for Diverse
Adult ESL Learners in the Age of Globalization. The
International Journal of the Humanities Volume 8, Number 8,
2010, Hal 103-112
Albright, J., Knezevic, L., and Farrel, L (2013) Everyday practices of
teachers of English: A survey at the outset of national curriculum
implementation. Australian Journal of Language and Literacy,
Vol. 36, No. 2, Hal. 111-120.
Bawarshi, Anis S. & Reiff, Mary Jo (2010) Genre: An Introduction to
History, Theory, Research and Pedagogy. Parlour Press:West
Lafayette.
Bhatia, V. K. (2004). Worlds of written discourse: A genre-based view.
London: Continuum.
Burns, Anne (2003). ESF Curriculum Development in Australia: Recent
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 16
Trends and Debates. RELC 34.3 (2003) 261-283 The Continuum
Publishing
Chaisiri, Tawatchai (2010) An Investigation of the Teaching of Writing
with a Specific Focus on the Concept of Genre, The International
Journal of Learning, Volume 17, Number 2, 2010, Hal. 195-205.
Dijk, T. A. v. (2001). Discourse, Ideology and context, Folia Linguistica
(Vol. 35). Berlin: Mouton de Gruyer.
Halliday, M.A.K. dan Hasan, R. 1985. Language, Context and Text:
Aspects of Language in A Social Semiotic Persperctive. Victoria:
Deaking University.
Hyon, S. (1996). Genre in three traditions: Implication for ESL, TESOL
Quarterly. Hal. 693-722: Teachers of English to Speakers of
Other Languages.
Knapp, Peter and Watkins, Megan (2005). Genre, Text, Grammar:
Technologies for Teaching and Assesing Writing. Sydney:
University of New South Wales Press Ltd
Lee, David YW (2001) Genres, Registers, Text Types, Gomains, and
Styles: Clarifying the Concepts and Navigating Path through the
BNC Jungle. Language Learning & Technology. September 2001,
Vol. 5, Num. 3. 3 Hal. 37-72.
Lee, Icy (2012) Genre-based teaching and assessment in secondary
English classrooms. English Teaching: Practice and Critique
December, Volume 11, Number 4, Hal 120-136.
Lewin, Beverly A. , Fine, Jonathan, and Young, Lynne (2001) Expository
Discourse A Genre-based Approach to Social Science Research
Texts. Continuum: London and New York
Martin, J.R. 1992. English Text: System and Structure. Philadelpia: John
Benjamins Publishing Company.
Mahsun (2013) Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013, Media
Indonesia, Hal 6, 17 April
Martin, J. R., & Rose, D. (2003). Working with discourse: Meaning
beyond the clause. London: Continuum.
Martin, J. R. (2006). Working with discourse: The Sydney school. Paper
presented at the Seminar and Workshop on Systemic Functional
Linguistics, Jakarta.
Moessner, L. (2001). Genre, text type, style, register: A terminological
maze? European Journal of English Studies, Hal. 131-138:
Routledge.
Moskver, Katherine V (2008) Register and Genre in Course Design for
Advanced Learners of Russian. Foreign Language Annals. Vol.
41, No , 1, hal 119-131
Makalah dipresentasikan pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, 28
– 31 Oktober 2013 Page 17
Power, R. (2000). Mapping rhetorical structures to text structures by
constraint satisfaction. Brighton: ITRI, University of Brighton.
Purcell-Gates, V., Duke, Nell K, & Martineau, JA (2007) Learning to
read and write genre-specific text: Roles of authentic experience
and explicit teaching. Reading Research Quarterly. Vol. 42, No.
1 January/February/March. International Reading Association
(Hal. 8–45)
Santosa, R. (1995) Genre-based Teaching is teaching how to deconstruct
and reconstruct texts, TEFLIN Seminar, FSSR UNS.
Santosa, R. 2003. Semiotika Sosial Pandangan terhadap Bahasa.
Surabaya: Pustaka Eureka.
Santosa, R (2010) Posisi semiotik genre mikro dan makro, unpublished
research, Graduate Program, UNS, Surakarta.
Santosa, R (2011) Logika Wacana: Analisis hubungan konjungtif
berdasarkan Linguistik Sistemik Fungsional, Surakarta: UNS
Press.
Santosa, Priyanto, Nuraeni (2011) Bahasa Demokratis didalam Media
Televisi Indonesia, LINGUA: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, Vol
6, No.3. Hal. 227-240.
Santosa, Priyanto,Nuraeni (2012) Bahasa antagonis dalam media
Indonesia, Hasil penelitian belum dipublikasikan, LPPM,UNS.
Stuart-Smith, V. (2007). The hierarchical organization of text as
conceptualized by rhetorical structure theory: A systemic
functional perspective, Australian Journal of Linguistics, Hal. 41-
61: Routledge.
Su-Hie, Ting & Pei-Feng, Tee (2008) TESL Undergraduates’ Ability to
Handle Academic Text-types at University Malaysia Sarawak
Asiatic, Vol. 2, No. 2, December 2008, Hal 85-100
Swales, J. (1990). Genre analysis.Oxford: Oxford University Press.
Taboada, Maite (2011) Stages in an online review genre, Text & Talk 31–
2 (2011), Hal. 247–269 © Walter de Gruyter
Xiaoming, Luo (2011). Curriculum Reform in the course of Sical
Transformation: The case of Shanghai. Cultural Studies Vol. 25,
No. 1 January 2011, Hal. 42-54. Routledge.
1
Subtema: 1
Penguatan Bahasa melalui Pemerkasaan Bangsa
Berilmu
Rusli Abdul Ghani
Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia
Abstrak:
Ada bahasa dianggap kuat di pentas dunia kerana bilangan penuturnya ramai dan
berada di seluruh ceruk rantau bumi ini. Ada bahasa dianggap hebat kerana peranannya
dalam perdagangan antarabangsa sangat meluas dan menyeluruh sehinggakan
tanpanya urus niaga internasional akan terganggu dan tergugat. Ada bahasa di dunia ini
suatu masa dahulu ‘numero uno’ dan meluas penggunaannya tetapi kini hanya terbatas
di sekitar kawasan pemastautin penutur aslinya sahaja. Bahasa Perancis dan bahasa
Jerman pernah satu masa dahulu sangat dominan di persada antarabangsa, terutama
dalam domain politik dan diplomasi, kini hanya terbatas di daerah masing-masing
sahaja. Ada pula bahasa yang suatu masa dahulunya berupa bahasa utama di institusi
ilmu dan menjadi pengantar wacana cendekia kini sudah dianggap ‘mati’ kerana tiada
lagi penutur aslinya. Ada bahasa yang dahulunya terpinggir dan dicemuh sesetengah
ilmuwannya sendiri kini merupakan bahasa yang benar-benar menepati takrifan bahasa
global, bahasa dunia. Setiap bahasa besar, baik yang pernah kuat suatu ketika dahulu,
mahupun yang sedang mendominasi, berkongsi ciri yang membolehkan bahasa
tersebut berperanan sebagai bahasa yang digunakan dengan meluas dalam bidang
kegiatan masyarakat antarabangsa meskipun sejarah kebangkitan masing-masing
mungkin berbeza. Makalah ini meneliti ciri dan mengenal pasti faktor yang
membolehkan bahasa-bahasa utama dunia ini menjadi kuat lagi hebat dan menjabarkan
pengalaman itu ke dalam suatu strategi perencanaan pemerkasaan dan penguatan
bahasa yang dapat menjadikan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia berperanan
sebagai penghela ilmu pengetahuan dan wahana ipteks, sekali gus meletakkan bahasabahasa
berkerabat ini di persada antarabangsa.
Kata Kunci: Perencanaan Bahasa, Bahasa Ilmu
2
1.0 PENDAHULUAN
Ada bahasa dianggap utama kerana bilangan penutur aslinya ramai dan yang menuturkannya
sebagai bahasa kedua dan bahasa ketiga juga banyak. Mereka yang berbahasa Inggeris ini
berada di mana-mana, di seluruh ceruk rantau bumi ini. Ada bahasa menjadi besar kerana
peranannya dalam perdagangan antarabangsa dan penyebaran ilmu sangat meluas dan
menyeluruh sehinggakan tanpanya urusan dalam ranah ini akan terganggu dan tergugat.
Ada bahasa di dunia ini suatu masa dahulu sangat meluas penggunaan dan peranannya
tetapi kini hanya terbatas di sekitar kawasan mastautin penutur aslinya sahaja. Bahasa Itali
umpamanya hanya digunakan dalam ruang lingkup sempadan kebangsaannya sahaja biarpun
pada suatu masa dahulu tersebar di seluruh jajahan takluknya, terutama di Afrika Utara.
Bahasa seperti bahasa Perancis dan bahasa Jerman pernah suatu masa dahulu
berperanan besar, mendominasi senario politik dan diplomasi antarabangsa. Sekarang bahasabahasa
itu tidak sehebat dahulu di arena antarabangsa biarpun masih merupakan salah satu
bahasa kerja Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu.
Namun, keutamaan sesuatu bahasa itu, kebesarannya, bukanlah sesuatu yang mutlak
dan muktamad. Selagi digunakan, selagi berperanan besar, dalam domain berdampak tinggi,
bahasa itu tetap dianggap bahasa utama, bahasa besar. Saat mengecilnya peranan bahasa
tersebut dalam ranah rasmi, dalam domain ilmiah, tatkala itulah bahasa tersebut perlahanlahan
mengerdil di mata dunia, mengecil di hati penggunanya.
Setiap bahasa besar di dunia, baik yang pernah menjadi utama suatu ketika dahulu,
mahupun yang sedang mendominasi, berkongsi ciri yang membolehkan bahasa tersebut
berperanan sebagai bahasa besar meskipun sejarah kebangkitan masing-masing mungkin
berbeza.
Makalah ini meneliti dan mengenal pasti faktor yang berperanan dalam penguatan
bahasa-bahasa besar ini dan berhujah bahawa strategi paling ampuh untuk menjadikan bahasa
kita bahasa yang besar juga adalah dengan memastikan bahawa bangsa kita itu bangsa yang
berilmu, dan ilmu pengetahuan kita itu diwacanakan dalam bahasa kita sendiri, dalam acuan
dan citra kita sendiri.
2.0 BAHASA ILMU
Bahasa ilmu diertikan sebagai bahasa yang digunakan untuk berwacana tentang pengetahuan
dalam segala bidang kegiatan keilmuan dan kesarjanaan. Dengan bahasa inilah pengetahuan
dan memori bangsa itu dikandung dan dihimpun dalam sebuah kepustakaan tamadun bangsa,
baik bertulis tangan, bercetak, mahupun di awan-awanan di alam maya.
Bahasa ilmu itu mempunyai ciri-cirinya yang khas dan istimewa (Asmah 2010: 111–
121), yang dapat dicerakin dan dijabarkan dari sudut sistem bahasa1, dari sudut struktur
bahasa2, dari sudut gaya dan modus3 penggunaan, mahupun dari sudut kosa kata dan
peristilahan.
Bagi Anton Moeliono, perencanaan bahasa harus dikaitkan dengan pemodenan bahasa
itu dari segi kosa kata, laras dan bentuk wacana,
“A special case of language development is language modernization
which means developing a language to a level of functional equality with
other modern languages of wider communication. Language
modernization in Indonesia involves two aspects: (1) the development of
1 Mempunyai ciri kelenturan sebagai alat untuk mengungkap dan mewacanakan berbagai-bagai bidang ilmu.
2 Sebagai contoh, penerimaan rangkap konsonan (psikometri, stratosfera) untuk membentuk istilah baru.
3 Gaya pendedahan (exposition – pernyataan, pemerian dan penjelasan) dan modus utama tunjukan (berita dan tanya),
perintah, dan seru.
3
vocabulary and (2) the development of a range of registers and discourse
forms.” (Molieno 1994:208)
Ini bererti sesuatu bahasa itu mesti dimodenkan, mesti dijadikan bahasa ilmu yang dapat
memainkan peranan fungsionalnya setara dan setanding dengan bahasa-bahasa lain yang luas
penggunaannya. Pemodenan bahasa melibatkan pengilmuan bangsa. Hanya dengan
penggunaan bahasa dalam bidang-bidang ilmu barulah laras dan bentuk wacana ilmiah itu
akan terserlah.
Dengan demikian bahasa itu harus direvolusikan, bukannya dibiarkan ber-evolusi
sendiri-sendiri berdasarkan penggunaan basah-basahan, kerana ilmu berkembang dengan
pesat, terutama dalam bidang sains, teknologi, kejuruteraan dan matematik. Bahasa ilmu itu
harus direncanakan dengan strategik jika kita mahukan hasil akhir (outcome) yang berdampak
besar terhadap bangsa dan bahasa.
Usaha dan kegiatan inilah yang akan menyumbang kepada penguatan bahasa baik dari
segi pengukuhan unsur-unsur bahasa tersebut, mahupun keperkasaan pengguna bahasa itu
sendiri agar mereka dapat menggunakan bahasa dengan betul, baik dan berkesan dalam segala
aspek urusan mereka, terutama dalam aspek keilmuan dan kesarjanaan.
Dalam hal ini keseragaman ejaan dan sebutan, kepelbagaian kata dan istilah,
kewujudan laras dan wacana ilmiah merupakan elemen penting dalam pemapanan sesuatu
bahasa itu sebagai bahasa ilmu, lantas meningkatkan keberkesanannya sebagai pengungkap
ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang teknologi dan sains.
Namun demikian, sekemas mana struktur tatabahasanya, sekukuh mana sendi
pembentukan katanya, sebanyak mana pun bilangan istilah teknikalnya, bahasa itu belum lagi
kuat selagi ilmu yang dikandungnya itu juga hebat dan bermanfaat.
3.0 BANGSA BERILMU
Bahasa Yunani pernah dianggap bahasa besar bukan kerana bilangan penuturnya atau luasnya
wilayah dan taburan penggunaannya, tetapi kerana tingginya ilmu dan jalur pemikiran yang
terungkap dan terkandung dalam banyak karya agung bahasa tersebut, dan sehingga kini
karya-karya tersebut masih dibaca dan dirujuk, biarpun dalam versi terjemahan masingmasing
kerana sudah tidak ramai yang dapat membaca Yunani kuno.
Puisi epik Iliad dan Odyssey oleh Homer masih dibaca dan dihargai, ditonton dan
dihayati dalam drama dan filem. Herodotus meletakkan asas dan acuan kepada pengkaedahan
ilmu sejarah sehinggakan beliau bergelar Bapa Sejarah Budaya Barat dengan bukunya The
Histories dianggap sebagai karya sejarah yang pertama dalam kepustakaan Barat.
Dalam bidang falsafah, siapa yang tidak kenal akan Socrates, Plato dan Aristotle, tiga
serangkai yang mentakrifkan, mencorak, dan mewarnai falsafah Barat dari dini hingga kini.
Socrates tidak menulis tetapi ilmu falsafah beliau dikenali melalui karya Plato. Plato
muridnya Socrates dan telah menghasilkan 48 buah karya (sebahagian besarnya dalam bentuk
dialog), antara yang tersohor sehingga kini termasuklah ‘The Republic’ dan ‘Symposium’.
Aristotle pula anak murid Plato, dan beliau telah menghasilkan lebih daripada 50 karya.
Beliaulah tokoh yang meletakkan batu asas bagi penelitian yang berpandukan kaedah
saintifik.
Memang banyak lagi tokoh Yunani kuno yang sehingga kini masih tetap dikenali dan
disanjung kerana karya-karya mereka malar hijau terus-menerus dibaca, diteliti, dan dirujuk.
Dalam bidang perubatan Hippocrates dianggap sebagai Bapa Ilmu Perubatan kerana
menghasilkan 70 karya penting tentang perubatan, yang terkenal adalah tentang etika
4
perubatan Hippocratic Oath. Euclid terkenal sebagai Bapa Geometri, karya besarnya The
Elements sehingga kini masih digunakan sebagai buku rujukan bidang matematik.
Tidak lupa juga kita akan ungkapan ‘Eureka …’ laungan Archimedes sesudah berjaya
menghitung isi padu objek tak nalar (hampir semua anak sekolah tahu akan kisah penemuan
ini). Bukan itu sahaja, Archimedes juga terkenal sebagai ahli matematik, ahli fizik, ahli
astronomi, jurutera dan pencipta. Skru Archimedes, sebuah mekanisme mengangkut air masih
diterapkan sehingga sekarang.
Ada bahasa yang dahulunya berupa bahasa utama di institusi-institusi ilmu di seantero
Eropah, kini sudah dianggap ‘mati’ kerana sudah tidak ada penutur aslinya lagi. Contoh
terbaik ialah Latin.
Latin yang dituturkan oleh penduduk asal Latium di sekitar Rom menjadi penting dan
utama sebagai bahasa rasmi Empayar Rom serta sebagai bahasa ilmu dan hal ehwal politik
sehinggalah peranannya diambil alih oleh bahasa Perancis pada abad ke-18 dan bahasa
Inggeris pada abad ke-19.
Peri pentingnya peranan Latin dalam bidang ilmu masih dapat dikesan daripada
banyaknya karya agung berbahasa Latin tinggalan penulis, penyair dan pemikir pelbagai
bangsa, seperti Cicero4, Vergil5, Ovid6, Spinoza7, Leibniz8 dan Isaac Newton9, dan daripada
banyaknya istilah teknikal, terutama dalam ilmu sains, teknologi, kejuruteraan dan matematik,
yang diserap masuk dan digunakan dalam pengajaran dan pembelajaran bidang-bidang
tersebut dalam bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.
Nyata sekali nama-nama besar terawal dalam ilmu falsafah, fizik, astronomi, sains,
sastera dan matematik berwacana dalam bahasa Yunani atau Latin. Walaupun Latin dan
Yunani kuno ini tidak lagi dituturkan10, legasi keilmuan Latin dan Yunani terus-menerus
dimanfaatkan melalui tinggalan karya-karya besar yang mencorakkan pemikiran dan
menakrifkan bentuk istilah teknikal dalam pelbagai bidang ilmu. Ini bererti ilmulah yang
menjadi ciri utama ketamadunan, dan kita akan selamanya terhutang budi kepada tamadun
Yunani, Rumawi, Arab, Cina dan yang lain-lain yang ada khazanah ilmunya. Dalam sesebuah
tamadun, yang lestari ialah ilmunya.
Lantaran itu, kita umat peri bumi rantau ini, harus berupaya mengilmukan bangsa kita,
melalui bahasa kita dengan ilmu yang kita teliti, kembangkan dan majukan mengikut acuan
kita sendiri.
Ada bahasa yang dahulunya terpinggir dan dicemuh sesetengah cendekiawannya sendiri
kini merupakan bahasa yang benar-benar menepati takrifan bahasa global. Bahasa Inggeris
kini merupakan bahasa paling berpengaruh di dunia.
Selama sedekad dua yang lalu, sedar tak sedar, situasi bahasa di negara kita ini juga
sudah mulai berubah. Faktor utama yang mendorong perubahan ini ialah keantarabangsaan
dunia dagang dan media massa serta kesejagatan teknologi maya yang dicirikan oleh
keperkasaan bahasa Inggeris dalam hampir semua urusan warga dunia sehinggakan alam
geopolitik sekarang bukan sekadar dilihat sebagai semakin menjadi unikutub tetapi juga
ekabahasa sifatnya kerana meluas dan menyeluruhnya eksport kandungan, maklumat dan
fantasi dari dunia Barat.
4 De Oratore ad Quintum fratrem libri tres (On the Orator, three books for his brother Quintus) (55 SM) dan De Re
Publica (On the Republic) (51 SM)
5 Eclogues (?37SM), Georgics (29 SM)
6 Heroides, Amores, Ars Amatoria, dan Metamorphoses.
7 Ethica, Ordine Geometrico Demonstrate (1677)
8 De Arte Combinatoria (On the Art of Combination), 1666; Hypothesis Physica Nova (New Physical Hypothesis), 1671;
Confessio philosophi (A Philosopher's Creed), 1673.
9 Philosophia Naturalis Principia Mathematica (1687)
10 Bahasa Latin masih dilestarikan dalam urusan dan acara keagamaan Gereja Roman Katolik dan juga di Vatikan, manakala
bahasa Yunani masih digunakan oleh Gereja Ortodoks Yunani dalam liturgi (acara atau ritual keagamaan) mereka.
5
Dengan berleluasanya fenomena keantarabangsaan, makin meningkatlah penggunaan
bahasa Inggeris dalam banyak domain yang selama ini menggunakan bahasa Melayu atau
bahasa Indonesia. Kehilangan domain ini merupakan pokok persoalan yang perlu kita teliti
secara telus agar perencanaan yang sesuai dapat diramukan dan tindakan yang berkesan
diambil bagi memastikan bahasa Melayu/Indonesia terus digunakan dalam domain ilmu dan
budaya tinggi kerana domain inilah yang menakrifkan bahasa kita itu sebagai bahasa besar
dan utama.
Hakikat leluasanya bahasa Inggeris turut disentuh oleh Geoffrey Pullum melalui Blog
beliau dalam Lingua Franca,
“The global dominance of English is an inexorable fact about the state of the
world: English is an official language in 50 or 60 countries around the globe,
and in just about every country it is used to some extent, at least as a medium for
basic trade, air-traffic control, or official communications to foreigners. No
other language has anything like this international currency. To some modest
extent this has been engineered by British and American official policies and
organizations … but the majority of it seems to me to have been mere luck. The
tall ship of Standard English has been pushed along by undeserved favorable
winds like the massive success stories of Hollywood, Silicon Valley, Wall Street,
the BBC, American and British pop music, and so on. 11
Inilah realitinya. Bahasa Inggeris sudah merupakan bahasa paling besar di dunia, dan
‘besarnya’ bahasa ini bukan semata-mata kerana Hollywood atau MTV tetapi berkat
sumbangan, peranan, dan dampak Silicon Valley (Apple Inc, Oracle Corp, Facebook, Google,
eBay, Yahoo!), institusi pendidikan tinggi (Harvard, Stanford, MIT, Cambridge, Oxford) dan
institusi khazanah ilmu (Smithsonian, Library of Congress, British Museum, Natural History
Museum, Kew Gardens) serta tidak kurang pentingnya, peranan industri penerbitan (Pearsons,
Penguin, Random House, Macmillan, McGraw-Hill, Penguin, Knopf Doubleday, Simon &
Schuster) yang menyumbangkan lebih daripada setengah juta judul setahun12 (belum lagi
dihitung bilangan jurnal dan majalah) kepada khazanah ilmu dunia.
Oleh yang demikian, nyata bahawa bahasa Inggeris menjadi besar kerana bangsanya
dan penggunanya yang berilmu, yang berkarya dan yang berwacana dalam bahasa tersebut.
Dan ramai warga dunia yang mahu belajar bahasa tersebut, bukan sekadar kerana mahu
melancong ke London, tetapi kerana mahu memiliki ‘kunci’ kepada perbendaharaan ilmu
yang sangat besar dan berbagai-bagai.
Sekarang sempadan geopolitik sudah pudar, semakin samar-samar. Kita berada dalam
sebuah kampung global. Dunia nirsempadan, langit terbuka, perkomputeran awanan tidak lagi
mensyaratkan visa. Yang diperlukan untuk penjelajahan alam ini hanyalah bahasa Inggeris
sebagai pasportnya.
Hakikat ini tak tersangkalkan lagi. Dan kita tidak boleh berperangai seperti Raja Canute
yang cuba memberhentikan ombak yang terhempas di pantai hanya dengan bertitah. Tidak
mungkin, dan tidak perlu pun kita menghadang atau merencatkan keghairahan berbahasa
Inggeris dalam kalangan kita.
Di Malaysia, hakikat ini turut diterima dan ditangani dengan bijaksana melalui
pelaksanaan dasar ‘Memartabatkan Bahasa Melayu, Memperkukuh Bahasa
11 Keep Your Multilingualism to Yourself – Lingua Franca – The Chronicle of Higher Education
chronicle.com/blogs/linguafranca/2013/09/17/keep-your-multilingualism-to-yourself/).
12 Terbitan Amerika Syarikat (2010) 328,259 judul; United Kingdom (2005) 206,000 judul.
http://www.worldometers.info/books/ dicapai pada 15/09/2013.
6
Inggeris’(MBMMBI). Apa yang penting kita mengiktiraf bahawasanya kedua-dua bahasa ini
berperanan besar dalam membina sebuah negara bangsa yang berdaulat. Bahasa Melayu tetap
dimuliakan dan digunakan sebagai bahasa kebangsaan, bahasa perpaduan negara, bahasa
pengantar utama dan bahasa ilmu, manakala bahasa Inggeris dipupuk sebagai bahasa
perhubungan antarabangsa dan juga bahasa ilmu.
Yang perlu kita segera upayakan ialah penguatan bahasa kita dengan membina
keilmuan dan kesarjanaan bangsa kita. Untuk itu, yang digerakkan bukan sekadar
perencanaan bahasa tetapi juga strategi pemerkasaan bangsa berilmu.
4.0 STRATEGI PEMERKASAAN
Perencanaan bahasa lazimnya melibatkan taraf dan martabat bahasa (status planning), korpus
bahasa (corpus planning), dan pemerolehan keterampilan berbahasa (acquisition planning13)
(Fishman 1971, Rubin et al. 1977, Cooper 1989, Bastardas-Boada 2000, Ferguson 2006).
Perencanaan taraf berkait dengan penggubalan pelbagai peruntukan yang menakrifkan
peranan bahasa tersebut dalam pentadbiran, pendidikan, perundangan-undangan, politik,
perdagangan, serta pelbagai aspek perhubungan awam dan swasta demi pembinaan sebuah
negara bangsa beracuan watan.
Perencanaan korpus pula berkait dengan usaha pembakuan dan pemodenan sesuatu
bahasa tersebut terutama melalui penelitian segi-segi bahasa seperti peristilahan, perkamusan
serta pemantapan tatabahasa, ejaan dan sebutan baku.
Keterampilan berbahasa pula merupakan langkah dan strategi untuk memastikan
pengguna bahasa beroleh keterampilan untuk berwacana dan berbahasa dalam laras bahasa
ilmu dan bahasa Melayu tinggi.
Ketiga-tiga bentuk perencanaan ini merupakan strategi serampang yang boleh
digunakan untuk menguatkan bahasa Melayu/Indonesia agar dapat digunakan sebagai bahasa
rasmi negara dan sebagai bahasa untuk mengungkapkan kandungan ilmu tamadun bangsa.
Bagi bahasa Melayu, tentu sekali sebahagian besar upaya ini merupakan tanggungjawab
Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia (DBP) bersesuaian dengan matlamat penubuhannya.
Bagi Indonesia, pihak yang memikul tanggungjawab untuk memapankan dan memantapkan
bahasa Indonesia tentunya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Akan tetapi,
peranan utama pengembangan, pembinaan dan pemugaran bahasa sebenarnya dimainkan oleh
pengguna bahasa itu sendiri. Bahasa yang jarang-jarang digunakan atau disempitkan domain
penggunaan hanya kepada urusan santai-santaian sahaja akan berdepan dengan kejumudan
dan akan segera menjadi tidak relevan dan terabai, lantas berhadapan dengan kepupusan.
Dengan demikian, langkah segera yang perlu dilaksanakan bersungguh-sungguh adalah
dengan menerapkan strategi bagi memastikan sumber rujukan ilmu dan rujukan bahasa yang
piawai, lengkap dan memadai disediakan (make available) dan sumber-sumber ini dapat
dicapai (make accessible) dengan mudah dan cepat melalui prasarana teknologi maklumat dan
komunikasi mutakhir (pangkalan data, pangkalan ilmu, www, peranti mudah alih dan
sebagainya).
Penguatan bahasa Melayu/Indonesia haruslah berlandaskan upaya pengukuhan bahasa
itu sendiri (strategi intrabahasa) dengan membangunkan norma dan piawaian yang dapat
membantu pengguna berwacana dengan lebih mudah dan berkesan serta berpangsikan upaya
pemerkasaan pengguna bahasa (strategi ekstrabahasa) melalui penyediaan sumber rujukan
ilmu, pembinaan kemudahan prasarana teknologi maklumat dan komunikasi, serta
peningkatan khidmat sokongan dalam penerbitan dan penerjemahan karya.
13 Jangan dikelirukan dengan konsep ‘language acquisition’.
7
4.1 Strategi Intrabahasa
Strategi intrabahasa menyangkut usaha yang dilakukan terhadap elemen-elemen yang terdapat
dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia itu sendiri agar bahasa itu dapat memenuhi
tuntutan sebagai bahasa ilmu dan bahasa pengungkapan budaya tinggi.
Dalam hal ini keseragaman ejaan dan sebutan, kepelbagaian kata dan istilah, kewujudan
laras ilmiah merupakan unsur penting dalam pemupukan bahasa yang berupaya memainkan
peranannya dalam wacana ilmiah dan budaya tinggi. Antara upaya yang menjurus kepada
penguatan bahasa baku dan pembangunan korpus termasuklah penyeragaman ejaan,
pembentukan istilah, penyusunan kamus dan penghuraian tatabahasa.
4.1.1 Penyeragaman Ejaan
Bahasa Melayu dan bahasa Indonesia telah mencapai mercu tanda yang gemilang apabila
sistem ejaan bahasa Melayu/Indonesia telah dapat diselaraskan berkat muafakat pakar dari
kedua-dua negara ini di bawah payung kerjasama serantau Majlis Bahasa Indonesia–Malaysia
(MBIM)14 pada 1972. Usaha ini memberikan dampak yang besar terhadap penyelarasan
bahasa Melayu dan bahasa Indonesia ilmiah.
4.1.2 Peristilahan dan Perkamusan
Dari segi kosa kata pula, bahasa Melayu, sejak zaman-berzaman telah diperkaya dengan kata
dan ungkapan daripada bahasa lain, terutamanya Sanskerta, Arab dan Inggeris, serta daripada
bahasa yang serumpun dengannya. Usaha pengayaan ini terus dilakukan sehingga ke saat ini.
Demi memenuhi keperluan bahasa ilmu, usaha untuk memperbanyak bilangan istilah
bahasa Melayu telah dilakukan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) sejak awal
penubuhannya lagi15. Setakat ini, DBP dengan sumbangan ratusan pakar bidang dari institusi
pengajian tinggi, telah berjaya menggubal tidak kurang daripada sejuta istilah dalam lebih
daripada 300 bidang dan sub-bidang ilmu, terutama yang berkaitan dengan sains dan
teknologi.
Daripada jumlah istilah ini, hampir 400 ribu istilah pelbagai bidang sudah diselaraskan
pada peringkat Majlis Bahasa Brunei–Indonesia–Malaysia (Mabbim) bagi meningkatkan
pemahaman dan komunikasi antara negara anggota. Bilangan dan kepelbagaian istilah ini
menyediakan kerangka yang kukuh untuk penguatan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia
sebagai bahasa ilmu.
Selain istilah, kamus umum dan kamus istilah juga memainkan peranan yang besar
dalam penguatan bahasa Melayu sebagai bahasa ilmu. Konsep ilmiah yang sukar-sukar
diberikan huraian dan penjelasan dengan ungkapan yang mudah. Dengan demikian,
penyebaran ilmu daripada pakar kepada khalayak dapat berlaku dengan baik dan berkesan.
Selain kamus ekabahasa (Kamus Dewan 1970, 1989, 1994, 2005) dan Kamus Pelajar
1987, 2008), kamus dwibahasa (Kamus Inggeris-Melayu Dewan 1991, Kamus Dwibahasa
Edisi Kedua 2002, Kamus Melayu-Inggeris Dewan 2012) lebih daripada 150 buah glosari dan
kamus istilah pelbagai bidang sudah diterbitkan. Namun ini jauh daripada memadai kerana
ribuan istilah dalam puluhan bidang ilmu belum lagi dihuraikan. Lantaran itu, usaha yang
berterusan perlu dilakukan untuk menghuraikan sebahagian besar istilah yang digubal. Selain,
itu sebahagian besar kamus terbitan DBP telah dimuatkan dalam pangkalan perkamusan dan
boleh dicapai dengan mudah dan gratis oleh semua pengguna daripada laman DBP
(http://dbp.gov.my).
14 Kemudian menjadi Majlis Bahasa Brunei Darussalam–Indonesia–Malaysia (Mabbim) pada 1985 dengan masuknya negara
Brunei Darussalam sebagai anggota.
15 Antara yang terawal terbit ialah Istilah Pertadbiran (Inggeris–Melayu–Inggeris), DBP:1962; Istilah Ekonomi (Inggeris–
Melayu–Inggeris), DBP:1965, Istilah Kajihayat, Perhutanan dan Pertanian (Inggeris–Melayu), DBP:1968, Istilah Fizik,
Hisab dan Kimia, DBP:1968.
8
4.1.3 Penghuraian Tatabahasa
Pembakuan tulisan membawa kepada keperluan untuk menghuraikan tatabahasa yang sesuai
supaya wacana ilmiah dapat disampaikan dalam bentuk yang koheren dan kohesif.
Dalam hal ini, kita sudah ada beberapa buah terbitan, seperti Tatabahasa Dewan (1989,
1993, 2008) dan Nahu Melayu Mutakhir (1980, 1982, 1986, 1993, 2009) yang dapat
memberikan panduan dan pedoman dalam penulisan wacana ilmiah yang betul. Usaha perlu
diteruskan untuk menghasilkan pelbagai jenis panduan dan pedoman tatabahasa untuk
pelbagai kategori pengguna mengikut kesesuaian peringkat pembelajaran.
4.2 Strategi Ekstrabahasa
Selain penguatan bahasa melalui pembangunan korpus bahasa, usaha juga perlu dilakukan
untuk memperkasakan unsur yang paling penting dalam ekologi kerelevanan dan kelestarian
sesuatu bahasa itu, iaitu penggunanya. Tanpa pengguna, bahasa itu segera pupus. Tanpa
pengguna perkasa, penggunaan bahasa itu akan bersifat basahan semata-mata. Pemerkasaan
bangsa berilmu merupakan modal insaniah yang memastikan kemapanan bahasanya:
Soal “proses pengilmuan” itu bukanlah terletak pada bahasa tetapi pada
manusia... manusialah yang seharusnya menuju ke matlamat pengilmuan...
Maju mundurnya sesuatu bahasa terletak pada kehendak masyarakat
penuturnya sendiri. (Asmah 2010:108)
Aspek pemerkasaan pengguna ini bolehlah dikategorikan sebagai perencanaan bahasa
juga, dalam bentuk perencanaan perolehan (acquisition planning) keterampilan berbahasa.
Perencanaan perolehan berkait dengan usaha kerajaan atau pihak berwajib untuk
melaksanakan dan menjayakan sesuatu dasar bahasa melalui pendidikan. Dalam konteks ini,
dasar MBMMBI, ‘Memartabatkan Bahasa Melayu, Memperkukuh Bahasa Inggeris’,
merupakan contoh terbaik perencanaan perolehan.
Selain itu, perencanaan perolehan juga boleh ditafsirkan sebagai usaha yang dilakukan
untuk memperkasakan pengguna bahasa supaya pengguna tersebut ‘beroleh’ keupayaan,
kemahiran dan keilmuan untuk menggunakan bahasa dengan baik dan betul. Ini berkait
dengan konsep ‘language cultivation’ atau pemupukan bahasa.
Pengguna diperkasakan dan beroleh keterampilan berbahasa melalui kegiatan
pemupukan dan penataran serta melalui penyediaan bahan rujukan dan sumber maklumat
bahasa yang mudah dicapai melalui pelbagai saluran. Dengan demikian, pengguna perkasa ini
akan memastikan martabat bahasa itu sentiasa terpelihara melalui penggunaan bahasa yang
bermutu tinggi semasa mereka berkarya, berurus niaga, berwacana, serta mentadbir negara,
negeri dan pihak berkuasa tempatan.
Strategi pemerkasaan ini boleh digerakkan melalui pembangunan prasaran rujukan,
penyediaan sokongan sarana ilmiah, penggunaan teknologi maklumat dan komunikasi, serta
peningkatan upaya penelitian ilmiah.
4.2.1 Prasarana Rujukan
Pemerkasaan bangsa berilmu perlu bermula dengan penyediaan bahan dan prasarana rujukan
yang secukupnya untuk membantu pengguna berwacana. Bahan yang disediakan berupa
buku, majalah, dan rujukan seperti kamus, ensiklopedia, tesaurus, istilah, serta kamus istilah.
Prasarana rujukan juga dibangunkan dan disediakan untuk mempermudah dan
mempercepat capaian kepada bahan rujukan. Pangkalan data perkamusan, pangkalan data
peristilahan, pangkalan data ensiklopedia, pangkalan data bahasa sukuan, pangkalan data teks
dan pustaka digital disatukan secara maya untuk membentuk suatu takungan sumber
maklumat bahasa yang komprehensif yang boleh dicapai dengan cepat dan mudah.
9
4.2.2 Sarana Ilmiah
Sesuatu tradisi keilmuan tidak mungkin terbina tanpa penghasilan teks dalam bahasa tersebut.
Tradisi ini jelas bertapak dengan kedatangan Islam pada abad ke-13 di rantau ini. Perubahan
budaya, pemikiran, dan pandangan hidup yang berlaku kepada umat Islam di Alam Melayu
sebagai akibat langsung penerimaan risalah Islam turut memberikan kesan langsung terhadap
bahasa Melayu. Kosa kata bahasa Melayu terus dikembangkan untuk mengungkapkan konsep
tauhid, syariah dan tasawuf. Dengan kedatangan Islam, ragam bahasa persuratan bagi bahasa
Melayu juga mulai jelas terbentuk, sebagaimana yang terpapar dalam karya agung Hamzah
Fansuri16 dan Nuruddin ar-Raniri17.
Teks ilmiah yang berkait dengan agama dan kitab tib memang banyak dihasilkan dalam
bahasa Melayu di hampir semua tempat di Nusantara ini. Teks seumpama ini perlu dikaji,
diberikan komentar dan dipersembahkan kepada khalayak pembaca yang lebih luas agar
tradisi keilmuan silam bahasa Melayu dapat dihargai bersama.
Bagi teks sains dan teknologi khususnya, usaha untuk memperbanyak teks jenis ini
perlu digiatkan sama ada melalui penulisan karya atau melalui usaha penerjemahan. Hal yang
sama berlaku untuk bahasa Inggeris dalam abad ke-16 apabila banyak teks ilmiah, khususnya
dalam bahasa Latin, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris supaya pembaca berbahasa
Inggeris mempunyai capaian kepada ilmu dan alam pengetahuan yang lebih luas dan pelbagai
selain membina pangkalan pengetahuan yang besar dalam bahasa Inggeris.
Selain itu, penghasilan teks ilmiah juga akan menjuruskan perhatian kepada pembakuan
bahasa dan penyediaan laras bahasa yang berfungsi untuk menyeragamkan wacana ujaran dan
tulisan. Penggunaan bahasa baku dalam teks ilmiah akan segera disusuli dengan penciptaan
kepustakaan kebangsaan yang boleh dibanggakan.
Sehingga kini DBP telah berjaya menerbitkan tidak kurang daripada 10,000 judul buku
dan ini menjadi bukti bahawa bahasa Melayu berupaya mengungkapkan ilmu canggih secara
yang berkesan. Akan tetapi, 10 ribu judul jauh daripada memadai. Angka ini belum cukup
untuk membina tradisi keilmuan. Bahasa-bahasa utama lain di dunia membesarkan khazanah
ilmu masing-masing dengan sekurang-kurangnya 50,000 judul setahun dan ada yang
mencapai ratusan ribu judul setahun18. Justeru itu, tidak sukar untuk kita menghargai hakikat
bahawa usaha yang benar-benar besar perlu dilakukan jika kita mahu khazanah ilmu kita
setanding dengan bahasa besar yang lain.
4.2.3 Teknologi Maklumat dan Komunikasi
Teknologi maklumat dan komunikasi mempunyai peranan dan sumbangan yang bererti dalam
pengembangan dan pembinaan bahasa Melayu/Indonesia dan juga dalam pemerkasaan bangsa
berilmu.
Teknologi maklumat membuka peluang, laluan dan saluran baharu untuk
berkomunikasi. Teknologi ini juga mengubah cara teks ilmiah disediakan dan disebarkan.
Laluan komunikasi mutakhir ini boleh dimanfaatkan untuk menyebarkan bahasa
Melayu/Indonesia kepada semua pengguna, sama ada di dalam atau di luar negara, dengan
lebih cepat dan berkesan dan mengizinkan capaian kepada sumber maklumat bahasa dan ilmu
seperti pangkalan data teks, pangkalan istilah, pangkalan perkamusan, dan pangkalan
ensiklopedia untuk semua peneliti yang mengkaji bahasa dan tamadun kita.
Teknologi maklumat juga membuka peluang untuk pemiawaian bahasa
Melayu/Indonesia yang lebih berkesan dan menyeluruh lantaran adanya pelbagai bank istilah
16 Sebagai contoh, Syair Perahu.
17 Sebagai contoh, Bustan as-Salatin.
18 Lihat http://www.worldometers.info/books/ dicapai pada 15/09/2013.
10
dan kamus elektronik untuk rujukan. Keadaan ini tentunya menyumbang kepada kekuatan
bahasa sebagai bahasa ilmu dan bahasa pengungkapan budaya tinggi serta keperkasaan
bangsa berilmu.
Selain itu, alat bantu bahasa seperti penyemak ejaan dan penyemak tatabahasa tentu
sekali banyak membantu dalam mempercepat penghasilan teks ilmiah yang baik dan bermutu.
Pembangunan perisian penerjemahan automatik atau separa automatik boleh membantu lalu
lintas ilmu di antara bahasa-bahasa utama dunia dan ini tentunya menyumbang kepada
pengembangan bangsa berilmu.
Teknologi maklumat juga boleh dimanfaatkan dalam penghasilan bahan multimedia dan
ini akan menggalakkan lagi penggunaan bahasa Melayu/Indonesia dalam domain tertentu,
seperti dalam pengajaran dan pembelajaran sains dan teknologi.
4.2.4 Upaya Penelitian
Satu lagi faktor asas dalam penguatan bahasa ialah kegiatan penelitian terhadap bahasa
Melayu/Indonesia dan penelitian ilmu sains dan teknologi di institusi pengajian tinggi dan
institusi penelitian. Usaha sebegini akan mengukuhkan lagi bahasa Melayu/Indonesia sebagai
bahasa ilmu.
Para sarjana dan ilmuwan memainkan peranan yang penting dalam memastikan sesuatu
bahasa itu dapat melaksanakan fungsi keilmuannya dengan berkesan. Institusi pengajian
tinggi merupakan suatu komuniti ilmuwan yang boleh menggunakan bahasa Melayu dan
bahasa Inggeris dengan baik. Dengan demikian, bahan penelitian boleh disediakan dan
disebarkan dalam bahasa Melayu untuk kegunaan setempat, dan jika didapati perlu, bahan
yang sama boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris untuk khalayak antarabangsa.
Mahasiswa juga perlu diperkasakan dengan diberikan latihan dan tunjuk ajar tentang
penulisan akademik supaya mereka selesa dan senang untuk menggunakan bahasa
Melayu/Indonesia dalam penulisan ilmiah masing-masing.
5.0 PENUTUP
Dunia ini semakin leper, kata Thomas Friedman19. Bagi Friedman, teknologi maju dan
canggih ‘meratakan’ dunia serta menyediakan peluang dan menyajikan cara baru untuk
berurusan dan berurus niaga. Usaha kita bukan sekadar untuk menyediakan bahan bahasa
tetapi tumpuan harus juga diberikan terhadap usaha penyebaran melalui kaedah dan peluang
baru yang tersedia ini.
Sumber Terbuka (Open-Source Movement) dan capaian mudah alih serta Internet
membuktikan bahawa pengguna bahasa dan masyarakat bersedia terlibat dan berupaya untuk
memberikan sumbangan kepada dunia yang beraneka suara dan wajah. Internet merupakan
wadah unggul untuk mereka berbicara dan suara mereka diperdengarkan. Lihat sahaja
kejayaan Wikipedia, pembekal kandungan paling popular yang didorong sepenuhnya oleh
sukarelawan. Lihat sahaja keberadaan Facebook dan kemanfaatan Google di serata tempat
dan dalam banyak keadaan.
UNESCO melalui Perisytiharan Kronberg20 (2007) telah menyatakan bahawa ilmu
pengetahuan itulah kunci kepada pembangunan sosial dan ekonomi, dan dengan demikian
pemerolehan serta perkongsian pengetahuan dalam zaman teknologi maklumat dan
komunikasi yang serba canggih ini memerlukan pendekatan baru yang berupaya memastikan
kepelbagaian budaya dan bahasa dilestarikan di persada dunia.
Dalam situasi yang sebegini, suatu upaya perencanaan bahasa dan budaya perlu secara
sedar dan serius digerakkan agar bahasa Melayu/Indonesia terus diperkuat sebagai bahasa
19 Friedman, T. L., 2005. The World Is Flat A Brief History of the Twenty-first Century. Farrar, Straus and Giroux.
20 http://portal.unesco.org/ci/en/files/25109/11860402019Kronberg_ Declaration.pdf/Kronberg%2BDeclaration.pdf
11
ilmu dan bahasa pengungkapan budaya tinggi, agar bahasa kita tidak tergelincir dari landasan
ilmiah tamadun silam. Cara terbaik adalah dengan mengukuhkan elemen-elemen bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia yang membolehkan bahasa kita berperanan sebagai bahasa
ilmu, tetapi pada masa yang sama, usaha dan upaya yang benar-benar bererti perlu
dilaksanakan untuk membina kapasiti bangsa yang berilmu.
DAFTAR PUSTAKA
A Kadir Jasin. 2009. Membangun Bangsa dengan Mata Pena. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.
Abdul Rahim Bakar dan Awang Sariyan (Ed.). 2005. Suara Pejuang Bahasa. Kuala Lumpur:
Persatuan Linguistik Malaysia.
Abdullah Hassan (Ed.). 1994. Language Planning in Southeast Asia. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Abdullah Hassan (Ed.). 1999. Perancangan Bahasa di Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Asmah Haji Omar. 1982. Language and Society in Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.
Asmah Haji Omar. 1987. Bahasa Malaysia Saintifik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Asmah Haji Omar. 1993. Perancangan Bahasa dengan Rujukan Khusus kepada Perancangan
Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Asmah Haji Omar. 2010. Kajian dan Perkembangan Bahasa Melayu Edisi Kedua. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Asraf (Ed.). 1996. Manifesto Budaya. Kuala Lumpur: Persatuan Linguistik Malaysia.
Awang Sariyan. 1995. Ceritera Bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Awang Sariyan. 2000. Warna dan Suasana Perancangan Bahasa Melayu di Malaysia. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Bastardas-Boada, A. 2000. “Language planning and language ecology: Towards a theoretical
integration”, dalam Symposium 30 Years of Ecolinguistics, Graz, Austria.
Cobarrubias, J. dan Fishman, J. (Ed.). 1983. Progress in language planning: “International
perspectives.” The Hague: Mouton.
Collins, J.T. 1998. Malay, World Language: A Short History, 2nd Edition. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Cooper, R. L. Language Planning and Social Change. New York: Cambridge University
Press, 1989.
Crystal, D. 2003. English as a Global Language, 2nd ed., Cambridge: Cambridge University
Press.
Eastman, C. 1983. Language Planning: An Introduction. San Francisco: Chandler and Sharp
Publishers, Inc.
Edwards, J. 1985. Language, Society and Identity. Oxford: Basil Blackwell.
Ferguson, C. A. 1977. “Language Planning Processes” dalam Language Planning Processes.
Ed. Rubin et al.
Ferguson, G. 2006. Language Planning and Education. Edinburgh: Edinburgh University
Press.
Fishman, J. A. 1971. “The Impact of Nationalism on Language Planning,” dalam Can
Language Be Planned? Rubin dan Jernudd (Ed.).
12
Gordon, R.G., Jr. (Ed.). 2005. Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition. Dallas,
Tex.:SIL International. Online version: http://www.ethnologue.com/.
Hassan Ahmad. 1988. Bahasa Sastera Buku: Cetusan Fikiran Hassan Ahmad. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hassan Ahmad. 2009. Ke Luar Jendela. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mccrum, R., Cran, W. dan Macneil, R. 1986. The Story of English. New York: Viking.
Moeliono, Anton M. 1994. “Indonesian language development and cultivation”, dalam
Abdullah Hassan (Ed.) hlm 195-213.
Norrby, C. dan Hajek, J (Ed.) 2011. Uniformity and Diversity in Language Policy: Global
Perspectives (Multilingual Matters). Bristol: Multilingual Matters.
Oakes, L. 2001. Language and National Identity: Comparing France and Sweden.
Amsterdam/Philadephia: John Benjamins.
Pennycook, A. 2006. Global Englishes and Transcultural Flows. London: Routledge.
Phillipson, R. 1992. Linguistic Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
Raja Mukhtaruddin bin Raja Mohd. Dain. 1982. Pembinaan Bahasa Melayu: Perancangan
Bahasa di Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rubin, J. dan Jernudd, B.H. (Ed.). 1971. Can Language Be Planned? Hawaii: The University
Press of Hawaii.
Rubin, J., Jernudd, B.H., Das Gupta, J., Fishman, J.A. dan Ferguson, C.A. (Ed.). 1977.
Language Planning Processes. The Hague: Mouton Publishers.
Simpson, A. (Ed.) 2007. Language and National Identity in Asia. Oxford: Oxford University
Press.
1
Sub-tema: Point (1): Bahasa Indonesia sebagai Penghela Ilmu Pengetahuan dan Wahana
Ipteks
METABAHASA TENTANG BAHASA INDONESIA SEBAGAI TEKS
STANISLAUS SANDARUPA
FAKULTAS ILMU-ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Abstrak
Makalah ini membahas sejumlah konsep metabahasa Bahasa Indonesia yang didasarkan
pada kekuatan refleksif bahasa seperti metabahasa, metasemantik dan metapragmatik.
Tujuannya ialah membangun Bahasa Indonesia ilmiah di bidang teks. Teori yang dipakai
ialah teori teks semiotik yang sudah berkembang pesat. Ia berargumentasi pada teori
linguistik struktural dan melihat bahasa sebagai suatu sistem terbuka. Konsep-konsep
yang dikembangkan memperlihatkan hubungan teks-konteks, dan dibedakan tiga tingkat
teks: teks denotasi, teks interaksional dan teks mediasi. Ketiganya memberi ruang pada
kegiatan penutur sebagai agen. Teks denotasi berhubungan dengan konsep kotekstualitas,
kontekstualisasi dan entekstualisasi. Teks interaksional adalah teks relasi sosial yang
dibangun dalam berteks denotasi. Kedua teks dihubungkan oleh teks mediasi semiotik.
Teori mediasi eklektik karena ditunjang teori percakapan emergent structure dan teori
sastra dialogisme tentang voice serta teori puitik. Struktur kotekstualitas kohesif
mengindeks interpretasi konteks yang relevan. Inilah tanda indeksikal yang memberikan
dasar empiris kepada analis untuk menghubungkan bahasa dan konteks budaya, ritual,
sastra, sosial politik.
[refleksif, metabahasa, agen, semiotik, indeksikalitas, kontekstualisasi, entekstualisasi,
teks denotasi, teks interaksional, konteks, performativitas, emergent strutcture, struktur
puitik]
1. Pengantar
Penetapan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk memakai skema
pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks dan genre dalam Kuriklum 2013 sudah
berada pada jalur benar. Dalam hal ini bahasa Indonesia telah memasuki perkembangan
pesat dan menempuh jalur yang sudah benar. Persoalannya sekarang ialah bagaimana
membagun sebuah metabahasa ilmiah sistematis untuk membahas bahasa Indonesia
sebagai teks dan konsekuesi apa yang terjadi dengan mengambil pandangan tersebut?
Persoalan utama inilah yang hendak dibahas dalam makalah. Untuk membangun
metabahasa demikian dikemukakan di sini teori teks semiotik (Silverstein 2001) yang
sudah berkembang pesat di bidang antropologi linguistik. Teori ini berpusat pada
kekuatan refleksif bahasa: metalinguitik, metasemantik, dan metapragmatik. Teori ini
berargumentasi melawan teori bahasa linguistik murni yang memokuskan perhatian pada
hubungan internal elemen-elemen bahasa seperti yang dianjurkan Saussure (Saussure
1966 [1959]) dan Chomsky (Chomsky 1965). Dari sudut sejarah perkembangan ide, teori
2
teks ini berkembang dari Boas (Boas 1966 [1911]), Sapir-Whorf (Sapir 1921; Whorf
1956), sampai ke teori semiotik Peirce (Peirce 1940[1955]) dan teori fungsi puitik
Jakobson. Teori semiotik khususnya indeks telah dikembangkan Silverstein menjadi teori
indeksikalitas (Silverstein 1984; Silverstein 1987; Silverstein 1998a; Silverstein 1976;
Silverstein 1993; Silverstein 1998b; Silverstein 2003).
Dalam membangun metabahasa tentang Bahasa Indonesia sebagai teks,
pembahasan difokuskan pada hubungan teks dan konteks. Dalam sejarah ide, pendekatan
terhadap teks terkadang direduksi ke tingkat langue. Sebaliknya, terkadang pembahasan
berpusat pada tingkat konteks sehingga aspek pragmatisme yang mendominasi.
Kesulitan utama terletak pada pemisahan kedua tingkat itu. Kedua, kalaupun
keduanya dipertimbangkan, tidak ada upaya menghubungkannya. Menyelesaikan
kesulitan-kesulitan itu merupakan fokus pembahasan makalah ini. Teori ini membedakan
tiga tingkat teks yaitu teks denotasi, teks interaksional dan teks mediasi. Tujuannya untuk
membangun model refleksif bahasa yang mengatur kehidupan sosial.
2. Teks denotasi
Teks denotasi adalah teks yang terdiri atas ujaran atau sekelompok ujaran yang
menjawab pertanyaan ’apa yang dikatakan’ penutur. Dalam pendekatan ini, analisis teks
difokuskan pada struktur suatu ujaran. Ujaran disebut kalimat teks, suatu representasi
denotasi dimana bahasa dipakai untuk berbicara tentang sesuatu. Ia merupakan suatu
penjelasan tentang atau suatu karakterisasi benda-benda di dunia. Suatu kalimat teks
mengandung sebuah proposisi. Bagi paradigma struktural, inilah aspek teks terpenting.
Bahasa berfungsi sebagai sistem representasi. Tata bahasa menghubungkan makna
proposisi dengan bentuk gramatikal sehingga ada hubungan langsung antara kalimat
abstrak dengan ujaran.
Seperti yang sudah diketahui pemokusan pada aspek proposisi mempunyai
kelemahan karena mereduksi bahasa ke aspek langue Saussure. Dapat dikatakan
pandangan demikian meniadakan sifat dasar bahasa yang relasional. Bahwa bahasa
adalah teks yang berhubungan dengan konteks. Bahwa di samping aspek proposisional
ada fungsi-fungsi pragmatis lain bahasa.
Namun demikian, pemokusan pada struktur demikian tidak disangkal pentingnya.
Ia merupakan satu fungsi penting bahasa. Hanya dikatakan bahwa struktur itu hanya
merupakan salah satu saja. Dalam berbahasa, penutur juga memakai struktur lain. Karena
itu dalam pedekatan ini, analisis kalimat-kalimat teks dilakukan melampaui makna relasi
(sense relation). Itu berarti perhatian ditujukan pada struktur tematis dan strktur informasi
(Halliday 1985).
Dengan demikian teks denotasi memandang kalimat teks sebuah representasi
proposisional, suatu cara mengkomunikasikan informasi tentang keadaan atau hal-hal di
luar bahasa. Hal-hal itu adalah acuan atau denotata. Untuk hal demikian perhatian
diarahkan pada pemakaian berbagai modalisasi, pemarkah daya ilokusi, pemarkah sikap
proposisonal, pemarkah epistemis seperti kebenaran nomik. Hal ini berkaitan dengan
status pragmatik ujaran-ujaran kita yaitu pilihan-pilihan penutur dalam mengadaptasi
ujaran-ujarannya pada konteks. Dalam berkomunikasi dengan orang lain kita sebagai
penutur selalu memperhatikan dua hal 1) mempertimbangkan keadaan mental pendengar,
misalnya apa yang mereka sudah ketahui, apa yang sedang mereka perhatikan, apa yang
menarik mereka dan lain-lain dan 2) membangun pesan kita yang berpengaruh pada
3
pendengar sesuai dengan yang kita inginkan. Misalnya, kita menekankan apa yang kita
inginkan pendengar perhatikan dan lain-lain (Payne 1997). Hal itu muncul dalam:
1) Topikalisasi, yaitu bagaimana memperkenalkan sesuatu untuk penciptaan teks
denotasi yang koheren yang akan menjadi topik, suatu hal dimana semua informasi berpusat.
2) Pemarkah topik. Sesuatu yang ditandai sebagai topik yang berlangsung beberapa lama
dalam interaksi. Karena berlangsung lama pendengar diingatkan tentang sesuatu sebagai topik.
Hal ini berkaitan dengan struktur informasi, tema-rema, informaisi tema-rema.
3) Informasi fokus. Hal ini memperlihatkan bahwa teks denotasi merupakan sebuah
struktur yang berkelanjutan dalam interaksi diskursif.
Patut diketahui bahwa konsep struktur – struktur gramatikal – hanya satu dari
struktur dalam fenomena bahasa sebagai teks. Pandangan ini dapat ditemukan dalam
karya Halliday yang membahas klausa sebagai message (struktur informasi), klausa
sebagai pertukaran (grammar) dan klausa sebagai representasi (struktur logis) (Halliday
1985).
Selain itu dibedakan lagi suatu struktur yang bermain menghubungkan antara teks
dan konteks (lihat di bawah poin 4). Karena itu pendekatan terhadap bahasa tidak tepat
didominasi struktur dengan fungsi deskriptif karena terdapat pula fungsi indeksikal nondeskriptif
dan struktur yang bermain dalam membangun konteks yang relevan
menentukan interpretasi yang tepat. Misalnya, kata-kata deiktik orang ’saya’, tempat ’di
sini, di sana’, waktu ’hari ini’ dan lain-lain. Maknanya baru diketahui setelah konteks
diketahui. Singkatnya, teks denotasi dikonstruksi dalam pemahaman sebagai koherensi
dan kotekstualitas.
2.2 Konteks
Memandang bahasa sebagai teks mengharuskan adanya konsep lain yaitu konteks.
Kata konteks berasal dari bahasa Latin cum dan texto, yang berarti ’yang menyertai teks’.
Dalam sejarah perkembangan ide, analisis genre dan simbol mengalami banyak masalah.
Ada kelompok analis yang memperlakukan teks sebagai objek tertutup dan terbatas. Teks
dipisahkan dari konteks baik sosial maupun kultural. Bauman dan Briggs mengutip
contoh-contoh dari pendekatan Blackburn dan Limon serta Young. Untuk Blackburn,
‘performance studies seem too much concerned with context and too little concerned with
textual detail’ (studi performans tampaknya terlalu menyibukkan diri dengan konteks dan
sedikit tentang detil tekstual). Dengan kata lain dia menginginkan analisis performans
berfokus pada teks. Pada pihak lain Limon & Young serta Bronnner berargumentasi
bahwa ‘performance approaches are too caught up in poetics to be able discern broader
social and political contexts’ (pendekatan-pendekatan performans terlalu berpusat pada
puitik sehingga tidak mampu membahas konteks sosial dan politik yang lebih luas
(Bauman and Briggs 1990, 67).
Masalah hubungan teks – konteks ini sebenarnya menyuarakan kembali
permasalahan antara semantik dan pragmatik, kalimat dan ujaran, langue dan parole atau
yang dalam makalah ini diungkapkan dalam istilah lain yaitu teks denotasi dan teks
interaksional.
Kedua pandangan yang saling bertentangan ini memperlihatkan adanya
pemisahan antara teks dan konteks. Dari pandangan demikian banyak lagi masalah yang
muncul seperti ketercakupan (inclusiveness) dan objektivitas (objectivity). Ia dapat
mencakup banyak hal dan melingkupi banyak deskripsi objektif yang berkaitan dengan
ujaran-ujaran (Bauman and Briggs 1990).
4
Kemudian terdapat berbagai masalah dalam menghubungkan antara keduanya.
Dalam tulisan ini dibahas jalan keluar dari kemelut ini yaitu dengan mamakai mediasi
semiotik indeksikalitas.
2.2.1 Kontekstualisasi
Untuk menghindari persoalan pemisahan antara teks dan konteks di atas beberapa
analis berupaya mengembangkan konsep konteks. Salah satu masalah yang hendak
dihindari adalah kestatisan konsep ini. Untuk maksud tersebut konsep konteks
dikembangkan ke konsep kontekstualisasi untuk memperlihatkan aspek aktif dan
kedinamisannya. Seperti yang Bauman and Briggs katakan ‘communicatve contexts are
not dictated by the social and the physiscal environment but emerge in negotiations
between participants in social interaction’ (konteks-konteks komunikatif tidak didikte
oleh lingkungan sosial dan fisik tetapi muncul dalam negosiasi-negosiasi antar partisipan
dala interaksi sosial) (Bauman and Briggs 1990 p. 68). Inilah alasan mengapa sangat
penting melakukan analisis teks untuk memahami konteks. Dengan adanya perubahan ini
analisis sudah berada pada pandangan yang berpusat pada agen (manusia pemakai
bahasa). Kontekstualisasi merupakan suatu proses negosiasi aktif yang di dalamnya
partisipan secara refleksif mengamati wacana dalam interaksi sosial (Silverstein 1993;
Silverstein 2001)
Artinya konteks yang tadinya bercirikan produk dikembangkan ke konsep
kontekstualisi. Terjadilah perubahan penekanan dari produk ke proses, dan dari struktur
ke agen. Hal ini berarti konteks tidak terdapat dalam teks dan tidak didikte lingkungan
fisik dan sosial. Konteks dikonstruksi partisipan secara aktif dalam negosiasi
interaksional. Inilah aspek kreativitas bahasa.
Dengan kata lain analisis terfokus pada semakin tekstual dan kontekstual. Ia
mencari keseimbangan antara keduanya. Dalam pandangan ini kontekstualisasi sama
dengan indeksikalisasi yang menunjuk ciri-ciri setting yang dipakai penutur dalam
membangun kerangka interpretasi. Kontekstualisasi adalah hubungan indeksikal yang
dibangun dalam bertutur. Ia menunjukkan kegiatan aktif penutur dalam bertutur. Ia
menunjuk pada dua arah yaitu kotekstualitas, semacam kontekstualisasi khusus, dan
kontekstualisasi dalam pengertian umum.
2.2.2 Entekstualisasi
Konsep teks berkembang ke entekstualisasi. Dibedakan antara teks dan wacana.
Entekstualisasi adalah proses pengangkatan segmen wacana – teks - ke konteks lain,
suatu proses dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi.
Kalau proses kontekstualisasi mendekatkan bahasa ke realitas, proses
entekstualisasi merupakan proses kegiatan berbahasa yang sebaliknya. Entekstualisasi
merupakan kegiatan terbalik dari kontekstualisasi. Ia bukan mendekatkan teks pada
konteks. Ia malah mengeluarkan segmen teks dari konteksnya. Proses ini disebut
dekontekstualisasi. Bauman and Briggs mendefinisikannya sebagai,
5
‘the process of rendering discourse extractable, of making a stretch of linguistic
production into a unit – a text – that can be lifted out of its inteactional setting. The text is
discourse rendered decontextualizable. It is then recontextualized in another context.
(Bauman and Briggs 1990, 73).
Proses mengeluarkan wacana, membuat sebuah untaian produksi bahasa ke dalam suatu
unit – sebuah teks – yang dapat diangkat keluar dari lingkungan interaksionalnya. Teks
itu adalah wacana yang didekontekstualisasi. Ia lalu direkontekstualisasi ke dalam
konteks lain.
Misalnya, wacana panjang hasil wawancara seorang wartawan. Dia
berentekstualisasi dengan mengangkat potongan teks yang didekontekstualisasikan dari
konteks wawancara lalu direkontekstualisasikan ke konteks laporan berita. Ini ciri khas
bicara manusia seperti yang terjadi dalam berbagai pidato yang diisi peribahasa dan local
wisdom dari budaya daerah dan asing. Genre terbuka dan melahirkan relasi
intertekstualitas.
Hal ini berkaitan dengan kekuatan refleksif bahasa, yaitu ‘ia bisa dipakai
membicarakan dirinya sendiri’ dan ini dapat dilihat dalam fungsi metabahasa dan fungsi
puitik. Secara umum fungsi metabahasa mengobjektivasi wacana dengan memakai
wacana sebagai topiknya. Fungsi puitik memanipulasi ciri-ciri formal wacana dengan
mengarahkan perhatian pada struktur formal yang darinya wacana dikelola (p. 73).
Proses dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi transformasional. Bauman and
Briggs memberikan beberapa proses transformasi yang dipakai antara lain (Briggs and
Bauman 1992):
1) bingkai (framing) berkaitan dengan managemen metakomunikatif
rekontekstualisasi teks. Bagaimana posisi (footing) yang diambil terhadap teks dalam
proses rekontekstualisasi. Apakah repetisi atau kutipan? Penting di sini peneltitian yang
berkaitan dengan kutipan langsung dan metapragmatik. Pragmatik adalah praktek dalam
kaitannta dengan interpretan. Metapragmatik berbicara mengenai kegiatan prakmatik
pemakaian bahasa.
2) bentuk (form) termasuk bentuk formal dan struktur dari fonologi sampai
wacana. Berfokus pada dimensi transformasi formal dari satu konteks ke konteks lain
memberikan ide perkembangan evolusi genre.
3) fungsi dan lain-lain.
Banyak yang walaupun sudah memakai pendekatan teks masih mendefinisi teks
dan genre dari sudut paradigma struktural yang menekankan klasifikasi berdasarkan tipe
dan ciri-ciri internal teks yang statis, tertutup, dan homogen gaya seperti tampak dalam
pembagian teks laporan informatif, laporan hasil pengamatan, teks naratif, dan teks
deskriptif.
Padahal ini tidak dapat dipertahankan. Bahasa sebagai teks seyogianya menganut
konsep genre tingkat praktis, sebagai ’tipe ujaran yang relatif stabil, tematik,
komposisional, dan stilistik’ (Bakhtin 1986) serta intertekstual (Briggs and Bauman
1992).
2.2.3 Intertekstualitas
Berkaitan dengan entekstualisasi adalah fenomena intertekstual. Intertekstual
adalah relasi antar teks. Bila sebuah teks didekontekstualisasi dan direkontekstulisasi
6
dalam konteks baru maka akan terjadi apa yang Briggs dan Bauman sebut kesenjangan
intertekstual antara model umum ideal yang teks acuh dengan teks aktual yang dilakukan
(Briggs and Bauman 1992). Kesenjangan intertekstual ini bisa diminimalkan dan
dimaksimalkan. Foley memberikan beberapa contoh (Foley 2001 [1998]). Misalnya,
dalam berceritera kita meminimalkan hubungan antara model umum dan yang sedang
dilakukan dengan masih memakai alat bingkai (framing) ’pada suatu hari’. Tapi kalau
ungkapan ini secara kreatif dipakai oleh seorang akademisi dalam mempresentasikan
makalahnya maka dia memaksimalkan kesenjangan intertekstualitas. Cara lain dalam
melihat perbedaan antara meminimalkan dan memaksimalkan kesenjangan intertekstual
adalah dengan mempertimbangkan kelenturan kemungkinan rekontekstualisasi teks.
Performans meminimalkan kesenjangan intertekstual manakala ia menerapkan secara
tegas interpretasi yang terdapat pada rekontekstualisasi teks. Sebaliknya, kesejangan itu
melebar bila terbuka terhadap macam-macam interpretasi. Misalnya, makalah akademik
dimulai dengan ’pada suatu hari’.
Kuipers telah menerapkan teori meminimalkan kesenjangan intertekstual dengan
membandingkan tuturan-tuturan ahli ritual dalam masyarakat Weyewa. Dalam ritual
pemberkatan para pemimpin ritual berusaha meminimalkan tuturan mereka dengan versi
yang mereka terima dari nenek moyang (Kuipers 1990).
3. Teks interaksional
Bila teks denotasi mempertanyakan ’apa yang dikatakan penutur’, teks
interaksional mempertanyakan ’apa yang sebenarnya terjadi’. Teks interaksional adalah
teks relasi sosial yang dikonstruksi dalam berteks denotasi. Di sini ditekankan aspek
sosial bahasa. Bahwa bahasa menghubungkan manusia dengan manusia dan
menyanggupkan mereka berpartisipasi dalam sejumlah kegiatan sehari-hari dalam
berbagai domain kehidupan sosial seperti membangun identitas, gender, kelas,
kekerabatan, penghormatan, status, dan hierarki (Agha 2007).
Aspek teks inilah yang tidak dibahas dalam pandangan struktural, sebab fungsi
tuturan yang dominan adalah fungsi acuan (referential). Misalnya, A berkata kepada
B, ’Hujan turun’. Dari sudut paradigma struktural, potongan teks ini masuk ke dalam
genre teks informatif. Makna acuannya adalah ’butir-butir air turun dari langit’.
Makna ini tidak pernah cukup sebab selain makna denotasi, peristiwa-peristiwa
tutur juga punya fungsi non-referensial. Lewat tuturan kita dapat melakukan pembatasan
sosial dan bukan secara fisik memisahkan partisipan. Misalnya memakai bahasa asing
yang tak dimengertinya, atau memakai kata ganti orang yang melakukan pembatasan
sosial atau memakai tulisan dalam mengkomunikasikan sesuatu di depan orang buta
huruf.
Demikian pula, tujuan-tujuan dalam berkomunikasi yang non referensial ialah
menunjukkan tingkat sosial seseorang, menyembuhkan penyakit, memberikan perintah,
mengubah status sosial secara tetap, mengawinkan dua orang dan seterusnya. Dalam
bertutur kita dapat menunjukkan hubungan sosial dengan lawan bicara atau orang yang
dibicarakan, presentasi diri sebagai orang yang masuk ke dalam kelompok tertentu, kelas,
dan pekerjaan, atau kategori orang lain. Dengan kata lain dalam berteks denotasi penutur
berteks interaksional yaitu mengonstruksi relasi sosial sebagai komponen makna.
Ujaran ’Hujan turun’ membangun berbagai relasi sosial, seperti relasi sosial kesopanan
dengan perintah tak langsung ambil jemuran atau sediakan payung, penolakan terhadap
7
ajakan keluar, keluhan, dan peringatan datangnya banjir. Kata-kata punya efek sosial
dramatis dalam membangun relasi sosial, positif atau negatif, dan harmonis atau
disharmonis.
Jadi teks secara umum tidak saja berarti ’ungkapan pikiran manusia yang lengkap’
tetapi juga penyadaran manusia sebagai makhluk sosial. Kompetensi berbicara berarti
kompetensi membangun relasi sosial. Hilangnya kompetensi ini bisa berakibat hilangnya
etiket berbahasa dan budi pekerti dalam berinteraksi sosial.
Dalam kaitannya dengan performativitas (Austin 1962), kompetensi lain yang
dibina adalah membangun social power ke dalam tuturan. Terpenting di sini hubungan
dialektis antara kontekstualisasi dan entekstualisasi (Bauman and Briggs 1990).
4. Teks mediasi semiotik
Bagaimana menghubungkan kedua teks di atas? Dua hal yang perlu diperhatikan
yaitu bagaimana isyarat-isyarat bahasa (cues) yang terdapat dalam teks denotasi
menunjuk aspek-aspek konteks relevan, dan bagaimana mereka membangun posisi-posisi
interaksional.
Mediasi adalah sebuah konsep yang menghubungkan ujaran dan konteksnya.
Ujaran-ujaan berisi indeks yang menunjukkan bagaimana konteks dipahami. Semiotik
adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda dan pemakaian tanda. Teks mediasi semiotik
berteori tentang isyarat-isyarat kohesif dan koheren pembentuk teks kotekstualitas teratur,
suatu struktur puitik, yang mengindeks konteks relevan dan posisi-posisi interaksional.
Misalnya, dalam contoh ’Hujan turun’ konteks relasi sosial yang relevan belum bisa
ditentukan. Dibutuhkan ujaran-ujaran selanjutnya yang akan membentuk struktur puitik
untuk menetapkan relasi sosial yang relevan.
Teori yang dipakai adalah teori semiotik Peirce. Menurut Peirce,
‘A sign, or representamen, is something which stands to somebody for something in
some respect or capacity. It addresses somebody, that is, creates in the mind of that
person an euivalent sign, or perhaps a more developed sign. That sign which it creates I
call the interpretant of the first sign. The sign stands for something, its object. It stands
for that object, not in all respects, but in reference to a sort of idea, which I have
sometimes called the ground of the representamen (Peirce 1955 [1940]).
Sebuah tanda, atau representamen, adalah sesuatu yang menunjuk pada seseorang untuk
sesuatu dari beberapa sudut atau kapasitas. Ia menyapa seseorang, yaitu, menciptakan
dalam diri orang itu tanda yang sama, atau sesuatu tanda yang lebih berkembang. Tanda
yang ia ciptakan itu saya sebut interpretant dari tanda pertama. Tanda menunjuk pada
sesuatu, objektnya. Ia menunjuk objek itu, bukan dalam semua segi, melainkan dalam
kaitannya dengan semacam ide, yang kadang-kadang saya sebut dasar representamen.
Definisi di atas dapat digambarkan dalam dua diagram berikut ini:
8
Dalam definisi dibedakan beberapa komponen tanda yaitu tanda sebagai
representamen, objek dan ground atau ide. Selain itu terdpat pula interpretan. Bagi Peirce,
tanda adalah sesuatu yang menunjuk pada sesuatu yang lain. Ia berbicara tentang relasi
penunjukan relasi ’standing for’. Seperti diketahui relasi semacam ini
menimblkan ’rupture’, suatu keterpisahan antara tanda dan objeknya sehingga timbul
permasalahan apakah keduanya dapat dihubungkan kembali.
Ia juga menghubungkan tanda dengan seseorang yang ia sebut interpretan.
Interpretan berkaitan dengan pemahaman. Namun berbeda dari Saussure yang
memandang sisi produksi dan resepsi ujaran sebagai sesuatu yang homogen, Peirce
melihatnya sebagai sesuatu yang aktif. Tanda yang diterima dapat merupakan tanda yang
sama tetapi ia juga dapat menjadi tanda yang lebih berkembang.
Tanda juga dihubungkan dengan objek tapi lewat ide (ground). Dalam pandangan
ini tanda terhubungan dengan objek yang ada di dunia, kelas benda-benda lewat ide.
Dengan kata lain sebuah tanda terhubungkan dengan objeknya lewat ide. Ide inilah yang
kurang lebih sama dengan petanda (signified) dalam semiologi Saussure.
Berdasarkan komponen-komponen tanda di atas, Peirce membagi tanda ke dalam
tiga trikotomi. Trikotomi pertama adalah tanda dalam dirinya sendiri dan dibagi ke dalam
qualisign, sinsign dan legisign. Trikotomi kedua membagi tanda ke dalam ikon, indeks
dan simbol. Akhirnya, trikotomi ketiga membagi tanda ke dalam rema, decisign dan
argumen.
Teori tanda yang relevan adalah trikotomi kedua yang berpusat pada teori
indeksikalitas. Dalam trikotomi kedua Peirce membahas tanda sebagai ikon, indeks dan
simbol (Peirce 1955 [1940]). Bila tanda terhubungan dengan objeknya berdasarkan
kemiripan maka itu disebut ikon misalnya onomatope dalam bahasa. Bila tanda
terhubungan dengan objek berdasarkan hubungan kausal maka itu disebut indeks.
Indeks merupakan konsep penting. Dalam satu definisinya, indeks adalah ’a sign
which refers to the Object that it denotes by being really affected by that object (suatu
tanda yang menunjuk Objek yang ditunjuknya dengan dipengaruhi oleh objek itu) (hal
102). Secara umum sebuah indeks membangun relasi dengan objek berdasarkan
TANDA
(REPRESENTAMEN)
TANDA
INTERPRETANT
OBJEK GROUND
(IDE)
OBJEK GROUND
(IDE)
DIAGRAM 1 DIAGRAM 2
9
kontiguitas, kausalitas dan koeksistensi. Koeksistensi sebuah indeks dan objeknya berada
pada tempat dan waktu yang bersamaan. Seperti yang dijelaskan Hanks,
‘because of the dynamical relation, indexes direct the attention of the interpreters as if by
blind compulsion. At the token level, indexes are as direct as the door bell is to the
visitor ... the token level is especially weighted toward the index because of its focus on
dynamical relations of coexistence (Hanks 1996).
‘karena relasi dinamis, indeks mengarahkan perhatian interpreter seperti sebuah
dorongan buta. Pada tingkat token, indeks bersifat langsung seperti bunyi lonceng pintu
pada pengunjung ... tingkat token khusus condong pada indeks karena fokusnya pada
relasi dinamis koeksistensi...
Ujaran-ujaran penuh dengan tanda indeks. Dalam ujaran ’Saya pergi’ kata ’saya’
merupakan indeks yang menunjuk pada orang yang mengucapkannya. Kita mengetahui
siapa yang pergi setelah mengetahui siapa yang mengucapkannya. Akhirnya, bila tanda
terhubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi maka itu disebut simbol (bdk.
Sandarupa 2013b)
Konsep indeks dalam Peirce berlaku untuk satu tanda satu objek. Hal ini
kemudian dikembangkan Silverstein pada tingkat teks mediasi (Silverstein 1976), suatu
struktur kotekstualitas, kontekstualisasi khusus yang indeksikal. Teori ini eklektik karena
ditunjang teori percakapan dengan konsep emergent structure (Schegloff and Sacks
1973) dan teori sastra dialogisme Bakhtin khususnya voice (Bakhtin 1981 [1935]) dan
teori puitik (Jakobson 1960).
Konsep struktur yang mengemuka (emergent structure) penting dalam membuat
interpretasi tentang posisi-posisi interaksional. Sebuah ujaran dapat saja dikaitkan dengan
berbagai suara (voice). Konsep voice (suara) juga berkaitan posisi interaksional. Dalam
kehidupan dunia sosial terdiri atas banyak kelompok manusia yang dapat didefinisi
berdasarkan posisi sosial dan komitmen ideologi. Pemakaian kata-kata tertentu
mengindeks kelompok tertentu. Suara-suara tertentu merupakan cara bicara tipe atau
kelompok orang tertentu. Konsep ini menjelaskan kohesi dan koherensi dalam ujaranujaran
(lihat apendiks 2). Misalnya, ujaran-ujaran seperti ’sudah diamankan’, ’ketatkan
ikat pinggang’, ’bahaya laten komunis’ mengindeks kelompok regim Suharto dalam
suatu posisi interaksional. Konsep dialogisme juga dipakai dalam menginterpretasi
posisi-posisi interaksional. Konsep ’dialogisme’ dibedakan dari dialog. Sementara dialog
berarti hubungan percakapan interaktip antara dua orang, dialogisme adalah dinamika
internal tuturan seorang pembicara, dimana sebuah tuturan sudah selalu berhubungan
dengan tuturan lain, entah itu suatu jawaban, persetujuan, perjuangan atau bahkan
perlawanan (Bakhtin 1981 [1935]).
Akhirnya, struktur kotekstualitas itu sebenarnya berkaitan dengan fungsi puitik.
Dalam pandangan Jakobson bahasa multifungsi dan ini berkaitan dengan komponenkomponen
dalam komunikasi verbal. Terdapat enam komponen yaitu penutur, pendengar,
konteks, pesan, kontak dan kode. Masing-masing komponen ini berkaitan dengan fungsifungsi
bahasa. Keenam fungsi itu secara berturut-turut ialah fungsi emotif, konatif,
referensial, puitik, fatik dan metabahasa.
Fungsi-fungsi ini bukannya berdiri sendiri. Yang terjadi adalah dominansi fungsi
dalam satu ujaran tanpa mengeluarkan fungsi lain. Yang penting juga diingat bahwa pada
10
dasarnya terdapat dua fungsi utama yaitu fungsi referensial dan fungsi puitik. Bila
perhatian diarahkan pada konteks maka yang mendominasi adalah fungsi referensial. Bila
perhatian diarahkan pada pesan maka yang mendominasi adalah fungsi puitik.
Dua fungsi penting yang dibicarakan dalam makalah ini ialah fungsi metabahasa
dan fungsi puitik. Yang pertama membedakan bahasa objek yang berbicara tentang objek
dan metabahasa yang berbicara tentang bahasa dalam hal ini bahasa sebagai teks. Yang
kedua berpusat pada fungsi puitik yang merupakan struktur kotekstualitas yang
mengindeks konteks yang relevan. Kata Jakobson, poetic function projects the principle
of equivalence from the axis of selection into the axis of combination (fungsi puitik
memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari aksis seleksi ke aksis kombinasi (hal 356).
Ekuivalensi dapat berarti kemiripan/ketidakmiripan, sinonim/antonim dan sebagainya. Ia
merupakan struktur puitik yang mengindeks konteks relevan dalam interpretasi.
Silverstein memperlihatkan dua cara menghubungkan teks dan konteks, yang
masing-masing disebut presuposisi indeksikal (indexical presupposition) dan penciptaan
indeksikal (indexical entailment) (Silverstein 1976). Mereka merupakan dua wajah
indeksikal. Presupposisi indeksikal adalah kepatutan konteks. Kaidah presupposisi
indeksikal mengatakan bahwa dalam konteks tertentu ada bentuk tanda tertentu yang
dipakai. Tanda-tanda mengandaikan konteksnya. Dalam hal ini terdapat norma-norma
yang mengatur tanda-tanda apa yang dipakai dalam konteks tertentu. Dengan kata lain
tanda-tanda mengandaikan aspek situasi tuturan. Misalnya, shifter, indeks referensial,
atau tanda dupleks. Disebut shifter karena acuan berpindah secara teratur, tergantung
pada faktor situasi tuturan. Silverstein menyebutnya indeks referensial karena ia
mengandung acuan dan indeks pada saat yang sama. Jakobson menyebutnya dupleks
karena ia beroperasi pada tingkat kode and pesan bersamaan.
Dalam hal ini kita tidak dapat menginterpretasi suatu shifter bila kita tidak
mengetahui aspek situasi. Pemakaian tanda mengandaikan adanya suatu objek secara
fisik. Misalnya, kala dalam bahasa Inggris dan deiksis. Pemakaian deiksis dalam
ungkapan meja ini, meja itu sambil menunjuk suatu objek. Acuan meja diidentifikasi dan
berada secara kognitif untuk suatu dektik dapat diinterpretasi. Pemakaian suatu deiktik
mengandaikan keberadaan fisik suatu objek yang dapat ditunjuk sebagai meja (Silverstein
1976, 33). Suatu tindakan kreasi.
PENUTUR
(EMOTIF)
PENDENGAR
(KONATIF)
KONTEKS
(REFERENSIAL)
PESAN
(PUITIK)
KONTAK
(FATIK)
KODE
(METABAHASA)
11
Konsep penciptaan indeksikal, pada pihak lain, adalah keefektifan dalam konteks.
Biasa disebut kreativitas atau performativitas indeksikal. Ia berkaitan dengan pemakaian
tanda indeksikal yang murni atau indeks yang non-referensial. Ia berfungsi bukan untuk
mengubah konteks tapi membuat parameter terbuka dan eksplisit untuk peristiwa yang
sedang terjadi. Misalnya, pemakaian tanda indeksikal saya/kami/kita dan anda (sebagai
lawan dari dia/itu/mereka) yang dipakai untuk membatasi persona peristiwa tutur sendiri;
kosa kata penghormatan (deference vocabularies) yang membuat parameter sosial
penutur dan pendengar eksplist (p.34).
Inilah satu aspek yang membangun kekuatan sosial (social power) dalam interaksi
yaitu bagaimana membangun performans dalam konteks situasional atau membawa teks
ke realitas. Baik bentuk, fungsi, maupun makna tak dapat dipahami terlepas dari konteks.
Struktur pada tingkat ini adalah struktur menengah yang berbeda dari struktur teks
denotasi. Struktur inilah yang bermain dalam interaksi komunikasi sosial. Struktur ini
merupakan hasil negosiasi dalam interaksi verbal.
Kompetensi yang dibagun adalah kemampuan memakai dan memahami isyaratisyarat
bahasa dalam proses komunikasi dan relasi sosial yang dikonstruksi.Tujuannya
untuk mencegah terjadinya pertengkaran dan perdebatan, serta konflik antar kelompok
dalam masyarakat multibahasa dan multikultur Indonesia karena salah memberi isyarat
dan interpretasi.
5. Kesimpulan
Teori teks – konteks yang sudah dijabarkan di atas dapat digambarkan secara
sederhana sebagai berikut:
Analisis yang dikembangkan mencari keseimbangan antara teks denotasi dan teks
interaksional. Prinsipnya adalah pembahasan harus semakin tekstual dan semakin
kontekstual. Dengan bertitik tolak pada dialektika antara kontekstualisasi dan
entekstualisasi, teori keagenan (agency) dikembangkan dimana peran penutur menjadi
penting sebagai agen.
Teks denotasi berisi sejumlah ujaran dan dalam ujaran-ujaran terdapat indeks
yang menunjuk pada konteks yang relevan yaitu teks interaksional atau hubungan sosial
antar penutur. Indeks terbangun sebagai suatu struktur kotektualitas yang mengindeks
posisi-posisi interaksional, yaitu ujaran-ujaran dikaitkan dengan suara kelompok tertentu.
Dengan kata lain struktur indeks – indeksikalitas – bersifat puitik dan inilah yang disebut
teks dan yang ditunjuk teks adalah konteks. Indeksikalitas atau yang Gumperz
sebut ’indexical cues’ (Gumperz 1982) merupakan bukti empiris dalam membuat
interpretasi konteks yang relevan.
TEKS DENOTASI
INDEKSIKAL
TEKS INTERAKSIONAL
12
Teori ini bertumpuh pada kekuatan refleksif bahasa yaitu kegiatan-kegiatan
dimana bahasa dipakai untuk membahas tentang bahasa. Kegiatan refleksif ini muncul
dalam berbagai cara seperti macam tanda yang dipakai mengungkapkannya, macam
fenomena yang dijelaskan, dan keterbukaannya dalam mengungkapkannya .
Satu kegiatan refleksif adalah metabahasa (metalinguistic) suatu kegiatan ilmiah
pendeskripsian bahasa, pemakainya, dan kegiatan yang dilakukan dalam pemakaiannya.
Komponen-komponen teks yang sudah dibicarakan di atas dimungkinkan oleh kekuatan
refleksif Bahasa Indonesia. Konsep-konsep di atas merupakan alat-alat metabahasa yang
dapat dipakai untuk membangun bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah sebagai teks.
Pengembangan kekuatan refleksif metabahasa Bahasa Indonesia akan berguna
untuk membangun model kehidupan sosial refleksif yang mengatur kehidupan sosial.
13
DAFTAR PUSTAKA
Agha, Asif
2007 Language and social relations. Cambridge: Cambridge University Press.
Austin, J.L
1962 How to do things with words. Cambridge, Mass.: Harvard University
Press.
Bakhtin, M
1981 [1935] The dialogic imagination. C.E.M. Holquist, transl. Austin:
University of Texas Press.
Bakhtin, MM
1986 The problem of speech genres. In Speech genres and other late essays.
C.E.a.M. Holquist, ed. Pp. 60-102. Austin: University of Texas Press.
Bauman, Richard, and Charles L Briggs
1990 Poetics and performance as critical perspectives on language and social
life. Annu.Rev. Anthropolo. 19:59-88.
Boas, F.
1966 [1911] Introduction to handbook of American Indian languages, Indian
linguistic families of America north of Mexico. P. Holder, ed. Lincoln: University
of Nebraska Press.
Bowen, John R
1991 Sumatran politics and poetics: Gayo history 1900-1989. New Haven and
London: Yale University Press.
Briggs, Charles L, and Richard Bauman
1992 Genre, intertextuality, and social power. Linguistic Anthropology
2(2):131-172.
Chomsky, Noam
1965 Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge, MA: MIT Press.
Errington, J Joseph
1988 Structure and style in Javanese: a semiotic view of linguistic etiquette.
Philadelphia: University of Pensylvania Press.
Foley, William A
2001 [1998] Anthropological linguistics. Massachusettes: Blackwell Publishers.
Geertz, Clifford
1970 [1960] The religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
Gumperz, J
1982 Discourse strategies. Cambridge: Cambridge University Press.
Halliday, M.A.K
1985 An introduction to functional grammar. London, New York: Edward,
Arnold.
Hanks, William F
1996 Language and communicative practices. Colorado: Westview Press Inc.
Jakobson, Roman
14
1960 Closing statement: Linguistics and poetics. In Style in language. T.
Sebeok, ed. Cambridge, MA: MIT Press.
Keane, Webb
1997 Signs of recognition: power and hazards of representation in an Indonesian
society. Berkeley: University of Calofornia Press.
Kuipers, Joel C
1990 Power in performance. Philadelphia: University of Pensylvania Press.
Payne, Thomas
1997 Describing morphosyntax. Canbridge: Cambridge University Press.
Peirce, C.S., ed.
1940[1955] Philosophical writings of Peirce. New York: Dover.

1955 [1940] Logic as semiotic: the theory of signs. In Philosophical writings of
Peirce. J. Buchler, ed. New York: Dover Publications, INC.
Ricoeur, Paul
1976 Interpretation theory: discourse and the surplus of meaning. Texas: Texas
Christian University Press.

1991 From text to action: Essays in hermeneutics, II. Illinois: Northwestern
University Press.
Sandarupa, Stanislaus
2004 The exemplary center: poetics and politics in the kingly death ritual in
Toraja south Sulawesi Indonesia. Dissertation, The University of Chicago.

2013a Bahasa politik di era demokrasi. In Kompas. Pp. Hal 7. Jakarta.

2013b The deictic system in Toraja. Work in progress.

2013c The voice of a child: constructing a moral society through the retteng
poetic performace in Toraja, Sulawesi, Indonesia. Work in progress.
Sapir, Edward
1921 Language: an introduction to the study of speech. New York: A Harvest
Book.
Saussure, Ferdinand de
1966 [1959] Course in general linguistics. New York: The Philosophical
Library Inc.
Schegloff, E, and H. Sacks
1973 Opening up closings. Semiotica 8:289-327.
Silverstein, M.
1984 On the pragmatic poetry of 'prose': parallelism, repetition, and cohesive
structure in the real time course of dyadic conversation. In Meaning, form, use in
context: linguistic applications. D. Schiffrin, ed.

1987 The three faces of function: preliminaries to a psychology of language. In
Social and functional approaches to language and thought. M. Hickman, ed.
Orlando, Florida: Academic Press, Inc.
15

1998a The improvisational performance of 'culture' in real time discursive
practice. In Improvisation. R.K. Sawyer, ed. Norwood, NJ: Ablex.
Silverstein, Michael
1976 Shifters, linguistic categories, and cultural descriptions. In Meaning in
anthropology. K.H. Basso and H.A. Selby, eds. Pp. 11-55. Albuquerque:
University of New Mexico Press.

1993 Metapragmatic discourse and metapragmatic function. In Reflexive
language: reported speech and metapragmatics. J.A. Lucy, ed. New York:
Cambridge University Press.

1998b The uses and utility of ideology: a commentary. In Language and
ideologies: practice and theory. B. Schieffelin, Woolard, Kathryn A., & Kroskrity,
Paul V., ed. Oxford, New York: Oxford University Press.

2001 Functions. In Key terms in language and culture. A. Duranti, ed. Maiden,
Massachusettes: Blackwell Publisher.

2003 Indexical order and the dialectics of sociolinguistic life. Language and
Communication.
Whorf, Benjamin, Lee
1956 Language, thought and reality. Cambridge, Massachusette: MIT Press.
Apendiks 1: Penerapan
Teori teks ini ditumbuhkembangkan di Chicago di bawah bimbingan Michael
Silverstein. Sejumlah peneliti telah menerapkan teori ini di seluruh dunia termasuk di
Indonesia. Peneliti menghubungkan konsep kontekstualisasi dengan konsep social power.
Berlatar belakang penelitian Geertz tentang etiket linguistik di Jawa (Geertz 1970 [1960]),
Errington meneliti gaya-gaya tuturan yang memediasi relasi sosial dalam interaksi verbal
(Errington 1988). Webb Keane meneliti tuturan ritual masyarakat Anakalang di Sumba
dengan berfokus pada faktor risiko dan bahaya dalam kehidupan sosial (Keane 1997).
Bowen meneliti masyarakat Gayo di Sumatera dan pengaruh makro faktor sejarah yang
punya efek indeksikal pada sastra Gayo (Bowen 1991).
Kuipers mengembangkan konsep entekstualisasi dalam tuturan ritual masyarakat
Weyewa di Sumba, yang berbicara sedemikian rupa sehingga mirip dengan suara nenek
moyang. Dan ini dikaitkan dengan konsep inskripsi teori hermeneutik (Ricoeur 1976;
Ricoeur 1991). Penulis menerapkan teori ini pada sastra-satra lisan Toraja (Sandarupa
2004) dan pada teks pidato politik (Sandarupa 2013a).
Apendiks 2: Retteng, argumentasi puitik di Toraja
Sumber data adalah sastra lisan retteng yang dikumpulkan di Randan Batu, Toraja
pada bulan Oktober 1994 (Sandarupa 2004; Sandarupa 2013c).
16
Teks 1: A
A
eee ..... eeee.....eeee heee.......heeee
(1) tabe’ kupadolo lam- (1) yang saya hormati
amban siman mata lam- Yang saya muliakan
alan le eeee lako
(2) to unno’ko’ massali am- (2) mereka yang duduk di lantai lumbung
alang tasik ma’kambuno sam- yang sedang duduk di perlindungan langit-langit lumbung
depan
aane’ le le leeee
(3) tang marendengna’manim- (3) jangan sampai saya tak selamat
indi tang ganna’ massai lam- tidak hidup panjang
aan angkole eee... eee.....
(4) bendanna’ te umbating (4) berdiri saya melakukan ratap ini
ke’de’na’ te ma’rio-rim- berdiri saya mengungkap kesedihan ini
rio le eeee eee
(5) nakuaku batim- (5) kata ratapku
iingku
pangngo’tonan mariom... ungkapan kesedihanku
ooku leee... leee...
(6) unno’ko’na’ membungku’ sam- (6) saya duduk memakai sarung
ambu’ leee
bintin massalungku’ luam- sedang duduk berselimut
aangan leee
(7) denri pia’-pia’ len- (7) hanya karena ada seorang anak
eendu’ baiti’ untuleram- si kecil berceritera
aana’ leee
(8) to umpennampa’ duri bam- (8) seseorang bertikarkan duri palem
anga to umpennallon duu- berbantalkan duri
uuri leee
(9) tang malanapa ampa’- (9) belum licin tikarnya
aa’na
tang solongpa allonam- belum halus bantalnya
(10) tang solongpa allonanna olee (10) belum halus bantalnya
TEKS 2: B
em lee eee
(11) langngan kutongan tom- (11) ke atas saya benarkan
ooda’ ee
endek kutundu malem- saya dukung dengan jernih
eeso lee...
(12) kendek masapi medum- (12) naik belut besar mencari daging
uuku’ eee
puarang mantaa pam- bengkarung membagi daging
adang leee....
(13) pasapu-sapu ikko’ (13) ekornya menggelitik
oo’na pasulilang saresem- siripnya menusuk
eena lelele ee leee
(14) ulunna pakadakean (14) kepalanya merusak
ulunna pakadakean kepalanya merusak
TEKS 3: A
17
eee....eee... eee...eeee
(15) buda londong lan te tom- (15) banyak ayam jantan di negeri ini
oondok
saungan lan te panglim- ayam sabungan di kampung ini
iion leee
(16) sisonda-sonda unnom- (16) sahut menyahut berganti-ganti
ooni sisolon ma’kua kum- berkokok bergantian
(17) uua lee...eee.. iaku te akum- (17) leee ... mengenai saya ini
unna
tu kale misa-misam- diri saya sendiri
angku lee
(18) indara manarang pam- (18) siapa yang pandai
aande tu tau rangga inam- yang berpengetahuan luas
aaya leee... leee
(19) ungkitta’ simpona mam- (19) yang dapat melihat gigi tanggal ayam
aanuk tangke isinna pa’kum- gigi hilangnya ayam piaraan
urung leee...
(20) ubanna koro’-koro’, (20) bulu putih burung bangau
ubanna koro’-koro’ bulu putih burung bangau
olelele...
TEKS 4: C: sambo retteng, penutup retteng
ee.eee...eeee ee....eee...
(21) kita mentu’ te totom- (21) kita semua ini yang hadir
oongkon mairi’ ma’rio-rim- semua yang sedang bersedih
rio le..le...
(22) tontong meloi bam- (22) buatlah ratapan selalu baik
aati
tadende’ maya-mayam- kita membuatnya baik
aai lee lee lee
(23) dendika lindona sem- (23) adakah wajah lain?
eÅ‹a’
le’ke’ri pa’todingan- tanda yang lain
aanta le leeee
(24) den o upa’ tapoum- (24) harap kita punya harapan
upa’
paraya tapoparam- harapan yang memuliakan
ayana le..eee...eee
(25) tamasakke’ solanam- (25) semoga kita selamat
asang
madadinding sola mentu’ semua dilindungi
(26) madadinding sola mentu’ (26) semua dilindungi
Persoalan utama adalah bagaimana kita membuat interpretasi terhadap interaksi
berpuisi antara tiga orang di atas dalam suatu upacara kematian di Toraja, suatu
interpretasi yang punya dasar ilmiah?
1. Teks denotasi: menjawab pertanyaan ‘apa yang dikatakan’.
Ketiga potongan puisi yang dipakai dalam berargumentasi dianggap merupakan
satu kesatuan dan dibagi ke dalam tiga bagian.
Dalam bagian A aspek-aspek teks denotasi yang menarik diperhatikan ialah:
18
1) metapragmatic descriptors: deskriptor yang menjelaskan cara mengatakan. Ia
merupakan cara kuat dalam menjelaskan konsep ’suara’ dan ventrilokusi (Bakhtin)
seperti kua, ’mengatakan’, untule’, ’berceritera’, umbating, ’meratap’, ma’riorio,
’bersedih’, dan o’ton, ’menekan’.
2) Kontekstualisasi yang terdapat dalam pemakaian deiktik kata ganti orang pertama dan
deiktik demonstratif. Di samping itu, terdapat dua level teks denotasi dalam tuturan puitik
A: peristiwa dituturkan dan peristiwa menuturkan (6-7). Dalam peristiwa yang dituturkan
seorang anak berceritera kepada A. Kontekstualisasi dilakukan dengan memakai kata
ganti pertama tunggal /-na’/. Dalam peristiwa menuturkan, A berpuisi di depan partisipan
lain dalam retteng. Proses kontekstualisasi terjadi juga dalam satu bentuk ujaran cleftconstruction
(7) denri pia’-pia’, ’adalah seorang anak yang ...’. kata kerja deskriptor
metapragmatik yang dipakai ialah untuleran, ’berceritera’. Dengan konstruksi khusus ini
A memperkenalkan topik utama ’suara anak-anak’. Benarkah itu? Jawaban terhadap
pertanyaan ini ditentukan oleh jawaban B.
3) Entekstualisasi: proses entekstualisasi ditemukan dalam peristiwa yang dituturkan.
Konteks sebelumnya adalah berceritera dan dalam konteks menuturkan berpuisi (8 suku
kata, penyembunyian fonologis, metafor, metonim).
4) Gaya: metafor (8-9)
B: inti jawaban B ada dalam baris 12 dengan memakai metafor: muncul belut besar
mencari daging, bengkarung membagi daging, dan baris 13) ekornya menggelitik,
siripnya menusuk. Baris 14) kepalanya merusak, kepalanya merusak. Ini metafor indah
kebalikan dari metafor A.
A: kembali menjawab. Inti jawabannya ada dalam baris 17-20. Dalam baris 17 terdapat
emakaian deiktik demonstratif yang hebat untuk mendefinisi dirinya. Sedangkan baris 18
merupakan pertanyaan retoris tentang keahlian seseorang yang dapat melihat gigi tanggal
ayam dan bulu putih burung bangau, pengetahuan yang palsu.
C: melihat keadaan semakin seru, C menengahi. Ia berargumentasi bahwa kita ini adalah
satu kesatuan rumpun keluarga, kalau retteng dilakukan dengan baik maka akan
mendatangkan berkat, keselamatan, dan perlindungan dari atas.
2. Teks interaksional: menjawab pertanyaan ’apa yang terjadi’
Bagaimana kita menginterpretasi tuturan-tuturan puitis di atas yang relevan
dengan konteks? Hal ini ditentukan oleh apa yang Silverstein sebut ’poetic chunck’. Hal
ini lewat efek indeksikal sosial dalam interaksi. Ia ditentukan oleh dua hal yaitu
kotekstualitas dan jawaban terhadap tuturan puitisnya.
Dibedakan dua peristiwa interaksional dalam A. Interaksi antara A dan anak-anak
(pia’-pia’) dan interaksi antara A dan B serta C. Kedua interaksi ini dipusatkan pada
peran dan relasi yang dimainkan. Pertanyaan utama adalah suara apakah suara anak-anak
dan apakah topik ini yang diperdebatkan. Di sini dibutuhkan penelitian etnografi.
Interaksi A dan anak-anak: antara seorang tipe pemimpin dan anggota masyarakat.
Pemimpin mendapatkan laporan.
Interaksi A dan B: A mewakili suara anak-anak sehingga suaranya dan suara
anak-anak sama. Metafor yang dipakai B dalam mendeskripsikan metafor ceritera anak19
anak mentransformasi hubungan bukan lagi antara anak-anak dan A melainkan antara A
dan B. Apakah B masih membicarakan suara anak-anak? B membantah bahwa yang
disuarakan A bukan suara anak-anak melainkan suara orang jahat. Namun, A
mempersoalkan itu dan menuduh B punya pengetahuan yang palsu.
Jadi terjadi kontestasi pertarungan antara tipe orang berpengetahuan luas dan
sempit. Mulai tampak definisi suara anak-anak yaitu suara orang bijak dan
berpengetahuan luas. Berdasarkan penelitian etnografi yang lebih lanjut, dalam
masyarakat Toraja ditemukan dua keahlian utama (to manarang pande) yaitu ahli bicara
di upacara (tomina, tomenani, dan toburake) serta ahl bicara di bidang sosial politik
dalam mengambil keputusan (gora-gora tongkon, anak pare-pare nangka’). Suara C mirip
dengan suara A, menyuarakan pembangunan suatu masyarakat yang bermoral dengan
menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul. B sebaliknya adalah tipe orang yang lalai
dan membiarkan persoalan ada tanpa penyelesaian.
3. Teks mediasi semiotik: teks – konteks lewat mediasi semiotik indeksikalitas.
Argumentasi puitik di atas berpusat pada struktur kotekstualitas, suatu struktur
yang mempunyai berbagai nama seperti poetic chunck, emergent structure atau
kotekstualitas indeksikalitas. Struktur itu tampak sebagai berikut:
anak-anak : provokator :: ahli bicara: orang tidak ahli. Inilah teks yang ditemukan, ia
merupakan rekonstruksi struktur informasi dimana bagian-bagian informasi punya
hubungan khusus satu dengan yang lain. Teks adalah struktur kohesif hubungan
presuposisi dan entailment.
Struktur teks inilah yang mengindeks konteks interaksional yaitu menjawab
pertanyaan apa yang sedang terjadi.
1
Problem Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Teks Keilmuan
Siswa SMP dan SMA di Provinsi Sulawesi Tengah
oleh
Dr. Drs. Sugit Zulianto, M.Pd
Universitas Tadulako
Abstrak
Problem penggunaan bahasa Indonesia (BI) dalam teks keilmuan siswa SMP
dan SMA di Provinsi Sulawesi Tengah (PST) perlu dikaji secara
komprehensif. Setakat ini, problem itu kurang dipedulikan sehingga
berdampak pada daya nalar alumni SMP dan SMA PST. Padahal, dinamika
BI—sebagai wahana pembelajaran dan wadah penalaran multikeilmuan—
dapat dipantau sejak dini sebelum digunakan sebagai penghela peningkatan
mutu berbahasa keilmuan alumni SMP dan SMA di PST. Ada dua masalah
penting. (1) Bagaimana problem penggunaan BI dalam teks keilmuan siswa
SMP dan SMA di PST? (2) Bagaimana problem penalaran dalam teks
keilmuan siswa SMP dan SMA di PST? Tujuan penelitian, yaitu
mendeskripsikan (1) problem penggunaan BI dan (2) problem penalaran
dalam teks keilmuan siswa SMP dan SMA di PST. Hasil penelitian kualitatif
jenis studi kasus menunjukkan problem penggunaan BI dan problem
penalaran dalam teks keilmuan siswa SMP dan SMA perlu dijadikan sebagai
dasar pembinaan dan pengembangan BI masyarakat ilmiah di PST.
Kata kunci: problem penggunaan BI, problem penalaran, teks keilmuan
1. Pendahuluan
Dalam pencerdasan bangsa Indonesia, peran BI amat penting. Secara historis,
BI digunakan sebagai bahasa nasional (Collins, 2011:xvii) dan bahasa negara
(Alwasilah, 2012:239). Secara praktis, BI dipakai sebagai alat komunikasi
antarsuku. BI juga dipergunakan dalam komunikasi keilmuan—sebagai
bahasa pengantar dan mata pelajaran—di lembaga pendidikan. Sebagai
sarana keilmuan, BI amat fundamental dalam pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni (Suwignyo dan Santoso, 2008:3;
Kurniawan, 2012:19). Dengan BI, konsep keilmuan dan kreativitas budaya
dibentangkan. Itu menandakan bahwa sebagai sarana peningkatan harga diri
bangsa dalam pergaulan global, BI perlu dididikkan dengan bijak.
2
Untuk itu, pendidikan dasar dan menengah (PDM) perlu dipersiapkan secara
sistematis. Jika sekolah direnovasi, kurikulum perlu direformasi. Dengan
begitu, keterpaduan kualitas fasilitas dapat dioptimalkan untuk meningkatkan
mutu pembelajaran BI. Dalam pada itu, implementasi kurikulum pendidikan
BI harus berkualitas, bahkan sesuai dengan perkembangan masyarakat
majemuk (Arshad dalam Arshad dkk., 2012:20). Secara empiris, pendidikan
bahasa Melayu di Malaysia bermula dari sekolah (Othman dkk., 2009:38).
Senada dengan itu, inovasi peningkatan mutu layanan pendidikan BI perlu
diintensifkan di persekolahan Indonesia. Langkah itu disinyalir berdampak
pada pemercepatan pengembangan kompetensi ber-BI siswa.
Akan tetapi, pengembangan kompetensi ber-BI keilmuan siswa SMP/SMA di
PST masih dilematis. Usman (2013)—mantan guru BI di SMPN 1/pengurus
MGMP BI Kota Palu, PST—menyatakan tahun 2010 s.d. 2013, hasil Ujian
Nasional (UN) BI SMP rendah karena lemahnya minat baca dan terbatasnya
kompetensi guru BI. Senada dengan itu, kemampuan siswa SMA ber-BI
rendah karena kesulitan ber-UN berdasarkan kisi-kisi tertentu (Sudarman
dkk., 2011). Kekurangan fasilitas/keterbatasan kompetensi guru BI turut
melemahkan pembelajaran BI SMA. Jadi, keterbatasan pembelajaran BI
siswa SMP terulang di SMA sehingga masa pencerdasan siswa terlewati.
Berdasar wawancara/penelitian itu, penyebab kompetensi ber-BI siswa
rendah, yaitu tes ber-BI, strategi pembelajaran, dan minat belajar. Untuk itu,
tes perlu dilaksanakan sesuai dengan pandangan guru terhadap pembelajaran
bahasa (Djiwandono, 2011:18). Tes dapat berfungsi menunjukkan kesulitan
belajar siswa (Wahyuni dan Ibrahim, 2012:4). Selain itu, kompetensi siswa
ber-BI dapat disebabkan strategi pembelajaran yang kurang cermat
(Iskandarwassid dan Sunendar, 2011:4). Padahal, strategi pembelajaran
berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa kedua (Ghazali, 2013:8). Bertolak
3
dari itu, Ghazali (2010:119) menegaskan pentingnya pengoreksian problem
penggunaan BI siswa secara positif agar tidak menimbulkan beban psikologis
dalam pemerolehan bahasa.
Sekait dengan itu, kebiasaan salah ber-BI dapat memicu salah nalar, tetapi
cermat ber-BI memudahkan penyampaian gagasan (Kuntarto, 2008:25).
Dalam pada itu, jika pandangan Rosidi (2010) tentang masalah BI dan
rekaman Prasetyo (2013) tentang kasus kebahasaan diabaikan, praktik ber-BI
di perguruan tinggi sulit diwujudkan (Arifin dan Tasai, 2009; Arifin dan
Hadi, 2009; Rahardi, 2006). Ketika lemah ber-BI, siswa tentu sulit
menjangkau rekayasa literasi untuk memberdayakan nalar (Alwasilah,
2012:159). Jadi, keunggulan bangsa memerlukan keunggulan prestasi;
keunggulan prestasi memerlukan keunggulan berpikir; keunggulan berpikir
memerlukan keunggulan berbahasa (Suherdi, 2012:13). Wajar jika salah ber-
BI dan lemah bernalar dihindari.
Untuk itu, lingkungan akademis pembelajaran BI diperlukan untuk
mengembangkan perbendaharaan kata anak (De Bono, 2007:344). Jaringan
sosial anak dapat meluas (Tony dan Buzan, 2004:73). Lingkungan dapat
direkayasa dengan pajanan bahasa untuk mengungkap kebenaran (Musthafa,
2008:5; Sembok, 2007:13). Jika kebenaran sulit dipahami, kondisi itu belum
tentu disebabkan oleh batas nalar anak. Secara empiris, perkembangan nalar
cenderung sejalan dengan perkembangan sosial seseorang (Calne, 2004:27).
Dalam konteks itu, daya nalar siswa sulit dipisahkan dari keberaksaraan
lingkungan sosialnya. Akankah dimaklumi jika problem ber-BI dan problem
bernalar dalam komunikasi keilmuan dialami siswa SMP/SMA di PST?
Ada dua masalah pokok. (1) Bagaimana problem penggunaan BI dalam teks
keilmuan siswa SMP dan SMA di PST? (2) Bagaimana problem penalaran
4
teks keilmuan siswa SMP dan SMA di PST? Penelitian bertujuan
mendeskripsikan problem (1) penggunaan BI dan (2) problem penalaran teks
keilmuan siswa SMP dan SMA di PST. Dengan pendekatan kualitatif (K.,
2010:65; Danim, 2002:16), studi kasus dilakukan. Dengan studi dokumentasi,
data dalam karya tulis siswa SMP dan SMA di PST dikumpulkan. Ketika itu,
analisis model alir ditempuh. Akhirnya, problem (1) penggunaan BI (2)
penalaran dalam teks keilmuan siswa SMP dan SMA diuraikan berikut.
2. Pembahasan
2.1 Problem Penggunaan BI
2.1.1 Problem Penggunaan BI dalam Teks Keilmuan Siswa SMP
Data (1): Problem Penggunaan Ejaan
(a) Karena limpahannyalah kita dapat berkumpul di tempat ini.
(b) Tuhan telah memberikan hidayahnya kepada kita.
(c) Kami pergi ke tanjung karang.
Berdasar data (1) terdapat problem pemakaian ejaan pada kata
limpahannyalah dan hidayahnya. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 46 tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan (Mendiknas, 2009), huruf kapital digunakan
untuk menyebut Tuhan. Dalam hal yang sama, huruf kapital juga digunakan
untuk menulis nama-nama geografi. Akhirnya, ketiga kata itu dibetulkan
menjadi limpahan-Nyalah, hidayah-Nya, dan Tanjung Karang.
Data (2): Problem Penggunaan Kata Ganti
(a) Marilah kita semua hindari penggunaan narkoba di sekolah ini!
(b) Narkoba dapat merusak kita semua.
(c) Kami semua langsung pulang.
Pada data (2), kita semua menunjuk orang pertama jamak. Menurut Putrayasa
(2008:52), kita menggantikan persona pertama pluralis. Untuk itu, kita tidak
diikuti oleh semua karena tidak melibatkan orang kedua jamak. Dalam
kalimat itu, kita semua ditulis (a) Marilah kita hindari penggunaan narkoba
5
di sekolah ini!; dan (b) Narkoba dapat merusak kita. Selain itu, kami pada
data (2) c seharusnya tanpa kata semua.
Data (3): Problem Penulisan Kata
(a) Pada hari Minggu aku ke ruma neneku.
(b) Karna hasil jerih paya, saya diterima di sekola negri.
(c) Kami bersi-bersi di ruma kakeku.
Ketika membaca data (3), penghilangan konsonan /h/ tampak pada ruma,
bersi, dan sekola. Menurut Kridalaksana (2009:18), penghilangan suatu
bunyi di ujung kata disebut apokope. Selain itu, penghilangan konsonan juga
ditemukan di tengah kata, yakni /k/ pada kata neneku dan kakeku, /h/ pada
kata jeri payanya, dan /e/ pada kata karna dan negri. Menurut Kridalaksana
(2009:222), penghilangan bunyi konsonan di tengah kata disebut sinkope.
Dalam BI, kata-kata itu seharusnya ditulis rumah, nenekku, jerih payahnya,
bersih, sekolah, dan kakekku.
Data (4): Problem Pemilihan Kata
(a) Orang bilang SMP-ku maju.
(b) Kenangan itu dilupain.
(c) Ia ngebahagiain aku.
Pada data (4) terdapat kata bilang, dilupain, dan ngebahagiain. Kata-kata itu
disinyalir merupakan tiruan dari kata yang didengar siswa melalui media
masa, bukan kata yang lazim berasal dari lingkungan sendiri. Jika situasi
sosialnya tepat, kata itu boleh digunakan. Akan tetapi, dalam situasi formal,
kata itu perlu dihindari. Menurut Suwignyo dan Santoso (2008:21) kosakata
itu disebut nonstandar yang tidak digunakan dalam keilmuan. Oleh karena
itu, jika formal, kata itu diganti mengatakan, dilupakan, dan membahagiakan.
Data (5): Problem Penyusunan Kalimat Efektif
(a) Agar Indonesia tidak tertutupi oleh negara lain.
(b) Sehingga kita dapat berkumpul di sini.
(c) Karena kebersihan itu merupakan sebagian dari iman.
6
Pada data (5), rangkaian kata seolah menampakkan konstruksi kalimat,
namun berupa kalimat buntung (Arifin dan Hadi, 2009:123). Agar berterima,
kata agar, sehingga, dan karena di awal kalimat dihilangkan. Kalimat itu
dibetulkan menjadi (a) Indonesia tidak tertutupi oleh negara lain.; (b) Kita
dapat berkumpul di sini.; (c) Kebersihan itu merupakan sebagian dari iman.
Jadi, problem BI siswa SMP PST, yakni penggunaan ejaan, pemakaian kata
ganti, penulisan kata, pemilihan kata, dan penyusunan kalimat efektif.
2.1.2 Problem Penggunaan BI dalam Teks Keilmuan Siswa SMA
Data (6): Problem Penggunaan Tanda Baca
(a) Lomba diikuti pemuda Se Propinsi Sulawesi Tengah.
(b) Kegiatan dilaksanakan pada 7 s/d 13 oktober 2012.
(c) Yulis Anisha D
Dalam data (6) terdapat problem pemakaian tanda baca pada kata Se
Propinsi, s/d, dan Yuliana Ani D. Jika Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 46 tahun 2009 dicermati, problem pada data (6), yaitu
penggunaan tanda hubung dan tanda titik tidak perlu terjadi. Data (6)
seharusnya ditulis: Lomba diikuti oleh pemuda se-Provinsi Sulawesi Tengah;
Kegiatan dilaksanakan pada 7 s.d. 13 Oktober 2012; Yulis Anisha D.
Data (7): Problem Penulisan Ejaan
(a) Pada 28 oktober diperingati sebagai hari sumpah pemuda.
(b) Hari sumpah pemuda sudah terlupakan oleh sebagian generasi indonesia.
(c) Dalam rangka merayakan kemerdekaan RI, kelurahan lasoani mengadakan
lomba.
Pada data (7) terdapat problem penulisan ejaan, yaitu 28 oktober, hari
sumpah pemuda, generasi indonesia, dan kelurahan lasoani. Perlu
ditegaskan kembali bahwa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46
tahun 2009 perlu diterapkan. Penulisan huruf kapital pada nama bulan, hari
besar, dan nama institusi perlu dipraktikkan. Jadi, data (7) ditulis menjadi 28
Oktober, Hari Sumpah Pemuda, generasi Indonesia, dan Kelurahan Lasoani.
7
Data (8): Problem Penggunaan Verba Transitif
(a) Kelemahan novel ini mengajari tentang remaja yang agak nakal.
(b) Buku ini membahas tentang upaya pengembangan kompetensi bahasa Arab.
(c) Novel menceritakan tentang cinta.
Dalam data (8) tercantum verba transitif mengajari, membahas, dan
menceritakan. Ketiga kata itu seharusnya diikuti oleh objek tanpa kata
tentang. Menurut Haryanta (2012:277) dan Kridalaksana (2009:246) bahwa
verba transitif memerlukan objek tanpa dipisahkan kata tertentu. Kehadiran
kata tentang menampakkan ketidaktepatan penggunaan verba transitif. Jadi,
ketiga kalimat itu diperbaiki menjadi (a) Kelemahan novel ini mengajari
remaja yang agak nakal.; (b) Buku ini membahas upaya pengembangan
kompetensi bahasa Arab.; (c) Novel menceritakan cinta remaja.
Data (9): Problem Penggunaan Kata Di Mana
(a) Indonesia dikenal sebagai negara agraris di mana sebagian besar
masyarakatnya hidup dari sektor pertanian.
(b) Donggala memiliki keunikan humanis di mana kerukunan hidup umat
beragama teruji ratusan tahun.
(c) Data penelitian diperoleh di mana penelitian ini dilaksanakan.
Pada data (9) tercantum di mana. Padahal, di mana lazim digunakan sebagai
kata untuk menanyakan tempat. Menurut Syahroni dkk. (2013:35), di mana
tidak dipakai dalam kalimat pernyataan. Jadi, kalimat itu dibetulkan menjadi
(a) Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar
masyarakatnya hidup dari sektor pertanian.; (b) Donggala memiliki
keunikan humanis karena kerukunan hidup umat beragama teruji ratusan
tahun.; (c) Data penelitian diperoleh di tempat penelitian ini dilaksanakan.
Data (10): Problem Penyusunan Kalimat Efektif
(a) Bagi yang tidak memiliki dana bisa menyewa perlengkapan.
(b) Selain air terjun, di Loli juga memiliki kolam.
(c) Selain pesona air terjunnya, di kawasan ini menjadi arena panjat tebing.
8
Data (10) berupa rangkaian kata yang tidak bersubjek. Padahal, subjek
diperlukan (Putrayasa, 2007:54). Ketika subjek tidak hadir, kalimat tidak
lazim (Ramlan, 2008:17). Jadi, perbaikannya menjadi (a) Pengunjung yang
tidak memiliki dana bisa menyewa perlengkapan.; (b) Selain air terjun, Desa
Loli juga memiliki kolam.; (c) Selain pesona air terjunnya, kawasan ini
menjadi arena panjat tebing. Akhirnya, berdasar uraian tersebut, problem BI
SMA di PST tentang penggunaan tanda baca, penulisan ejaan, penggunaan
kata transitif, penggunaan kata di mana, dan penyusunan kalimat efektif.
2.2 Problem Penalaran BI
2.2.1 Problem Penalaran dalam Teks Keilmuan Siswa SMP
Data (11): Problem Penalaran Generalisasi Terlalu Luas
(a) Di luar sana, orang-orang mengenal SMP Madani dengan prestasi luar biasa.
(b) Jika sudah mendengar nama SMP Madani, orang-orang akan terkagum-kagum
karena sama seperti sekolah-sekolah elit di Jakarta.
(c) Sekolahku adalah sekolah yang sangat indah.
Data (11) dapat menimbulkan pertanyaan Apakah prestasi luar biasa yang
dimiliki oleh SMP Madani?; Bagaimanakah sekolah elit di Jakarta yang
sama dengan SMP Madani?; Bagaimanakah keindahan SMP Madani? Arifin
dan Tasai (2009:156) menegaskan generalisasi yang meluas itu menjadikan
pikiran tidak jelas. Untuk itu, data (11) dapat ditulis (a) Di Kota Palu, orang
mengenal SMP Madani sebagai sekolah baru.; (b) Jika sudah mendengar
nama SMP Madani, orang di Kota Palu mengenalinya sebagai sekolah
rintisan.; (c) Sekolahku adalah sekolah yang berlantai keramik.
Data (12): Problem Penalaran Argumentasi Bidik Orang
(a) Jumlah pengguna narkoba di Indonesia setiap waktu bertambah karena
penegak hukum di Indonesia lemah.
(b) Karena mengurangi resiko terjadinya banjir, penebang harus melakukan
tebang pilih.
(c) Ada dampak negatif dari internet yang disalahgunakan remaja karena rasa
takut orang tua.
9
Berdasarkan data (12), penulis menghubungkan dua hal yang belum tentu
memiliki kaitan erat, yaitu pengguna narkoba bertambah dengan penegak
hukum yang lemah; resiko banjir dengan penebang melakukan tebang pilih;
dampak negatif internet dengan perasaan takut orang tua. Penulis
menghubungkan persoalan dengan seseorang. Padahal, persoalan pokoknya:
bertambahnya pengguna narkoba; pengurangan resiko banjir; dampak
negatif internet bagi remaja. Menurut Arifin dan Tasai (2009:158), penulis
yang terlalu cepat menghubungkan persoalan dengan sifat seseorang
sebenarnya telah mengalami problem penalaran.
Data (13): Problem Penalaran Terbatas Alternatif Pilihan
(a) Kebersihan sekolah merupakan suatu hal yang kurang menarik atau
membosankan remaja.
(b) Kita harus pandai-pandai memilih teknologi globalisasi yang masuk ke
lingkungan kita, yakni ambil yang positif atau hindari yang negatif.
(c) Sekarang orang lebih memilih mengakses internet untuk mencari informasi
daripada ke perpustakaan.
Pada data (13), penulis menentukan dua pilihan, yaitu kebersihan lingkungan
dikatakan kurang menarik atau membosankan; teknologi perlu diambil yang
positif atau hindari yang negatif; mencari informasi dengan mengakses
internet atau ke perpustakaan. Syahroni dkk. (2013:94) berpendapat bahwa
penulis hanya memberikan alternatif ini atau itu. Berkenaan dengan itu,
Suparno dan Yunus (2007:55) menyarankan penulis tidak menyederhanakan
persoalan karena dapat menyembunyikan informasi. Jadi, problem penalaran
siswa SMP di PST berkenaan dengan (1) generalisasi terlalu luas, (2)
argumentasi bidik orang, dan (3) terbatas alternatif pilihan.
2.2.2 Problem Penalaran dalam Teks Keilmuan Siswa SMA
Data (14): Problem Penalaran Terbatas Alternatif Pilihan
(a) Generasi muda menjadi mlempem atau hewan undur-undur yang jalannya
mundur.
10
(b) Kesadaran masyarakat mengonsumsi obat perlu diubah agar masyarakat lebih
menyukai mengonsumsi obat-obatan tradisional dibanding obat-obatan kimia.
(c) Sebagai masyarakat Donggala kita harus berusaha menjaga potensi alam yang
kita miliki atau diambil orang lain.
Pada data (14), penulis mengungkapkan dua pilihan informasi. Inti
permasalahannya, yaitu generasi menjadi mlempem atau mundur;
mengonsumsi obat tradisional atau obat-obatan kimia, menjaga alam atau
membiarkannya diambil orang lain. Menurut Syahroni dkk. (2013:94), dalam
praktik penalaran itu, penulis hanya memberikan alternatif terbatas pada dua
pilihan. Padahal, kenyataan sosialnya amat kompleks. Suparno dan Yunus
(2007:55) menyarankan penulis tidak menyederhanakan persoalan. Jadi,
keadaan latar belakang suatu masalah perlu diperjelas.
Data (15): Problem Penalaran Generalisasi Terlalu Luas
(a) Novel ini terlalu banyak mengekspos adegan kekerasan.
(b) Novel ini sangat menarik dan berkesan untuk para pembacanya serta patut
mendapat acungan jempol dan layak menjadi bahan bacaan, tidak hanya untuk
remaja (sebagaimana dikategorikan dalam novel tersebut), tetapi juga layak
dibaca orang tua untuk anak-anaknya.
(c) Novel ini mampu mengaduk-aduk perasaan pembaca.
Pada data (15), penulis menyatakan generalisasi terlalu luas. Pernyataan itu
tidak mampu memberikan informasi yang jelas kepada pembaca. Sebaliknya,
pembaca berpeluang meragukan kebenarannya. Sebagai contoh, novel terlalu
banyak mengekspos adegan kekerasan; novel sangat menarik untuk semua
orang; novel mampu mengaduk-aduk perasaan pembaca. Terhadap ketiga
pernyataan itu, pembaca mudah mempertanyakannya. Sehubungan dengan
itu, Arifin dan Tasai (2009:156) menegaskan generalisasi yang meluas
menjadikan pikiran tidak jelas karena dukungan premis yang tidak memadai.
Data (16): Problem Penalaran Deduksi yang Salah
(a) Karena merupakan novel terjemahan, novel banyak berisi kata-kata yang
menggunakan bahasa yang kaku.
11
(b) Karena novel ini merupakan hasil terjemahan dari novel yang aslinya
berbahasa Inggris, dalam novel banyak ditemukan kata-kata yang sulit
dimengerti.
(c) Ditinjau dari kebahasaan dan sensasi sepanjang cerita, novel ini dinilai cukup
untuk mengobati pembaca yang haus akan novel.
Dengan memperhatikan kalimat pada data (16), tampak bahwa penulis
menyatakan novel berisi kata-kata yang kaku; novel berisi kata-kata yang
sulit dimengerti; novel cukup mengobati pembaca yang haus. Padahal, secara
berurutan, ketiga pernyataan itu disebabkan oleh novel terjemahan, novel
berbahasa Inggris, dan kebahasaan dan sensasi sepanjang cerita. Dalam
data (16) penulis mengungkapkan deduksi yang salah. Menurut Arifin dan
Tasai (2009:156), penulis yang biasa salah dalam menyimpulkan penalaran
disebabkan oleh pernyataan-pernyataan yang tidak jelas. Berdasarkan uraian
itu, ada tiga problem penalaran siswa SMA di PST, yaitu (1) terbatas
alternatif pilihan, (2) generalisasi terlalu luas, dan (3) deduksi yang salah.
3. Penutup
3.1 Simpulan
Berdasarkan masalah dan uraian tersebut dapat disimpulkan dua temuan
pokok, yaitu (1) problem penggunaan BI dan (2) problem penalaran dalam
teks keilmuan siswa SMP dan SMA di PST. Kedua hal itu diuraikan berikut.
3.1.1 Problem Penggunaan BI
Dalam teks keilmuan siswa SMP, problem penggunaan BI berkenaan dengan
penggunaan ejaan, pemakaian kata ganti, penulisan kata, pemilihan kata,
dan penyusunan kalimat efektif. Sementara itu, dalam teks keilmuan siswa
SMA, problem penggunaan BI berkenaan dengan penggunaan tanda baca,
penulisan ejaan, penggunaan kata transitif, penggunaan kata di mana, dan
penyusunan kalimat efektif.
12
3.1.2 Problem Penalaran BI
Dalam teks keilmuan siswa SMP, problem penalaran berupa (a) generalisasi
terlalu luas, (b) argumentasi bidik orang, dan (c) terbatas alternatif pilihan.
Sementara itu, dalam teks keilmuan siswa SMA, problem penalaran berupa
(a) terbatas alternatif pilihan, (b) generalisasi terlalu luas, dan (c) deduksi
yang salah.
3.2 Saran
Bertolak dari simpulan tersebut perlu ditegaskan bahwa problem penggunaan
BI dan problem penalaran dalam teks keilmuan siswa SMP dan SMA di PST
sebenarnya merupakan kasus keterbatasan pencapaian tujuan pembelajaran
BI berdasarkan kurikulum yang berlaku. Temuan itu terungkap berdasarkan
sumber data tulisan siswa yang didokumentasikan oleh tiga orang guru BI
SMP di Kota Palu dan oleh tiga orang guru BI SMA di Kabupaten Donggala,
PST. Jadi, temuan studi kasus tentang problem penggunaan BI dan problem
penalaran dalam teks keilmuan BI siswa SMP dan SMA ini belum/tidak
dapat digeneralisasi ke sekolah sederajat di wilayah lain.
Sungguhpun begitu, pembinaan kompetensi ber-BI siswa PDM perlu
dirancang dan dikembangkan berbasis teks-teks keilmuan dengan
memperhatikan satuan-satuan problem penggunaan BI dalam karya tulis
siswa. Sejalan dengan pemikiran itu, kemampuan bernalar siswa pendidikan
PDM juga perlu dilatih secara intensif dengan memperhatikan problem
penalaran dalam teks-teks keilmuan BI di sekolah. Agar diperoleh hasil
kajian yang komprehensif, keterpaduan penelitian terhadap kedua problem
tersebut perlu segera dilaksanakan. Artinya, problem penggunaan BI dalam
teks-teks keilmuan siswa SMP dan SMA di PST perlu diteliti sejak dini agar
perubahan dan perkembangan daya nalar siswa dapat dipantau dan
ditingkatkan secara berkelanjutan.
13
4. Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT
Kiblat Buku Utama.
Arifin, E. Zaenal. dan Hadi, Farid. 2009. Seribu Satu Kesalahan Berbahasa:
Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.
Arifin, E. Zaenal. dan Tasai, S. Amran. 2009. Cermat Berbahasa Indonesia
untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: CV Akademika Pressindo.
Arshad, Mahzan.; Radzi, Idris Mohd.; Mat, Naffi. (Ed.). 2012. Ajakan
Paradigma dalam Memartabatkan Kurikulum Bahasa Melayu bagi
Mendepani Abad ke-21. Tanjong Malim: Universiti Pendidikan Sultan
Idris.
Calne, Donald B. 2004. Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Collins, James T. 2011. Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat.
Terjemahan oleh Alma Evita Almanar. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka
Setia.
De Bono, Edward. 2007. Revolusi Berpikir Edward de Bono: Mengajari
Anak Anda Berpikir Canggih dan Kreatif dalam Memecahkan Masalah
dan Memantik Ide-ide Baru. Terjemahan oleh Ida Sitompul dan Fahmy
Yamani. Bandung: Penerbit Kaifa.
Djiwandono, Soenardi. 2011. Tes Bahasa: Pegangan bagi Pengajar Bahasa.
Jakarta: PT INDEKS.
Ghazali, A. Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan
Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: PT Refika Aditama.
Ghazali, A. Syukur. 2013. Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa Kedua.
Malang: Bayumedia Publishing.
Haryanta, Agung Tri. 2012. Kamus Kebahasaan dan Kesusastraan.
Surakarta: Aksarra Sinergi Media.
Iskandarwassid dan Sunendar, Dadang. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa.
Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan
PT Remaja Rosdakarya.
K., Septiawan Santana. 2010. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Kuntarto, Niknik M. 2008. Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir.
Jakarta: Mitra Wacana Media.
Kurniawan, Khaerudin. 2012. Bahasa Indonesia Keilmuan untuk Perguruan
Tinggi. Bandung: Refika Aditama.
14
Mendiknas. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun
2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Musthafa, Bachrudin. 2008. Dari Literasi Dini ke Literasi Teknologi. Jakarta:
Cahaya Insan Sejahtera.
Othman, Yahya.; Baki, Roselan.; Mat, Naffi. 2009. Pemerkasaan Bahasa
Melayu: dari Teori ke Praktik. Selangor: UNIPRESS PRINTER SDN.
Prasetyo, Eko. 2013. Keterampilan Berbahasa Tepat Memilih Kata: Kasus
Kebahasaan di Sekitar Kita. Jakarta: PT Indeks.
Putrayasa, Ida Bagus. 2007. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika).
Bandung: PT Refika Aditama.
Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan
Infleksional). Bandung: PT Refika Aditama.
Rahardi, Kunjana. 2006. Dimensi-dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah
Bahasa Indonesia Terkini. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ramlan, M. 2008. Kalimat, Konjungsi, dan Preposisi Bahasa Indonesia
dalam Penulisan Karangan Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Rosidi, Ajip. 2010. Bus, Bis, Bas: berbagai Masalah Bahasa Indonesia.
Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Sembok, Tengku Mohd Tengku. 2007. Bahasa, Kecerdasan, dan Makna:
Sekitar Capaian Maklumat. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Sudarman.; Zulianto, Sugit.; Jamiluddin.; Rede, Amram.; Harun, Abduh.
2011. Pemetaan Kompetensi Hasil Ujian Nasional dan Model
Pengembangan Mutu Pendidikan SMA di Kabupaten Parigi Moutong
dan Poso Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011. Laporan penelitian
tidak diterbitkan. Palu: Lembaga Penelitian Univeristas Tadulako.
Suherdi, Didi. 2012. Rekonstruksi Pendidikan Bahasa: sebuah Keniscayaan
bagi Keunggulan Bangsa. Bandung: CELTICS Press.
Suparno. dan Yunus, Muhamad. 2007. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta:
Penerbit Universitas Terbuka.
Suwignyo, Heri. dan Santoso, Anang. 2008. Bahasa Indonesia Keilmuan
berbasis Area Isi dan Ilmu. Malang: UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang.
Syahroni, Ngalimun.; Dewi, Dwi Wahyu Candra.; Mahmudi. 2013. Bahasa
Indonesia di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Tony. dan Buzan, Barry. 2004. Memahami Peta Pikiran. Terjemahan oleh
Alexander Sindoro. Batam: Interaksara.
Usman, Ilman. 2013. Wawancara tentang Mutu Pembelajaran Bahasa
Indonesia di Sulteng. Palu: MGMP Bahasa Indonesia Kota Palu.
Wahyuni, Sri. dan Ibrahim, Abd. Syukur. 2012. Asesmen Pembelajaran
Bahasa.
1
PENERJEMAHAN KITA: QUO VADIS?
Tamam Ruji Harahap
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Abstrak
Penerjemahan bukan semata sebuah proses pengalihan antarbahasa. Penerjemahan jauh lebih
kompleks dari sekadar mengubah teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran.
Kompetensi penerjemah terutama sekali memerlukan pemahaman wacana yang kuat serta
kemampuan menulis yang andal. Ada tiga tujuan utama tulisan ini: pertama, merefleksikan
pengalaman penerjemahan kita ini sejak dulu hingga kini; kedua, memaparkan serta
mengomentari kegiatan penerjemahan kita mutakhir ini, dan; ketiga memberi catatan-catatan
yang dipandang perlu terhadap arah kebijakan dan orientasi penerjemahan kita sekarang dan
masa yang akan datang. Simpulan tulisan ini adalah bahwa stagnasi atau bahkan kemerosotan
kegiatan penerjemahan kita dekade-dekade terakhir ini perlu segera diatasi dengan (a)
perencanaan penerjemahan secara bertujuan dan berkelanjutan dengan cara membangun kerja
sama antarinstansi; (b) mulai menanamkan budaya menerjemahkan dengan cara
menggalakkan budaya membaca (pengetahuan kontekstual) dan menulis (penguasaan bahasa
Indonesia); (c) mengubah pola penerjemahan yang selama ini cenderung menggunakan
metode berorientasi-linguistik (gramatika), dan; (d) reorientasi kompetensi penerjemah dari
basis lulusan bahasa asing ke lulusan program disiplin ilmu. Upaya ini perlu segera
dilaksanakan dengan tujuan (a) menyerap dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
ke seluruh lapisan masyarakat, dan (b) melindungi bahasa Indonesia dari daya imperialis
bahasa asing (Inggris).
Kata kunci: penerjemahan, kualitas terjemahan, kompetensi, bahasa asing, dua-bahasa,
budaya membaca
Hlm. | 2
I. Pengantar
“Kita sebenarnya dihadapkan dengan suatu dilema….para mahasiswa diwajibkan membaca
buku acuan (reference books) yang ditulis dengan bahasa Inggris karena buku Indonesia
belum mencukupi jumlah dan mutu. Kenyataannya ialah bahwa mereka tidak membaca buku
Inggris itu karena pengetahuan bahasanya tidak memadai. Agar pengetahuan itu ditatarkan,
maka harus diadakan pengintensifan pendidikan bahasa Inggris… Dengan meningkatkan
pengajaran bahasa Inggris itu kedudukan bahasa Indonesia akan terdesak, sekalipun
patriotisme kita akan mengakui kepahitan ini. Manakah jalan lepasnya?”
Potongan paragraf di atas dikutip dari salah satu artikel dalam buku Kembara Bahasa (1989),1
ditulis Anton Moeliono2 lebih dari dua puluh tahun lalu. Saya sengaja mengutipnya untuk
dijadikan sebagai lensa dalam menyoroti permasalahan penerjemahan di Indonesia dan
sebagai dasar pijak perlunya menggerakkan kegiatan penerjemahan. Sekadar
membandingkan, sepuluh tahun lalu, Tuntun Sinaga memberi catatan konstruktif mengenai
urgensi serta pentingnya pengupayaan penerjemahan buku-buku referensial dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan di Indonesia.3 Alasan yang dikemukakan ialah bahwa kurangnya
penerjemah yang andal dan mumpuni dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan menyebabkan
pembelajar lebih memilih sumber acuan bahasa asing. Pada tahun yang sama, Alfons Taryadi
kembali mengingatkan tentang pentingnya pemerintah, dengan cara bekerja sama dengan
lembaga-lembaga terkait, untuk menggerakkan dan menggalakkan penerjemahan.4 Sekitar dua
tahun lalu, dalam sebuah diskusi yang membahas tantangan dunia penerjemahan di Indonesia,
Chambert-Loir memberi catatan lain, yang antara lain menekankan pentingnya meningkatkan
peran pendidikan di bidang penerjemahan. Bahkan, dengan tajam Chambert-Loir menyambat
praktik penerjemahan di Indonesia yang selama ini berorientasi pasar, alias demi keuntungan
penerbit semata, yang sebagai akibatnya, menurutnya, buku yang dipilih untuk diterjemahkan
pun umumnya bukan yang paling berguna, tetapi yang paling laku.5
Catatan-catatan di atas dikemukakan, setidaknya, untuk melihat bagaimana realitas
dan gerak dunia penerjemahan kita selama lebih dari dua puluh tahun terakhir ini. Kendati,
barangkali, bukti-bukti lain dapat diajukan untuk membantahnya, sulit memungkiri bahwa
gerak dunia penerjemahan kita belakangan cukup stagnan, meskipun secara kuantitas sedikit
ada peningkatan. Catatan-catatan itu juga mengonfirmasi pandangan-pandangan yang luas
diwacanakan masyarakat, bahwa dunia penerjemahan kita sekarang ini banyak ngawurnya.6
Pembuktian lain? Kita hanya perlu sebentar berselancar di dunia maya dan mencari tulisantulisan
mengenai penilaian karya-karya terjemahan di Indonesia, khususnya karya-karya
terjemahan dua dekade belakangan ini, niscaya pandangan atas kengawuran itu terkukuhkan.
1 Lih. Anton Moeliono, “Beberapa Aspek Masalah Penerjemahan ke Bahasa Indonesia,” dalam Moeliono
(1989:54-63).
2 Almarhum; kiranya Tuhan Yang Kuasa menempatkan Beliau di sisi-NYA, Amin.
3 Lih. “Prospek, Hambatan dan Komitmen”, sebuah makalah yang disajikan pada Kongres Nasional
Penerjemahan, di Tawangmangu, Solo 15—16 September 2003. Diunduh dari
http://mayantara.sch.id/artikel/penerjemahan-buku-teks-di-indonesia.htm, pada tanggal 21 Juli 2013.
4 Lih. Alfons Taryadi, “Kualitas Terjemahan, Siapa Bertanggung jawab?” Sari makalah yang disajikan dalam
diskusi Himpunan Penerjemah Indonesia, 11 Oktober 2003, di Pusat Bahasa, Depdiknas, Rawamangun,
Jakarta. Diunduh dari http://aziz.byethost3.com pada 14 Agustus 2013.
5 Lih. “Tantangan Buku-Buku Terjemahan di Indonesia” dalam http://tembi.org/cover/2011-03/07-
Tantangan_Buku-Buku_Terjemahan_di_Indonesia.htm, dibaca pada 21 Juli 2013, pukul 02.30 WIB.
6 Mengamini penilaian Alfons Taryadi, sebagaimana dikatakan oleh Benny Hoed dalam “Tentang Penerjemah”,
dimuat dalam http://penerjemah.setneg.go.id/artikel/detil/111027-tentang-penerjemah.
Hlm. | 3
Catatan-catatan di atas juga menyiratkan bahwa permasalahan dunia penerjemahan
kita tampaknya bermuara dari kebijakan penerjemahan (pendidikan) secara umum, dan
kompetensi penerjemah secara khusus. Untuk yang disebut pertama, tampaknya kita harus
sedikit menelusuri sejarah penerjemahan kita sendiri untuk melihat bagaimana kita, dari dulu
hingga kini, memandang bidang penerjemahan sekaligus meletakkannya di dalam konstelasi
pengembangan peradaban bangsa.
Kemudian, mengenai kompetensi penerjemah serta kualitas terjemahan, baru-baru ini,
di sebuah ruang media sosial twitter, penulis sengaja mem-posting sebuah kicauan:
“Bagaimana menjadi seorang penerjemah yang baik?” Salah satu tanggapan cukup menarik:
“excellent linguistic flair, good translation skills, rich translating experiences, good research
skills and PASSION.” Dengan kata lain, suatu kualitas karya terjemahan yang unggul dapat
dicapai cukup jika penerjemah memiliki pengetahuan linguistik yang mumpuni, pengalaman
menerjemahkan yang luas, kemauan dan kemampuan melakukan penggalian informasi, dan
disertai ketertarikan menerjemahkan yang kuat.
Tampaknya, tanggapan tersebut mewakili konsepsi umum tentang kompetensi yang
diperlukan penerjemah agar mampu menghasilkan karya terjemahan yang berkualitas. Yang
menarik di sini ialah tanggapan itu terkesan meminggirkan penguasaan teks (bidang wacana
terjemahan) serta terlalu mengistimewakan penguasaan ilmu bahasa (linguistik). Kendati,
senyatanya, memang demikianlah yang dikehendaki buku-buku teori penerjemahan yang kita
pegang; bahwa profisiensi dalam dua-bahasa menjadi syarat pertama untuk menjadi
penerjemah. Konsekuensinya, kuat anggapan bahwa seseorang yang menguasai dua bahasa
secara otomatis dapat menerjemahkan dengan baik pula. Bagi penulis, konsepsi ini perlu
ditinjau ulang karena kurang tepat, jika bukan salah kaprah. Siapa tahu?
Penerjemahan itu maha penting, dan lantaran itu perlu digerakkan. Pentingnya
penerjemahan terhadap pembangunan bangsa juga cukup jelas. Penerjemahan berguna untuk
menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi, melindungi dan memperkaya bahasa secara
lebih khusus, serta mempunyai peranan yang sangat penting dalam komunikasi interlingual
(Nababan, 2008:4). Dari kacamata Yusuf (1994:31), kegiatan penerjemahan “…dapat
menambah dan memperkaya budaya serta merangsang kemajuan peradaban bangsa.
Kemajuan peradaban ini tidak saja diartikan sebagai upaya maksimum manusia untuk
memenuhi keperluan sehari-hari dan kenyamanan hidup lainnya, tetapi juga mempunyai arti
penyempurnaan ilmu, pemikiran, dan kecerdasan yang akan mengangkat kehidupan manusia
ke derajat yang lebih tinggi. Suatu bangsa yang beradab ialah bangsa yang tidak hanya
memperoleh kemakmuran dalam bidang kebendaan, tetapi juga yang memperkembang nilai
intelektual dan spiritual.”
Beranjak dari situ, pertanyaan yang perlu diajukan ialah apa yang sudah, sedang, dan
seharusnya kita lakukan untuk menggerakkan dunia penerjemahan kita yang selama dua
dekade terakhir ini stagnan, jika bukan merosot kualitasnya? Tulisan ini dimaksudkan untuk
mengikhtisarkan gerak penerjemahan sebagaimana yang dilakukan pada masa lalu,
memaparkan sekaligus mengomentari kegiatan dan praktik penerjemahan kita seiring waktu
berjalan, serta kemudian menawarkan gagasan tentang dunia penerjemahan: Quo Vadis?
Atau, hendak ke mana akan kita bawa dunia penerjemahan kita?
II. Bermula dari Parwa
Dalam sebuah diskusi penerjemahan, Chambert-Loir mengemukakan ada tiga periode
besar dalam sejarah penerjemahan kita, yakni penerjemahan zaman Hindu-Budha
Hlm. | 4
(dipengaruhi oleh bangsa India), penerjemahan zaman masuknya ajaran Islam (dipengaruhi
oleh kebudayaan Arab), dan penerjemahan zaman kolonial (dipengaruhi oleh bangsa Eropa).7
Pertama, sejarah sastra kita bermula dari kitab-parwa, bersumber dari India. Di dalam
KBBI versi daring, parwa disebutkan “bagian dari (kitab)”. Istilah yang berakar dari bahasa
Sanskerta ini lebih sering diidentikkan dengan bagian-bagian kitab Mahabharata. Istilah ini
sangat penting terhadap khazanah penerjemahan kita, sebab, boleh dikatakan, ia merupakan
salah satu tonggak bermulanya sejarah penerjemahan resmi di Nusantara. Catatan soal ini
dapat dikonfirmasi pada penelitian yang dilakukan oleh Soepomo, “Men-Jawa-kan
Mahabharata”.8 Di dalam penelitiannya, Supomo mengutarakan bahwa 14 Oktober 996
merupakan hari yang sangat penting, kalau bukan yang terpenting, dalam sejarah
penerjemahan karya asing di Indonesia. Sebab, pada hari itulah untuk pertama kalinya
berlangsung acara pembacaan Wirataparwa, buku pertama yang dapat diselesaikan dalam
suatu proyek penerjemahan kitab Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuna.9 Bahkan, yang
lebih penting lagi ialah bahwa “penerjemahan” itu sebegitu kuatnya sehingga tidak hanya
memperkaya kosa kata Jawa Kuno, tetapi sekaligus menjadi pemicu lahirnya karya-karya
berikutnya.10
Periode berikutnya ialah masuknya pengaruh kebudayaan Arab. Kajian Braginsky
memberi kita informasi bahwa sejak abad ke-14 dan terutama sejak abad ke-16 – ke-17 terjadi
proses arabisasi, yang di dalamnya tasawuf memainkan peran penting dalam perkembangan
sejarah, agama, dan kebudayaan di kepulauan Sumatera (Melayu-Indonesia). Berbeda dengan
penerjemahan periode pertama, penerjemahan Arab umumnya cenderung mempertahankan
bentuk asli kendati secara konten banyak disesuaikan dengan situasi setempat. Menurut
Jedamksi, para penerjemah zaman itu bahkan “mengembangkan” teks asli secara kreatif. Ada
beberapa istilah penerjemahan yang lazim digunakan pada zaman itu, yaitu tersalin (juga
disalin), terkarang (written, composed), ditjeritakan (narrated), terkoetip (copied, excerpted,
quoted), ditoeroenkan (passed on, generated from), di(bahasa)melajoekan, ditoetoerkan
(arranged), dan dioesahakan (organized, worked).11
Kemudian, periode besar ketiga ialah penerjemahan zaman kolonial serta awal
bermulanya sastra modern Indonesia. Pada periode ini aktivitas penerjemahan cukup
menggeliat. Pada zaman itu penerjemah-penerjemah Belanda, Tionghoa, serta belakangan
pengarang-pengarang Indonesia banyak, jika bukan sebagian besar, “menerjemahkan” karyakarya
bangsa Eropa (Barat), sehingga tak mengherankan sastra modern Indonesia dipengaruhi
kuat oleh kebudayaan Barat.12 Jedamski mengutarakan bahwa jauh-jauh masa sebelumnya
pemerintah kolonial Belanda juga memberikan perhatian khusus pada bidang penerjemahan,
7 Lih. “Tantangan Buku-Buku Terjemahan di Indonesia” dalam http://tembi.org/cover/2011-03/07-
Tantangan_Buku-Buku_Terjemahan_di_Indonesia.htm, dibaca pada 21 Juli 2013; untuk pembahasan lebih
jauh, lih. jg Chambert-Loir (2009)
8 Lih. Chambert-Loir (2009:933-946).
9 Lih. juga, Supomo, S. “Old Javanese Literature,” dalam McGlynn (2001:18-19).
10 Menurut Supomo, pentingnya parwa-parwa terjemahan tersebut terhadap perkembangan Sastra Jawa Kuna,
dan kebudayaan Jawa pada umumnya, terbukti jelas pada kenyataan bahwa sastra-sastra terjemahan itu
kemudian menjadi sumber utama bagi penulisan kakawin dan cerita-cerita wayang. Catatan ini bersejalan
dengan catatan-catatan pakar lain yang menyatakan bahwa epos Mahabharata telah mampu menancapkan
pengaruh yang kuat dan besar terhadap sastra Jawa segala periode (Pigeaud, 1967:117; Gonda, 1973;
Zoetmulder, 1983:10-20 via Harahap, “Khazanah Penerjemahan: Ragam Suara dalam Sastra-Parwa,” dimuat
dalam Prosiding Seminar (Diskusi) Ilmiah Kelompok Peneliti Kebahasaan dan Kesastraan di Lingkungan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2012:177-196).
11 Lih. Jedamski, “Translation in the Malay World: Different Communities, Different Agendas” dalam Eva Hung
(2005:209-243).
12 Untuk diskusi lebih mendalam tentang pokok ini, lih. Jedamski, “Terjemahan Sastra dari Bahasa-Bahasa Eropa
ke dalam Bahasa Melayu sampai tahun 1942,” dalam Chambert-Loir (2009:171-203).
Hlm. | 5
dengan cara banyak menerjemahkan karya-karya bangsa Eropa ke dalam bahasa Melayu,
Tionghoa, atau bahasa Jawa, baik untuk kepentingan kolonial maupun misi agama. Baru
kemudian, seiring dengan lahirnya gagasan nasionalisme pengarang-pengarang Indonesia
semakin banyak terlibat dalam aktivitas penerjemahan, terutama dari karya Barat ke dalam
bahasa Indonesia.13 Mengenai intensitas penerjemahan ini, dalam tulisannya “A bridge to the
outside world literary translation in Indonesia, 1950-1965,” H.T. Liem memberi apresiasi
yang tinggi atas kuatnya peran penerjemahan terhadap perkembangan sastra Indonesia
modern, yang di dalamnya Balai Pustaka menjadi satu institusi yang berperan kuat.14 Selain
itu, Melani Budianta mengutarakan bahwa tahun 1970-an merupakan salah satu periode
tersubur penerjemahan karya asing dalam sejarah sastra Indonesia.15 Bahkan jauh sebelumnya
(zaman pra-kemerdekaan), Jedamski mencatat bahwa pada tahun 1850-an, pemerintah
kolonial sebenarnya menunjukkan minat terhadap masalah penerjemahan, kendati juga masih
dilakukan secara tidak sistematis.16 Barangkali, puncak dari aktivitas penerjemahan periode
ketiga ini kemudian mendorong didirikannya Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI).
Terhadap ketiga periode tersebut, Chambert-Loir mencatat persamaan yang mencolok,
yakni setiap penerjemahan cenderung diiringi dengan peminjaman sistem tulis, bahasa, dan
agama. Pada periode sastra-parwa India, masuklah agama Hindu dan Budha, disertai bahasa
Sansekerta dan penggunaan aksara Palawa. Kemudian, periode kedua, berkembanglah aksara
dan bahasa Arab. Yang sedikit berbeda adalah periode pengaruh Eropa, dimana masuknya
aksara Latin tanpa disertai dengan perpindahan bahasa dan agama seperti periode
sebelumnya, kendati periode ini juga tak kalah penting dengan dominannya tulisan Latin serta
tergesernya tulisan Arab dan Jawa.17 Kendati barangkali masih dapat dibantah, yang terjadi
sekarang terbukti nyata, bahwa pengaruh bahasa, lantaran itu budaya, Barat begitu kuatnya
mempengaruhi segala aspek kehidupan kita. Kuatnya pengaruh ini bahkan hampir mampu
meniadakan kebudayaan melayu Islam yang sebelumnya sangat dominan. Hingga sekarang,
pengaruh Barat ini tidak sebatas bidang sastra, tetapi juga telah merasuki ranah akademik dan
sosial. Bagi penulis, situasi ini secara tidak langsung berpengaruh kuat terhadap terjadinya
senoglosofilia, yakni sebuah penyakit kebahasaan lantaran kegemaran berbahasa-asing-ria
ketimbang bangga dan setia menggunakan bahasa sendiri.
Dapat juga dicatat bahwa terdapat perbedaan signifikan di antara bidang-bidang
wacana yang diterjemahkan pada ketiga periode penerjemahan tersebut. Misalnya, kegiatankegiatan
penerjemahan yang dilakukan selama periode terakhir, khususnya, lebih
menitikberatkan karya-karya sastra, dalam arti fiksi, yang berbeda dengan dua periode
sebelumnya. Jika pada periode pertama dan kedua banyak menyentuh penerjemahan kitabkitab
suci, pedoman-pedoman hidup, serta karya-karya fiksi sekaligus,18 sejak tahun 1950-an
hingga 1970-an kita seolah ”terobsesi” pada karya-karya sastra (fiksi), serta mengabaikan
bidang-bidang lain, khususnya buku referensial. Tentunya, ini juga bukan bermaksud untuk
menyampingkan satu atau dua terjemahan yang masih menyentuh bidang-bidang wacana lain
yang dimaksud. Sebab, sebagaimana disebut Doris Jedamski, penerjemahan zaman kolonial
juga banyak menerjemahkan teks-teks hukum yang berkaitan dengan hukum adat atau, di
13 Untuk pembahasan mengenai sejarah awal penerjemahan zaman kolonial dan zaman Kemerdekaan, lih.
ulasan Jedamski, “Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda,” dalam Chambert-Loir (2009:657-678).
14 Lih. Lindsay J. dan Maya H.T. Liem (2011:163-190).
15 Lih. Zaidan, dkk. (2013:iv-x)
16 Lih. Jedamski, “Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda,” dalam Henri Chambert-Loir, 2009:657-678.
17 Lih. Chambert-Loir, “Tantangan Buku-Buku Terjemahan di Indonesia” dalam http://tembi.org/cover/2011-
03/07-Tantangan_Buku-Buku_Terjemahan_di_Indonesia.htm, dibaca pada 21 Juli 2013, pukul 02.30 WIB.
18 Lih. Chambert-Loir (2009).
Hlm. | 6
kemudian hari, sebagian besar teks-teks hukum kolonial dan tata pemerintahan.19 Namun,
yang mengherankan kemudian ialah bahwa aktivitas penerjemahan terkesan mulai mengalami
kemerosotan sejak 1980-an. Kemundurannya bukan dari segi kuantitas, yang sebaliknya
barangkali lebih tinggi, tetapi dari segi kualitas serta arah penerjemahan.
Adalah tampak jelas adanya perbedaan yang signifikan di antara aktivitas
penerjemahan yang dilakukan pada masa lalu dengan yang dilakukan pada dekade-dekade
terakhir ini. Sejak akhir 1990-an, dapat dikatakan, gerak aktivitas penerjemahan kita semakin
kritis. Kendati karya-karya terjemahan meningkat jumlahnya, itu belum mampu mengatasi
stagnasi yang terjadi, terutama disebabkan oleh bidang wacana teks terjemahan yang terkesan
suka-suka, yakni dunia penerjemahan yang bergerak tanpa arah. Bagi pemerhati, berbagai
pertanyaan kemudian muncul: mengapa stagnasi itu terjadi dan apa sebenarnya yang menjadi
penyebabnya; secara lebih spesifik, mengapa aktivitas penerjemahan kita selama ini
mengabaikan buku-buku referensial dan lebih menyukai karya-karya sastra (fiksi); bagaimana
kita menyikapi kemunduran gerak dunia penerjemahan itu?
III. Apa yang sudah kita lakukan sekarang
Suatu pengetahuan tak mungkin berkembang jika tak diperantarai praktik
penerjemahan, dan kita senyata-nyatanya sangat sadar akan hal itu, sehingga sesungguhnya
tak ada alasan bagi kita untuk masih malu-malu menjamah penerjemahan.20 Pun, sebagaimana
dibuktikan di atas, kajian akademik telah menunjukkan bahwa kelahiran dan pertumbuhan
sastra Nusantara (Indonesia), misalnya, sejak dahulu dibidani oleh tangan-tangan penerjemah.
Namun, ironisnya, kita sekarang seolah masih enggan merawatnya. Luar kepala kita semua
sudah tahu bagaimana dulunya bangsa Jepang mampu mencapai kemajuan teknologi. Di
Jepang, penerjemahan dijadikan sebagai katalisator perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ringkasnya, kita sangat paham sesungguhnya bahwa penerjemahan merupakan
sarana alih informasi, pengetahuan, dan kebudayaan; penerjemahan sebagai penghela dan
penyebar ilmu pengetahuan. Akan tetapi, apa yang sudah kita perbuat demi mengatasi
stagnasi, jika bukan kemunduran, dunia penerjemahan ini?
Melihat realitas sekarang, sulit menyangkal betapa kita telah memperlakukan
penerjemahan layaknya “anak pungut”. Betapa tidak, ini tampak jelas, misalnya, pada posisi
bidang penerjemahan di antara bidang-bidang ilmu lainnya, sebut saja linguistik atau sastra;
dua bidang yang disebut terakhir ini adalah bidang ilmu yang sudah lama mandiri. Bahkan,
sebagaimana dicatat oleh Benny Hoed (2006:119), di antara ratusan, jika bukan ribuan,
perguruan tinggi kita, hanya beberapa saja yang memiliki jurusan penerjemahan, itupun lebih
menitikberatkan pada pendidikan kajian terjemahan, bukan pendidikan praktik penerjemahan.
Sebagai konsekuensinya, kompetensi yang dibutuhkan untuk melakukan penerjemahan
terabaikan.
Selama lebih dari dua puluh tahun terakhir ini, pihak yang dominan menjalankan
kegiatan penerjemahan ialah institusi swasta, seperti penerbit buku serta individu-individu
19 Lih. Jedamski, “Translation in the Malay World: Different Communities, Different Agendas” dalam Eva Hung,
(2005:210).
20 Pada dasarnya, penerjemahan memiliki pengertian yang beragam dan luas; bahwa menerjemahkan tidak
sekadar memindahkan, menggantikan, atau mengalihkan pesan dari satu teks ke teks lain (Hoed, 2006:23),
tetapi, lebih jauh, “tindak membaca adalah menerjemahkan,” karena tidak ada dua orang yang punya
pengalaman yang persis sama. Bahkan, “memahami juga adalah menerjemahkan” (George Steiner dalam
After Babel). Menurut Emerson, mengutip pandangan Bakhtin tentang teori penerjemahan, bahwa “to
understand another person at any given moment...is to come to terms with meaning on the boundary
between one's own and another's language: to translate (Pinti, Daniel J.”Dialogism, Heteroglossia, and Late
Medieval Translation, dalam Farrell, Thomas J. 1995:109-121, via Harahap, “Khazanah Penerjemahan: Ragam
Suara dalam Sastra-Parwa,” dimuat dalam Prosiding Seminar (Diskusi) Ilmiah Kelompok Peneliti Kebahasaan
dan Kesastraan di Lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2012:177-196)
Hlm. | 7
yang menjual karya (jasa?) terjemahannya pada pihak penerbit. Tuntun Sinaga
mengidentifikasi jenis tiga penerjemah dalam konteks Indonesia:21
a) Penerjemah yang bekerja pada penerbit
b) Penerjemah yang bekerja pada biro-biro penerjemah
c) Penerjemah lepas; dalam hal ini bisa individu termasuk dosen yang produk kerjanya
bisa untuk klien perorangan, umum, atau penerbit.
Selain itu, pemerintah melalui sejumlah lembaga akademik yang memiliki penerbitan sendiri,
serta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (dulu Pusat Bahasa) pada satu dua
kesempatan juga melakukannya. Sayangnya, itu dilakukan suka-suka dan tidak berkelanjutan.
Berakhirnya rejim Orde Baru lebih dari sepuluh tahun lalu sedikit menggembirakan.
Sebab, tak lama berselang, kita banyak menjumpai di toko-toko buku, terutama di daerah
Yogyakarta, karya-karya terjemahan, baik karya sastra maupun buku referensial, bahkan yang
dahulunya dilarang beredar (buku-buku berbau Kiri, atau bercap Komunis). Kendati kualitas
terjemahan masih mengecewakan, setidaknya masa itu aktivitas penerjemahan mulai
bergairah. Geliat penerjemahan bahkan luar biasa tingginya sehingga jumlah buku-buku
terjemahan pun lebih banyak memenuhi toko-toko buku ketimbang buku-buku tulisan asli
orang Indonesia.22 Namun, sebagaimana disinggung di atas, upaya ini masih terkesan
sporadis, suka-suka, serta tanpa arah yang jelas. Diperlukan upaya yang lebih kuat,
berkesinambungan, dan terarah. Juga, diperlukan suatu kebijakan. Jika mengacu pada Kamus
bahasa Inggris Webster, suatu kebijakan ialah suatu “sikap yang terencana, yang terpilih,
yang memengaruhi pengambilan keputusan pribadi dan menentukan tercapainya
koordinasi.”23 Untuk itu, negara berkewajiban memenuhi dan merealisasikannya, dan tidak
hanya menyerahkannnya pada pihak swasta.
Terhadap kondisi penerjemahan ini, Benny Hoed (2006:120) menyatakan bahwa
berbagai upaya sudah dilakukan, terutama untuk meningkatkat kualitas penerjemah melalui
pendidikan nonformal dan formal, serta melalui upaya standardisasi dengan ujian kualifikasi.
Selain beberapa perguruan tinggi, upaya peningkatan ini juga dilakukan melalui Himpunan
Penerjemah Indonesia (HPI). Mutakhir ialah realisasi Jabatan Fungsional Penerjemah untuk
Pegawai Negeri Sipil sebagai jabatan karir.
1. Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI)
Barangkali banyak di antara kita yang sudah lama mengenal organisasi profesional ini.
Kalau benar, itu tak mengherankan, sebab organisasi ini sudah berdiri sejak lama, tepatnya 5
Februari 1974, di Jakarta. Tak main-main, organisasi ini didirikan dengan dukungan kuat
pemerintah, melalui Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, dan Direktorat
Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bahkan oleh UNESCO.24 Artinya,
berdirinya HPI sebenarnya sebuah upaya nyata dan besar untuk menggerakkan dunia
penerjemahan di negeri ini. Namun, jika ditanyakan, apa yang sudah diperbuat HPI
pengembangan dunia penerjemahan kita selama kurang lebih empat puluh tahun ini?
Mutakhir, anggota HPI mencapai angka 940 orang,25 yang di dalamnya termasuk
penulis sendiri (terdaftar sejak tahun Oktober 2012), dan setiap harinya jumlah anggotanya
21 Lih. “Prospek, Hambatan dan Komitmen”, sebuah makalah yang disajikan pada Kongres Nasional
Penerjemahan, di Tawangmangu, Solo 15—16 September 2003. Diunduh dari
http://mayantara.sch.id/artikel/penerjemahan-buku-teks-di-indonesia.htm, pada tanggal 21 Juli 2013.
22 Dalam bagian Pendahuluan buku Sadur (2009:9-20), Chambert-Loir menyatakan bahwa proporsi buku-buku
terjemahan di Indonesia (khususnya, Jakarta) cukup mengesankan dibandingkan dengan buku-buku asli
Indonesia.
23 Lih. Jedamski, “Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda,” dalam Chambert-Loir, (2009:657-678).
24 Untuk informasi lebih jauh, lih. situs organisasi HPI, http://www.hpi.or.id
25 Informasi ini diperoleh via komunikasi daring dari Ketua HPI periode 2010-2013, Djoko Rahadi Notowidigdo.
Hlm. | 8
dapat bertambah. Menilai dari cakupan pekerjaan serta usia empat puluh tahun, angka ini
sebenarnya sangat kecil, apalagi banyak di antaranya memiliki status bukan anggota penuh.
Dalam kongres HPI yang terakhir, Kongres X tanggal 16 Oktober 2010, disepakati enam butir
pokok rencana kerja, yakni:
a) Membantu pemerintah dalam penciptaan lapangan kerja
b) Perluasan dan peningkatan layanan kepada para anggota
c) Penyelenggaraan berbagai jenis pelatihan untuk meningkatkan kemampuan para
penerjemah di tingkat pusat maupun di daerah
d) Pembentukan Komisariat Daerah untuk menjangkau para penerjemah di daerah
e) Pengembangan hubungan kerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi di tingkat
pusat maupun di daerah
f) Penyelenggaraan dan keturutsertaan dalam acara-acara nasional, regional, dan
internasional.
Salah satu upaya yang dilakukan HPI yang katanya demi peningkatan kualitas penerjemahan
dan pembentukan penerjemah berkualifikasi adalah menyelenggarakan ujian sertifikasi
nasional bagi penerjemah (atau dikenal sebagai ujian kualifikasi penerjemah).
2. Jabatan Fungsional Penerjemah
Dalam sistem kepegawaian terdapat dua jalur jenjang kepangkatan. Pertama, jalur
struktural yang merupakan jalur karir di bidang manajemen/admnistrasi. Kedua, jalur
fungsional yang merupakan jalur karir profesional, di antaranya dosen, guru, peneliti,
pustakawan, dan penerjemah. Jabatan fungsional penerjemah tergolong bayi karena baru
mulai direalisasikan pada tahun 2011, sejak mulai dipersiapkan sekitar tahun 2007 lalu.26
Jabatan fungsional penerjemah ialah seorang pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung
jawab, wewenang dan hak secara penuh untuk melaksanakan kegiatan penerjemahan baik
secara tertulis maupun secara lisan. Sebagaimana jabatan-jabatan fungsional lain yang
memiliki instansi pembina, fungsional penerjemah berada di bawah Kementerian Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
Dalam tiga tahun ini tercatat telah terdaftar 86 penerjemah, yang sebagian besar masih
merupakan Penerjemah Pertama, jenjang pemula dari empat tangga bagi karir penerjemah.
Dari angka tersebut, 21 orang di antaranya berasal dari lingkungan Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, yang hampir seluruhnya bertugas pada Balai/Kantor
Bahasa di daerah.
3.Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa)
Kegiatan penerjemahan sebenarnya bukan hal baru bagi Badan Bahasa. Sejak lama
lembaga kebahasaan dan kesastraan ini sudah banyak melakukan penerjemahan buku
referensial dan karya-karya sastra asing. Salah satu yang perlu disorot di sini ialah Badan
Bahasa tidak hanya menerjemahkan teks-teks dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia,
tetapi juga teks-teks dari bahasa-bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, terutama untuk
bidang sastra lokal dan tradisi lisan.
Mutakhir ialah bahwa sejak disahkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, Badan
Bahasa tampaknya memperoleh kekuatan baru. Sebab, sebagai implementati dari UU itu,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan peraturan nomor 69 tahun 2012, yang
26 Jabatan karir ini dibentuk berdasarkan dasar hukum: (1) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor PER/24/M.PAN/5/2006; (2) Peraturan Bersama Menteri Sekretaris Negara dan Kepala Badan
Kepegawaian Negara, Nomor 1 tahun 2007 dan Nomor 22 tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Penerjemah dan Angka Kreditnya; (3) Peraturan Bersama Menteri Sekretaris Negara Republik
Indonesia dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 4 Tahun 2010 dan Nomor 16 Tahun 2010; (4)
Peraturan Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010, dan peraturan lainnya.
Hlm. | 9
memuat salah satu fungsi Badan Bahasa adalah menjalankan fungsi penerjemahan. Sekadar
memublikasikan, berikut ini adalah fungsi baru yang dimaksud.
Pasal 792: Pusat Pengembangan dan Pelindungan mempunyai tugas melaksanakan
penyusunan kebijakan teknis, pengembangan, penerjemahan, dan pelindungan
di bidang bahasa dan sastra.
Pasal 793: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 792, Pusat
Pengembangan dan Pelindungan menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan kebijakan teknis di bidang pengembangan, penerjemahan, dan
pelindungan bahasa dan sastra;
b. penyusunan program pengembangan, penerjemahan, dan pelindungan
bahasa dan sastra;
c. pelaksanaan pengkajian pengembangan, penerjemahan, dan pelindungan
bahasa dan sastra;
Perlu diketahui bahwa, pengubahan peraturan tersebut dimaksudkan untuk memasukkan
penerjemahan sebagai salah satu bisnis pokok Pusat Pengembangan dan Pelindungan. Dasar
hukum baru ini praktis meletakkan Badan Bahasa termasuk di garis depan dunia
penerjemahan kita sekarang ini.
4.Lembaga Akademik
Sejatinya lembaga akademik merupakan ujung tombak dunia penerjemahan karena di
sanalah akses pengembangan ilmu pengetahuan banyak diupayakan, di sanalah kegiatan
penerjemahan dilembagakan dalam bentuk penjurusan atau fakultas, serta di sana pulalah
individu-individu ditempa hingga memiliki kompetensi yang kuat dalam penerjemahan.
Namun, sayangnya, yang terjadi ialah pengebirian. Alih-alih mendorong kegiatan
penerjemahan, sebagian besar perguruan tinggi malah lebih banyak mendorong penggunaan
bahasa asing (Inggris) bagi mahasiswa-mahasiswanya; sebuah penyakit senoglosofilia!
Di negara kita ini, tercatat hanya ada dua atau tiga perguruan tinggi yang secara
langsung mengampu bidang penerjemahan, antara lain Universitas Negeri Sebelas Maret
(tingkat magister), Universitas Negeri Jakarta (tingkat magister), Universitas Gunadarma
(tingkat magister), dan Universitas Indonesia (tingkat magister). Sayangnya, semuanya masih
berfokus pada kajian penerjemahan (Hoed, 2006:119, catatan kaki). Tidak dapat dipungkiri,
barangkali, banyak universitas kita memberi perhatian pada bidang penerjemahan, tetapi
sebagian besar memasukkannya ke dalam jurusan bahasa atau sastra asing dalam bentuk
ampuan mata kuliah serta arahan penyusunan tugas akhir (skripsi).
IV. Beberapa Catatan
Upaya-upaya dari institusi dan organisasi profesional di atas untuk mendorong
peningkatan aktivitas penerjemahan sungguh layak diberi apresiasi tinggi. Kendati belum
saatnya kita dapat berharap banyak, tetapi setidaknya perhatian terhadap dunia penerjemahan
sudah ada dan lebih banyak. Namun, untuk saat ini, kita tampaknya belum bisa berharap
banyak, kecuali adanya sosialisasi atas sebuah “profesi atau pekerjaan baru”, yakni
penerjemah. Menurut Benny Hoed (2006:17), salah satu permasalahan dalam dunia
penerjemahan di Indonesia ialah masih adanya kendala sosial, yaitu profesi penerjemah belum
disadari masyarakat luas sebagai sebuah profesi yang strategis dan yang harus didukung oleh
profesionalisme yang tinggi. Menyangkut apakah upaya-upaya itu akan mampu
menggerakkan dunia penerjemahan menuju penyebaran ilmu pengetahuan dan pelindungan
bahasa Indonesia, masih perlu diuiji dan dikawal. Sebab, sebelum mencapai tujuan itu,
kualitas terjemahan harus lebih dahulu ditingkatkan.
Catatan-catatan membangun perlu diberikan pada masing-masing institusi di atas,
sebagai berikut.
Hlm. | 10
a) Pertama, HPI merupakan sebuah organisasi berisi sekumpulan orang yang menjadikan
aktivitas penerjemahan sebagai profesi atau pekerjaan. Dengan kata lain, aktivitas
menerjemahkan dilakukan demi nafkah hidup, kebutuhan materi. Dalam menjalankan
pekerjaannya, tentunya, para profesional itu sangat bergantung pada permintaan klien,
atau pasar. Bukan untuk memandang remeh, tetapi penjualan jasa semacam itu praktis
jauh dari idealisme penerjemahan sebagai suatu bidang pengembangan ilmu
pengetahuan. Sebagai sebuah asosiasi, HPI seharusnya dapat berperan sebagai
pendukung dan pemberi arah dunia penerjemahan serta menetapkan visi penerjemahan
di Indonesia, dengan cara membangun kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait,
baik itu lembaga pemerintah maupun lembaga akademik.27
Dari enam butir program kerja HPI seperti disebut di atas, tampaknya, kita masih
harus lebih lama lagi menahan sabar. Sebab, dari program kerja semacam itu,
penerjemah hanya diletakkan sebagai mediator dalam komunikasi antarbahasa, atau
perantara dua pihak yang tak saling memahami, bukan sebagai ujung tombak suatu
pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, HPI selayaknya memperluas
kiprahnya dengan tidak melulu memperjuangkan peningkatan tarif, menambah jumlah
anggota, berusaha menempatkan diri berada di antara profesi-profesi lain, seperti
pengacara, pelaku bisnis, dan lain-lain. HPI seharusnya mampu memposisikan diri
sebagai pemrakarsa atau penggagas penerjemahan karya-karya babon berbahasa asing.
b) Bagi penulis, Jabatan Fungsional Penerjemah (JFP) pun belum dapat diharapkan
memainkan kiprah bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Bukan lantaran usianya
yang masih tergolong “bayi”, tetapi lantaran orientasi misinya pun masih
menitikberatkan pada pembentukan penerjemah sebagai mediator komunikasi dan
penyedia layanan atau jasa. Kalau kita melihat rumpun jabatan fungsionalnya,
penerjemah pun berada di bawah rumpun manajemen.
Sebagaimana diketahui, rumpun jabatan fungsional merupakan landasan yang
mewadahi keberadaan dan sekaligus sebagai landasan bagi penetapan jabatan
fungsional keahlian dan/atau jabatan fungsional keterampilan yang diperlukan oleh
pemerintah dalam rangka terselenggaranya tugas umum pemerintahan.28 Ini, misalnya,
sangat berbeda dengan rumpun jabatan dosen, peneliti, maupun pengembang ilmu
pengetahuan lainnya.
Menggolongkan penerjemahan sebagai bidang manajemen, bagi penulis, cukup
mengherankan. Meskipun dinyatakan bahwa “rumpun Manajemen adalah rumpun
jabatan fungsional yang kegiatannya berhubungan dengan penelitian, peningkatan atau
pengetahuan di bidang peningkatan sistem, pemberian saran atau pengelolaan,
pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan teknis yang berhubungan dengan
sumber daya manajemen,” bagaimanapun juga, pengertian manajemen lazimnya lebih
berorientasi pada tata kelola perusahaan dan organisasi, bukan pada pengembangan
ilmu pengetahuan.
c) Badan Bahasa, sejatinya, diharapkan menjadi salah satu penggerak utama dunia
penerjemahan. Di samping memiliki sumber daya pengetahuan untuk itu, Badan
Bahasa memiliki tugas pengembangan dan pelindungan bahasa dan sastra yang
diamanatkan undang-undang. Jelas, kegiatan penerjemahan berguna bagi
pengembangan bahasa dan sastra, dan bukankah kegiatan penerjemahan juga sekaligus
sangat berguna sebagai upaya pelindungan bahasa Indonesia? Ini juga perlu disadari
27 Lih. jg Tuntun Sinaga, “Prospek, Hambatan dan Komitmen”, sebuah makalah yang disajikan pada Kongres
Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, Solo 15—16 September 2003. Diunduh dari
http://mayantara.sch.id/artikel/penerjemahan-buku-teks-di-indonesia.htm, pada tanggal 21 Juli 2013.
28 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai
Negeri Sipil Presiden Republik Indonesia.
Hlm. | 11
bersama. Bukankah dengan cara melakukan banyak penerjemahan dengan sendirinya
Badan Bahasa melaksanakan penyaringan kosa kata asing yang masuk ke dalam
bahasa Indonesia serta memperkaya perbendaharaan kosa katanya?
Dengan terbitnya peraturan menteri sebagaimana disebut di atas, kali ini mau tidak
mau Badan Bahasa wajib memainkan kiprah dalam menghadapi tantangan yang lebih
berat dalam dunia penerjemahan. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Badan
Bahasa akan melakukannya? Misi apa yang akan dijalankan? Bagaiamana memenuhi
sumber daya manusia untuk menjalankan misi itu? Apakah hanya dengan
mengandalkan sumber daya manusia yang dimiliki sekarang, yang hampir seluruhnya
berasal dari pendidikan kebahasaan dan kesastraan? Jika iya, ini sebuah persoalan
besar, sebab berkaitan dengan visi penerjemahan dan kompetensi penerjemah yang
dibutuhkan untuk menjalankan misi-misinya. Dalam kapasitasnya sekarang ini, Badan
Bahasa, bagaimanapun juga, harus mampu menjawab pertanyaan “Ke Mana, Hendak
Ke Mana Dunia Penerjemahan Dibawa?” Kerja sama dengan lembaga-lembaga lainya
yang berkaitan, termasuk perguruan-perguruan tinggi, misalnya, akan menjadi solusi
yang tepat untuk membantu Badan Bahasa menjawab pertanyaan itu, kendati
barangkali bukan satu-satunya jawaban.
d. Sungguh disayangkan sebenarnya betapa perguruan-perguruan tinggi kita selama ini
cenderung kurang memperlihatkan minat yang kuat pada dunia penerjemahan.
Sungguh disayangkan pula bila masih ada dosen yang menyarankan mahasiswanya
agar lebih banyak membaca buku-buku berbahasa asing, tanpa disertai dengan saran
untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan,
perguruan tinggi sejatinya memiliki peran yang kuat untuk menggerakkan dunia
penerjemahan. Namun, alih-alih menjadi penggerak, perguruan tinggi masih
memandang bidang penerjemahan sebagai anak pungut yang tak pernah bisa mandiri.
Penerjemahan bahkan disisipkan di bawah ketiak jurusan kebahasaan dan kesastraan
asing, dengan hanya empat atau enam satuan kredit semester.
Ringkasnya, untuk mengerakkan aktivitas penerjemahan yang sudah lama stagnan, kerja sama
dapat dilakukan oleh institusi dan organisasi di atas dengan melibatkan pihak-pihak terkait.
Jika ini sudah dapat ditanggulangi, persoalan peningkatan kualitas terjemahan kemudian
menyusul.
V. Ke Mana, Hendak Ke Mana?
Dalam artikel “Menerjemahkan Karya Sastra”,29 Sapardi Djoko Damono
menyinggung dua pokok penting berkaitan dengan kualitas terjemahan dan kompetensi
penerjemah, dengan mengajukan pertanyaan: bagi penerjemah, lebih penting mana antara
menguasai bahasa sasaran daripada menguasai bahasa sumber? Dan, lebih penting mana
antara menguasai konteks wacana teks terjemahan daripada memiliki penguasaan bahasa
sumber yang unggul? Jawaban yang diberikan Sapardi untuk kedua pertanyaan itu adalah opsi
pertama: lebih menguasai bahasa sasaran dan menguasai konteks wacana. Tentu saja, ideal
bagi setiap penerjemah adalah menguasai semuanya: bahasa sumber, bahasa sasaran, dan
konteks wacana. Tetapi apakah ada penguasaan yang ideal semacam itu?
a. Komentar tentang Kualitas Penerjemahan dan Kompetensi Penerjemah
Kendati konteks pertanyaan tersebut adalah penerjemahan karya sastra, bagi penulis,
itu juga sejatinya berlaku pada penerjemahan teks-teks lain di luar sastra, buku-buku
referensial khususnya. Ada sebuah kecurigaan bahwa merosotnya kualitas penerjemahan kita
belakangan ini salah satunya disebabkan oleh semakin menguatnya pengaruh linguistik dalam
29 Sebuah makalah disampaikan pada Kongres Nasional Penerjemahan, di Universitas Sebelas Maret, Surakarta
tanggal 15 – 16 September 2003, diunduh dari http://mayantara.sch.id/artikel/menerjemahkan-karyasastra.
htm, pada 11 Agustus 2013.
Hlm. | 12
kajian terjemahan di Eropa yang lebih menekankan pada “ekuivalensi” (Fawcett, 1997:1),
kendati senyatanya di sana metode penerjemahan berorientasi gramatika tersebut sudah mulai
ditinggalkan dan beralih ke pendekatan berbasis bidang wacana dan tujuan penerjemahan itu
sendiri (skopos) (Munday, 2008:14). Sementara, kita sendiri hingga kini masih berkiblat pada
pendekatan yang pertama.
Seperti diketahui, lokusi utama pendekatan berbasis linguistik ini ialah ekuivalensi,
kesepadanan formal antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, sehingga dasar penilaian
apakah suatu terjemahan baik atau buruk beranjak dari kesepadanannya.30 Sebagai akibatnya,
peran ilmu bahasa (bilingual) menjadi sangat dominan dan utama. Sebagaimana dikemukakan
seorang pakar terkemuka Catford (1965:vii), teori penerjemahan pun harus menjadi bagian
dari teori ilmu bahasa, ilmu linguistik umum. Sejumlah tulisan mengenai penerjemahan di
Indonesia ini pun kebanyakan menempatkan ilmu bahasa sebagai syarat utama untuk menjadi
penerjemah, sehingga di dalam dasar-dasar kompetensi yang harus dimiliki penerjemah
pengetahuan linguistik diletakkan pada urutan pertama (Yusuf, 1989; Moentaha, 2006; Bell,
1991:41, via Nababan, 2008). Menurut penulis, dampaknya kemudian adalah sebagian besar
penerjemah kita berasal dari disiplin ilmu bahasa dan sastra asing, sebab mereka lah yang
berpotensi menjadi penerjemah. Bahkan, kita sudah awam menyematkan julukan “calon
penerjemah” bagi mahasiswa-mahasiswa jurusan bahasa asing. Barangkali, contoh yang
paling jelas dapat kita lihat pada gelar kesarjanaan para “penerjemah” yang terdaftar pada
Jabatan Fungsional Penerjemah, yang sebagian besar berasal dari jurusan bahasa dan sastra
asing. Sekarang ini, seakan-akan “profesi penerjemah” sudah melekat di dalam diri
mahasiswa jurusan bahasa asing. Dan, konsepsi inilah yang kita pegang selama ini.
Konsepsi itu tidak seluruhnya tepat, barangkali. Siapa tahu justeru sebaliknya! 31
Penerjemahan bukan semata sebuah proses pengalihan antarbahasa. Penerjemahan
jauh lebih kompleks dari sekadar mengganti teks bahasa sumber dengan bahasa sasaran,32
kendati tanpa memiliki pengetahuan linguistik seorang penerjemah layaknya seorang tukang
yang sedang bekerja tanpa perkakas yang lengkap.33 Penerjemah memang harus mengetahui
dua bahasa, tetapi ada dasar kompetensi lain yang seharusnya tidak diletakkan di belakang
pengetahuan kebahasaan yang unggul, yakni pengetahuan yang mumpuni atas bidang wacana
teks terjemahan, pengetahuan dua-budaya yang melekat dalam bahasa sumber dan bahasa
sasaran, serta kemampuan menulis yang andal.
Kita selama dua dekade ini terlalu mengistimewakan dan menggantungkan
kompetensi penerjemah pada pengetahuan kebahasaan, dengan menyampingkan substansi
penerjemahan itu sendiri. Menurut penulis, alih-alih mempertahankan, misalnya, teori Nida
dan Taber (1982) dan Catford (1965) yang keduanya menawarkan kompetensi linguistik, kita
ada baiknya beralih pada penguasaan kompetensi teori yang dicanangkan oleh PACTE
research group (Process of the Acquisition of Translation Competence and Evaluation):34
“Translation competence is the ability to carry out the transfer process from the
comprehension of the source text to the reexpression of the target text, taking into
30 Lih. J.A. Naudé, “An Overview uf Recent Developments in Translation Studies with Special Reference to the
Implications for Bible Translation,” in Acta Theologica Supplementum 2 2002, diunduh dari
www.ajol.info/index.php/actat/article/download/5454/29592 pada 12 Agustus 2013.
31 Untuk perbandingan, lih. jg Ayup Purnawan, “Penilaian ‘Benar-Salah’ dalam Penerjemahan.” DIbaca dalam
http://ayup-asvan.blogspot.com/2009/05/penilaian-benar-salah-dalam.html, pada 16 Agustus 2013.
32 Lih. jg Bernacka, Anna. 2012. “The Importance of Translation Studies for Development Education”, in Policy &
Practice: A Development Education Review, Vol. 14, Spring 2012, pp. 113-118. Diunduh dari
http://www.developmenteducationreview.com/issue14-perspectives, pada 11 Agustus 2013.
33 Lih. Fawcett, 1997: foreword
34 Lih. Escarrá Jiménez, “The New Information and Communication Technologies (ICTs) and Translatio
Competence” Diunduh dari www.cttic.org/ACTI/2011/Papers/Escarra, pada 16 Agustus 2013.
Hlm. | 13
account the purpose of the translation and the characteristics of the target-text
readers”.
Dengan cara ini, penerjemahan dimulai dengan sebuah tindak membaca dan memahami
bidang wacana teks yang diterjemahkan dan tujuan penerjemahan, sebagaimana yang
dikemukakan di atas. Satu kemampuan lagi yang tak boleh diabaikan ialah kemampuan
menulis dalam bahasa Indonesia. Setiap penerjemah harus menyadari penuh bahwa ia bukan
saja menjadi seorang pembaca yang jeli, tetapi sekaligus menjadi seorang penulis yang
mumpuni. Seringkali penerjemahan bukan soal benar atau salah, tetapi soal terbaca dan tidak
terbaca. Dan ini lebih ditentukan oleh kebiasaan dan kemahiran menulis dari seorang
penerjemah. Dalam sebuah pengamatan kecil, penulis banyak menemukan teks terjemahan
yang ditulis secara ngawur sehingga keterbacaannya sangat rendah.35
Ada sebuah pertanyaan sederhana. Pilih mana, menyerahkan tugas penerjemahan
tentang Teknologi Rekayasa, misalnya, kepada pakar teknik rekayasa yang memiliki
kemampuan bahasa asing alakadarnya, atau menyerahkannya kepada sarjana sastra asing yang
memiliki kemampuan bahasa unggul tapi pengetahuan tentang wacana Teknologi Rekayasa
sekadarnya?
Sekali lagi, penulis bukan hendak mengenyampingkan atau mengabaikan peran
linguistik sebagai salah satu kompetensi yang dibutuhkan dalam penerjemahan. Sebagai
contoh adalah ketika istilah cultural studies diterjemahkan “Kajian Budaya” dan istilah mouse
diterjemahkan “tetikus”.36
Istilah cultural studies, sebuah gerakan pemikiran yang lahir di Inggris awal 1960-an,
memiliki latar wacana sebuah kritik budaya populer. Namun, di Indonesia (UGM,
Yogyakarta) istilah ini kemudian diterjemahkan ke pengertian yang lebih bernuansa
antropologis, sebuah ilmu tentang kebudayaan. Mengapa, misalnya, tidak menyebut “Kajian
Budaya Kritis” atau “Kajian Kritik Kebudayaan”? Demikian pula, dalam kebudayan kita, (te-
)tikus merupakan hewan yang menjijikkan bagi banyak orang, hewan musuh bersama,
berkonotasi koruptor. Ini artinya, konsep budaya kita sebenarnya sangat tidak pas dengan
penerjemahan istilah mouse menjadi (te-)tikus, apapun alasannya. Pengetahuan kebahasaan
sangat vital, tetapi bukan yang paling utama.
Dengan cara sedikit mengubah konsepsi dan kompetensi penerjemahan dari yang
linguistik banget ke arah yang berorientasi penguasaan bidang wacana ( pemahaman teks) dan
skopos (tujuan penerjemahan), permasalahan kompetensi penerjemah dan kualitas terjemahan
kita sedikit banyaknya barangkali dapat diperbaiki. Pada perkembangan berikutnya,
pendekatan cara seperti ini berpengaruh kuat pada munculnya budaya menerjemahkan.
Sekadar membandingkan, di Jepang, yang budaya modernnya dapat dikatakan sebagai
budaya terjemahan, membaca bersinonim dengan menerjemahkan.37 Sebagaimana dikutip
berikut ini:
…reading was synonymous with translation . . . Kanbun kundoku was never called
translation, not because it was considered to be unlike translation but because there
were no other texts that were not translations.38
Sekali lagi, pengetahuan tentang kaidah kebahasaan sungguh penting, tetapi untuk
kepentingan meningkatkan kompetensi penerjemahan, pengalaman membaca dan
penghayatan teks (pengetahuan wacana tertentu), serta kemampuan menulis yang mumpuni
jauh lebih berguna. Sebab, sebagaimana dikatakan, kemampuan menerjemahkan dibangun di
35 Lih. Harahap, “Menerjemahkan Kalimat Bersubjek It Impersonal: Kasus Bahasa Inggris – Indonesia,” dimuat
dalam Jurnal Widyaparwa, Vol. 40, Nomor 2, Desember 2012.
36 tetikus /te·ti·kus/n Komp peranti periferal pd komputer yg menyerupai tikus, gunanya, antara lain, untuk
memindahkan letak pandu di jendela tampilan, dikutip dari KBBI Daring (http://kbbi.web.id/)
37 Lih. Levy, (2011:2).
38 Ibid. 1
Hlm. | 14
atas pengalaman membaca yang kuat, berseiring sejalan dengan kebiasaan menulis.
Sebagaimana juga dikatakan Benny Hoed, fasih berbahasa asing tidak dengan sendirinya
mampu menerjemahkan. Penguasaan bahasa sasaran sangat penting. Kemampuan
menerjemahkan bertumpu pada pengalaman, bakat, dan pengetahuan umum: gabungan
pengetahuan atau intelijensi (kognitif), rasa bahasa (emotif), dan keterampilan menggunakan
bahasa (retoris).39
b. Menentukan Arah
Sebagaimana disebutkan di atas, penerjemahan bukan saja berguna bagi
pengembangan ilmu pengetahun, tetapi sekaligus berguna bagi pelindungan bahasa. Situasi
dunia yang semakin dikecilkan oleh teknologi komunikasi dan informasi (desa global,
mengikuti McLuhan) menambah daya caplok bahasa Inggris semakin kuat. Akibatnya, bahasa
kita sendiri terasa sedikit diremehkan dan disepelekan. Tidak ada salahnya meniru cara
Jepang yang menjadikan penerjemahan sebagai salah satu katalisator pembangunan,
meskipun di sana pihak swasta yang giat menggerakkan dunia penerjemahan (Moeliono,
1989:63). Berikut ini merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan arah
kebijakan dan gerak dunia penerjemahan kita:
1. Penerjemahan digerakkan demi pengembangan ilmu pengetahuan dan pelindungan
bahasa Indonesia;
2. Prioritas penerjemahan karya-karya asing ke dalam bahasa Indonesia, bukan
sebaliknya, kecuali jika perlu dengan alasan khusus.
3. Penerjemahan dari bahasa-bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia untuk
pemerkayaan kosa kata bahasa Indonesia;
4. Mengubah pola fondasional pembelajaran bahasa dalam dunia pendidikan, dari
pendekatan berorientasi kaidah kebahasaan ke pendekatan berorientasi membaca dan
menulis;
5. Realisasi komitmen pemerintah untuk menggerakkan dunia penerjemahan, dengan
cara:
a. Membangun kerja sama yang berkelanjutan sesama lembaga terkait (Badan
Bahasa, JFP, semua disiplin ilmu di universitas, IKAPI, HPI, serta lembagalembaga
asing dan swasta lainnya yang memiliki minat pada pengembangan ilmu
pengetahuan)
b. Merancang rencana penerjemahan jangka panjang untuk dilaksanakan secara
bertahap (tak perlu besar-besaran, tetapi fokus dan berkelanjutan)
c. Menyediakan anggaran untuk biaya distribusi karya-karya terjemahan (lantaran
itu, perlunya kembali mengaktifkan Pusat Perbukuan?)
d. Membantu meningkatkan peran lembaga-lembaga dan organisasi penerjemahan
6. Memberi tugas dan tanggung jawab yang lebih luas bagi perguruan-perguruang tinggi,
bila perlu dengan cara “memaksa”, untuk menghidupkan kegiatan-kegiatan
penerjemahan di setiap fakultas yang diampu, khususnya penerjemahan buku-buku
referensial;
7. Perekrutan penerjemah, jika ada, bukan berdasarkan lulusan pendidikan bahasa asing,
tetapi berdasarkan program (multi-)disiplin ilmu (bidang wacana tertentu). Dengan
kata lain, membuka akses seluas-luasnya bagi peminat-peminat non-bahasa untuk
memilih jabatan fungsional di pemerintahan;
8. Menggalakkan budaya membaca (penguasaan kontekstual) dan menulis (kamahiran
tulis bahasa Indonesia);
39 Lih. Hoed, “Tentang Penerjemah,” dimuat dalam http://penerjemah.setneg.go.id/artikel/detil/111027-
tentang-penerjemah
Hlm. | 15
9. Menggalakkan forum-forum ilmiah bidang penerjemahan lintasdisiplin, baik berupa
kajian maupun praktik penerjemahan;
10. Mensosialisasikan standardisasi kualitas melalui ujian kualifikasi, sebagaimana
disarankan oleh Benny Hoed; dengan catatan ujian kualifikasi berbasis bidang
pengetahuan yang dikuasai penerjemah
VI. Penutup
Bangsa Jepang yang kita kenal sekarang merupakan hasil dari sebuah budaya
penerjemahan, begitu dikatakan. Bangsa kita juga. Penerjemahan telah banyak mengenalkan
dan memberi kita karya-karya agung, dari Kitab Mahabharata dan Ramayana, syair dan syiar
yang termaktub dalam kitab-kitab Melayu klasik, hingga novel-novel Barat yang
mengagungkan modernitas dan pembebasan pemikiran. Setuju tidak setuju, melalui jalur
penerjemahan kita mengutip berbagai pengetahuan dari luar sana, menyeberangkannya ke
negeri kita, membangun peradaban, serta kemudian menjadikannya kepunyaan kita yang sah
dan khas. Itu semua kemudian menjadi kekayaan kebudayaan bangsa tak ternilai. Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, demikian katanya. Oleh karena itu,
mau tidak mau, malu tidak malu, sepantasnyalah penerjemahan kita bawa ke tengah perhatian
kita dan menegakkannya berdiri di antara bidang-bidang pengetahuan lainnya yang mandiri.
Uraian di atas sedikit banyak memberi gambaran mengenai kelemahan kita dalam
merawat penerjemahan, yakni kebijakan yang tanpa arah. Akibatnya, aktivitas penerjemahan
bergerak suka-suka. Akibat berikutnya, kompetensi penerjemah terabaikan, jika bukan tak
diurus. Akibatnya kemudian, kualitas terjemahan yang takterbaca pun menjadi santapan kita
sehari-hari. Lebih parah lagi, pengabaian atas dunia penerjemahan membuka jalan bagi
praktik senoglosofilia, sebab taktersedia bahan-bahan bacaan yang mudah diakses seluruh
lapisan masyarakat.
Sekarang sudah saatnya kita harus mulai menjamah penerjemahan secara serius dan
penuh perhatian. “Perintah” hukum sudah ada sebagai dasar, sarana institusional dan
organisasional sudah dibentuk sebagai kenderaan, sumber daya pengetahuan dan penerjemahmultidisiplin
tinggal menunggu digerakkan. Diakui, di sana sini masih perlu banyak
perbaikan, terutama berkaitan dengan konsepsi ulang atas kompetensi penerjemahan dan
rancangan rute panjang untuk dijalani.
Terakhir, jika periode besar pertama penerjemahan bangsa ini adalah kitab-kitab
babon yang sebagain besar berisi pedoman hidup, periode besar kedua cenderung berupa syair
dan syiar, periode ketiga karya sastra dan hukum, sekrang saatnya dunia penerjemahan kita
lebih diarahkan pada penerjemahan buku-buku referensial atau buku-buku nonfiksi (mulai
banyak dilakukan sejak awal tahun 2000-an), mengikuti saran Tuntun Sinaga, sebagaimana
disebutkan pada awal tulisan ini.
Pada awalnya, sebuah kata!
Hlm. | 16
Daftar Pustaka
Baker, Mona. 2009. Routledge Encyclopedia of Translation Studies (2nd edition). New York:
Routledge.
Bernacka, Anna. 2012. “The Importance of Translation Studies for Development Education”,
in Policy & Practice: A Development Education Review, Vol. 14, Spring 2012, pp. 113-
118. Diunduh dari http://www.developmenteducationreview.com/issue14-perspectives,
pada 11 Agustus 2013.
Braginsky, V.I. 1993. Tasawuf dan Sastera Melayu: Kajian dan Teks-Teks. Jakarta: RUL.
Catford, J. C. 1965. A Linguistic Theory of Translation: an essay in applied linguistics.
London: Oxford University Press
Chambert-Loir, Henri (Penyunting). 2009. Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan
Malaysia. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Fawcett, Peter. 1997. Translation and Language (Linguistic Theories Explained). Manchester,
UK & Northampton, MA: St. Jerome Publishing.
Greenall, Annjo Klungervik. “Translation as Dialog.” Dalam Duarte, Joao Ferreira, et al.
2006. Translation Studies at the Interface of Disciplines. Amsterdam: John Benjamins
Publishing Co.
Harahap, Tamam Ruji. “Khazanah Penerjemahan: Ragam Suara dalam Sastra-Parwa,” dimuat
dalam Prosiding Seminar (Diskusi) Ilmiah Kelompok Peneliti Kebahasaan dan
Kesastraan di Lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta 6—8 November 2012.
-------. “Menerjemahkan Kalimat Bersubjek It Impersonal: Kasus Bahasa Inggris –
Indonesia,” dimuat dalam Jurnal Widyaparwa, Vol. 40, Nomor 2, Desember 2012.
Hoed, Benny Hoedoro. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Jedamski, Doris. “Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda,” dalam Chambert-Loir, Henri
(Penyunting). 2009. Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
-------. “Translation in the Malay World: Different Communities, Different Agendas” dalam
Hung, Eva. 2005. Asian Translation Traditions. UK: St. Jerome Publishing Ltd.
https://openaccess.leidenuniv.nl/, diunduh pada 9 Agustus 2013.
Lecercle, Jean-Jacques. 2006. A Marxist Philosophy of Language (translated by Gregory
Elliott). Leiden: Brill.
Levy, Indra (ed.). 2011. Translation in Modern Japan. New York: Routledge.
Hlm. | 17
Liem, Maya H.T. “Menjembatani Indonesia dan Dunia Luar; Penerjemah di Indonesia 1950-
1965.” Dalam Lindsay J. dan Maya H.T. Liem (eds). 2011. Ahli Waris Budaya Dunia:
Menjadi Indonesia 1950-1965. Denpasar: Pustaka Larasan, Jakarta-KITLV.
Lindsay J. dan Maya H.T. Liem (eds). 2011. Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia
1950-1965. Denpasar: Pustaka Larasan, KITLV-Jakarta.
Manfredi, Marina. 2012. Translating Text and Context: Translation Studies and Systemic
Functional Linguistics. Volume 2: From Theory to Practice. Bologna: Centro di Studi
Linguistico-Culturali (CeSLiC), p. 158. In Quaderni del CeSLiC. Functional Grammar
Studies For Non-Native Speakers of English ISSN 1973-2228. Diunduh dari
http://amsacta.unibo.it/3219/, pada 11 Agustus 2013.
McGlynn, John H. (ed.). 1998. Language and Literature: Indonesian Heritage. Jakarta:
Archipelago Press.
Moeliono, Anton M. 1989. “Beberapa Aspek Masalah Penerjemahan ke Bahasa Indonesia,”
dalam Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Terbesar, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia.
Moentaha, Solihen. 2006. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint-Blanc
Munday, Jeremy. 2008. Introducing Translation Studies. London: Routledge.
Nababan, M.R., Prof. Dr. 2008. Kompetensi Penerjemahan dan Dampaknya pada Kualitas
Terjemahan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Penerjemahan. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta. Tidak terbit.
Nida, Eugene A. and Charles R. Taber. 1982. The Theory and Practice of Translation.
Leiden: E. J. Brill.
Supomo, S. “Old Javanese Literature.” Dimuat dalam McGlynn, John H. (ed.). 1998.
Language and Literature: Indonesian Heritage. Jakarta: Archipelago Press.
-------. “Men-jawa-kan Mabharata.” Dalam Chambert-Loir, Henri (Penyunting). 2009. Sadur:
Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).
Yusuf, Suhendra. 1994. Teori Terjemah: Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 2013. Sejarah Sastra Indonesia Tahun 1970-An: Tinjauan
Sosiologis. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
1
PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU SEBAGAI BENTUK OPTIMALISASI
PEMBELAJARAN DI SD DALAM KURIKULUM 2013
Oleh:
Taufina
Dosen PGSD FIP UNP
Abstrak
Peserta didik yang berada pada Sekolah Dasar (SD) merupakan rentangan usia
yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik). Maka,
perlu diciptakan proses pembelajaran tematik terpadu sesuai dengan tuntutan
kurikulum 2013. Hal ini dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap konsep
pembelajaran tematik terpadu dan bentuk rancangan proses pembelajarannya.
Tulisan ini mencoba memaparkan secara ringkas konsep dan cara merancang
proses pembelajaran tematik terpadu sebagai optimalisasi pembelajaran di SD
dalam kurikulum 2013.
Kata Kunci: Peserta Didik Usia SD, Holistik, Tematik Terpadu, Kurikulum 2013.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar bagi kehidupan
seseorang karena melalui pendidikan seseorang bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan, serta dapat memperbaiki akhlak dan budi pekertinya sehingga ia tahu etika dan
norma yang berlaku di tengah masyarakat. Melalui pendidikan, seseorang dapat
meningkatkan keterampilan, mengembangkan potensi diri, serta dapat menghadapi
perkembangan dan kemajuan dunia yang semakin global. Selanjutnya melalui pendidikan
dapat dibentuk manusia yang berkepribadian, cerdas, dan mandiri. Hal ini dilandasi
pemikiran bahwa pendidikan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap orang.
Dengan demikian, dalam Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan dengan tegas bahwa: 1)
tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. 2) pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 2003 Bab I, pasal 1,
menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Yatim Riyanto (2009:131) menjelaskan bahwa pembelajaran itu adalah upaya
membelajarkan peserta didik untuk belajar. Kegiatan pembelajaran akan melibatkan peserta
didik mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien sehingga dapat dikatakan bahwa
dalam pembelajaran terdapat suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
2
belajar pada suatu lingkungan belajar agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan
pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan
pada peserta didik.
Guru yang profesional dalam melaksanakan pembelajaran mempertimbangkan
beberapa aspek, antara lain berorientasi pada perkembangan peserta didik karena
pembelajaran yang mengacu pada karakteristik peserta didik, baik kelompok maupun
individu dapat diterima oleh peserta didik, dan akan lebih bermakna. Contohnya, peserta
didik yang berada pada Sekolah Dasar (SD) berada pada rentangan usia dini. Abbas
(2006:19) mengemukakan bahwa karakteristik peserta didik pada usia ini umumnya berada
pada rentang usia dini yang masih melihat segala sesuatu sebagai objek satu keutuhan
(holistik) sehingga pembelajaran masih bergantung pada objek-objek konkret dan
pengalaman yang dialaminya. Oleh karena itu, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan No 67 tahun 2013 tentang Struktur Kurikulum
dijelaskan bahwa pendekatan yang cocok diterapkan untuk peserta didik di SD adalah
pendekatan tematik terpadu yang selanjutnya disebut dengan istilah pembelajaan tematik
terpadu. Pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran yang menggunakan tema untuk
mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna
kepada peserta didik. Adapun tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi
pokok pembicaraan. Tema diangkat sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
terpadu dalam materi pelajaran, prosedur penyampaian, serta pemaknaan pengalaman belajar
peserta didik.
Perhatian berikutnya yang tidak kalah penting adalah tahap perkembangan peserta
didik. Peserta didik di SD yang berumur rentangan 7 sampai 12 tahun adalah peserta didik
yang masa perkembangan pengetahuannya pada tahap kebermaknaan dalam menanggapi
suatu informasi yang diterima. Menurut Piaget dalam Santrock (2007:363) tahap
perkembangan kognitif intuitif berada pada rentang umur 4-7 atau 8 tahun. Tahap ini peserta
didik memperoleh pengetahuan atau informasi yang didasarkan pada kesan, makna, dan
konsep. Penyampaian informasi pengetahuan dalam proses pembelajaran berdasarkan
perkembangan peserta didik di atas dapat dilakukan dalam pembelajaran dengan
menggunakan pembelajaran tematik terpadu.
Pembelajaran tematik terpadu merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
mengintegrasikan berbagai mata pelajaran atau sejumlah disiplin ilmu melalui perpaduan area
isi, keterampilan, dan sikap ke dalam suatu tema tertentu. Pembelajaran tematik juga dapat
mengondisikan para peserta didik agar memperoleh pengalaman belajar yang lebih optimal,
3
menarik, berkesan dan bermakna, menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan
peserta didik, serta menumbuhkan keterampilan sosial dalam bekerjasama dengan orang lain
(Hakim, 2009:212).
Mulai tahun ajaran baru 2013 pola pembelajaran sudah disosialisasikan bagi guru
Kelas I dan IV dengan menggunakan Pembelajaran Tematik Terpadu. Di lapangan begitu
beragam nuansa tematik ini sejak digulirkan di kalangan guru dan sekolah, sepertinya terjadi
suatu “kerancuan” dan perbedaan pemahaman. Hal ini muncul karena kurang pahamnya
guru terhadap pembelajaran tematik terpadu yang dimaksud. Kendala semacam ini akan
menjadi penghambat bagi bergulirnya sebuah inovasi dalam bidang pendidikan. Sudah
seharusnya pembelajaran yang diciptakan baik di kelas maupun di luar kelas diharapkan
dapat dikondisikan dalam suasana hubungan peserta didik dan guru yang saling menerima
dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip ing ngarsa sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberikan contoh dan teladan, di
tengah membangun semangat dan prakarsa, di belakang memberikan daya dan kekuatan).
Terlebih bagi peserta didik SD yang masih berada di Kelas 1, 2 dan 3, yang masih
memerlukan bimbingan dan perhatian, sebagaimana pelayanan para orang tua yang dengan
kasih sayang dalam membimbing mereka. Peserta didik di Kelas 4, 5, dan 6 mulai
ditingkatkan pemahamannya untuk lebih memahami hidup dan kehidupan di lingkungan
sekitar dengan menciptakan pola berpikir rasional, yakni mencari jawaban mengapa harus
belajar membaca dan menulis, mengapa harus belajar matematika, mengapa harus
berinteraksi dan saling berkomunikasi dengan teman dan sebagainya. Dengan pembelajaran
tematik terpadu diharapkan dapat terjawab semuanya itu dengan catatan guru dan peserta
didik memiliki komitmen dan selalu berpikir positif bahwa pola pembelajaran yang dilakukan
adalah menuju ketercapaian kompetensi sebagaimana yang dituangkan di dalam standar
kelulusan.
Mencapai kompetensi yang dimaksud di atas dapat dilakukan melalui persiapan
proses pembelajaran tematik terpadu yang matang dan terstruktur dengan jelas. Hal ini dapat
dilakukan dengan menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang matang dan
terpola dengan baik sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan tuntutan
kurikulum yang tertuang dalam petunjuk teknis pembuatan RPP. Meskipun demikian,
kendala yang ditemukan di lapangan berdasarkan refleksi awal dalam pelatihan
pendampingan implementasi kurikulum 2013 di Bogor, guru-guru sebagai ujung tombak di
lapangan belum optimal dalam merancang RPP, antara lain: kurang mengerti dalam
penyusunan dan pasangan antar K.D., kurang mengerti merumuskan indikator, menemukan
4
keterkaitan indikator dengan tujuan pembelajaran, merumuskan tujuan pembelajaran,
menyusun langkah pembelajaran menggunakan pendekatan scientific, dan penilaian autentik.
Oleh sebab itu, perlu diberikan perhatian khusus dan bimbingan serta panduan khusus terkait
optimalisasi rancangan RPP (lihat petunjuk teknis rancangan RPP dari Kemendikbud tahun
2013) yang akan dikembangkan dalam proses pembelajaran tematik terpadu. Terkait dengan
itu, perlu diberikan contoh pengembangan rancangan RPP yang memuat tatanan dan pola
proses pembelajaran yang sesuai dengan petunjuk teknis pembuatan RPP yang dimaksud.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, terlihat adanya beberapa masalah dalam
pelaksanaan proses pembelajaran tematik di SD yang tentunya tidak dapat dibiarkan terus
menerus karena akan berdampak pada pencapaian tujuan dan mutu pendidikan SD. Untuk itu
penulis mencoba melihat permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan sehubungan
dengan pembelajaran tematik terpadu di SD sejak dilaksanakan mulai tahun ajaran baru Juli
sampai Oktober 2013. Penulis tertarik mengangkat judul, “ Pembelajaran Termatik Terpadu
sebagai Bentuk Optimalisasi Pembelajaran di SD dalam Kurikulum 2013.”
PEMBAHASAN
Pembelajaran tematik terpadu diawali dengan pembuatan tema selama satu tahun,
kemudian dengan tema-tema yang telah dibuat tersebut, guru menganalisis semua Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) yang diturunkan ke dalam Kompetensi Inti (K.I) dan selanjutnya
mengalir ke Kompetensi Dasar (KD) dan membuat indikator dari masing-masing mata
pelajaran yang ada di setiap kelas. Setelah itu dibuat hubungan antara KD dan indikator
dengan tema yang telah disiapkan selama satu tahun. Berikutnya, dari pemetaan hubungan
tersebut dilanjutkan dengan membuat jaringan KD dan indikator dari setiap tema yang telah
dibuat. Setelah jadi semua jaringan selama satu tahun dilanjutkan dengan menyusun silabus
tematik dan yang terakhir menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Tematik Terpadu.
Proses pembelajaran tematik terpadu dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu:
pertama guru harus mengacu pada tema sebagai pemersatu berbagai mata pelajaran untuk
satu tahun. Tema satu tahun untuk kelas I ada 8 tema, kelas II ada 8 tema, kelas III ada 8
tema, kelas IV ada 9 tema, kelas V ada 5 tema, dan kelas VI ada 5 tema. Dalam satu tema
terdapat beberapa subtema. Contoh : di Kelas I, tema I “Diriku” ada 4 subtema. Setiap
subtema terdiri atas 6 pembelajaran. Jadi, dalam 1 Tema di kelas I terdapat 24 pembelajaran,
sedangkan di kelas IV tema 1 “Indahnya Kebersamaan” ada 3 subtema. Setiap subtema terdiri
dari 6 pembelajaran. Jadi, dalam 1 tema di kelas IV terdapat 18 pembelajaran.
5
Kedua, guru melakukan analisis SKL, K.I, K.D, dan membuat indikator dengan tetap
memperhatikan muatan materi dari Standar Isi. Kompetensi Lulusan SD Lulusan
SD/MI/SDLB*/Paket A memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai berikut.
SD/MI/SDLB*/Paket A
Dimensi Kualifikasi Kemampuan
Sikap Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman,
berakhlak mulia (jujur, santun, peduli, disiplin, dan demokratis)
berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan
rumah, sekolah, dan tempat bermain.
Pengetahuan Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam
wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait fenomena dan kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan
tempat bermain
Keterampilan Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif
dalam ranah konkret dan abstrak sesuai dengan yang ditugaskan
kepadanya.
Ketiga, guru membuat hubungan antara K.D dan indikator dengan tema. Keempat,
guru membuat jaringan KD dan indikator. Kelima guru menyusun silabus tematik. Keenam,
guru membuat rencana pelaksanaan pembelajaran tematik dengan mengondisikan
pembelajaran yang menggunakan pendekatan scientific.
Contoh RPP Tematik Terpadu dengan Menggunakan Pendekatan Scientific Sesuai
dengan Petunjuk Teknis dan Permendikbud No 81A.
Satuan Pendidikan : SD
Kelas/Semester : I / 1(satu)
Tema/Subtema : Diriku/Aku dan Teman Baru
Alokasi Waktu : 1x Pertemuan (5 x 35 menit)
A. Kompetensi Inti (KI)
1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya.
2. Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri
dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru.
3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati (mendengar, melihat,
membaca) dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan
Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah.
4. Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang
estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang
mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia.
6
Penjelasan: Kompetensi Inti (KI), merupakan gambaran secara kategorial mengenai
kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dipelajari
siswa untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran.
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
PPKn
Kompetensi Dasar:
1.1. Menerima keberagaman karakteristik individu dalam kehidupan beragama sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa di lingkungan rumah dan sekolah
1.2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri
dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru sebagai perwujudan nilai dan
moral Pancasila
3.2 Mengenal tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah
maupun di sekolah.
4.2. Melaksanakan tata tertib dirumah dan di sekolah
Indikator:
3.2.1. Menyebutkan contoh-contoh peraturan pada permainan di sekolah.
4.2.1. Menjalankan peraturan pada permainan di sekolah.
Bahasa Indonesia
Kompetensi Dasar:
2.1. Memiliki kepedulian dan rasa ingin tahu terhadap keberadaan wujud dan sifat benda
melalui pemanfaatan bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah
2.2. Memiliki rasa percaya diri terhadap keberadaan tubuh melalui pemanfaatan bahasa
Indonesia dan/atau bahasa daerah
3.4. Mengenal teks cerita diri/personal tentang keberadaan keluarga dengan bantuan guru
atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata
bahasa daerah untuk membantu pemahaman.
4.4. Menyampaikan teks cerita diri/personal tentang keluarga secara mandiri dalam bahasa
Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa daerah untuk
membantu penyajian
Indikator:
3.4.1. Menyebutkan cara memperkenalkan diri.
4.4.1. Menyebutkan nama lengkap sebagai perkenalan diri.
4.4.2. Menyebutkan nama panggilan.
4.4.3. Menyebutkan nama teman-temannya.
SBDP
Kompetensi Dasar:
2.1. Menunjukkan perilaku percaya diri untuk berlatih mengekspresikan diri dalam
mengolah karya seni.
3.1. Mengenal cara dan hasil karya seni ekspresi.
4.1. Menggambar ekspresi dengan mengolah garis, warna dan bentuk berdasarkan hasil
pengamatan di lingkungan sekitar
Indikator:
3.1.1. Mengidentifikasi cara mengolah karya seni ekspresi.
4.1.1. Menggambar berbagai bentuk garis pada kartu nama.
4.1.2. Menggambar hiasan warna pada kartu nama.
PJOK
Kompetensi Dasar:
2.1. Menunjukkan perilaku percaya diri dalam melakukan berbagai aktivitas fisik dalam
bentuk permainan.
7
3.3. Mengetahui konsep gerak dasar manipulatif sesuai dengan dimensi anggota tubuh
yang digunakan, arah, ruang gerak, hubungan, dan usaha, dalam berbagai bentuk
permainan sederhana dan atau permainan tradisional.
4.3. Mempraktikkan pola gerak dasar manipulatif yang dilandasi konsep gerak dalam
berbagai bentuk permainan sederhana dan atau permainan tradisional.
Indikator:
3.3.1. Mengidentifikasi gerak dasar manipulatif dalam bentuk permainan sederhana.
4.3.1. Melakukan gerakan melempar.
4.3.2. Melakukan gerakan menangkap.
Penjelasan: KD-1 dan KD-2 dari KI-1 dan KI-2 tidak harus dikembangkan dalam
indikator karena keduanya dicapai melalui proses pembelajaran yang tidak langsung.
Indikator dikembangkan hanya untuk KD-3 dan KD-4 yang dicapai melalui proses
pembelajaran langsung.
C. Tujuan Pembelajaran
1. Berdasarkan pemodelan dari guru, siswa dapat menyebutkan cara memperkenalkan diri
dengan bahasa yang santun.
2. Berdasarkan pengamatan, siswa dapat menyebutkan contoh-contoh permainan
sederhana menggunakan bola dengan percaya diri.
3. Dengan tanya jawab, siswa dapat menyebutkan peraturan permainan sederhana dengan
bahasa yang santun.
4. Dengan mengikuti permainan lempar bola, siswa dapat menjalankan peraturan
permainan dengan disiplin.
5. Dengan mengikuti permainan lempar bola, siswa dapat melakukan gerakan melempar
dengan benar.
6. Dengan mengikuti permainan lempar bola, siswa dapat melakukan gerakan menangkap
dengan benar.
7. Dengan mengikuti permainan lempar bola, siswa dapat memperkenalkan diri dengan
menyebutkan nama panggilan dengan percaya diri dan bahasa yang santun.
8. Dengan melakukan tanya jawab dalam permainan, siswa dapat menyebutkan nama
lengkapnya dengan percaya diri.
9. Setelah menyebutkan nama lengkap, siswa dapat menyebutkan nama panggilan dengan
percaya diri.
10. Dengan demonstrasi, siswa dapat mengenalkan teman di sebelahnya kepada orang
lain dengan bahasa yang santun.
11. Dengan melakukan tanya jawab dalam permainan bola, siswa dapat menyebutkan
sedikitnya 5 nama teman di kelasnya dengan percaya diri.
12. Setelah mendengarkan penjelasan guru, siswa dapat menggambar berbagai bentuk
garis pada kartu nama dengan teliti.
13. Setelah mendengarkan penjelasan guru, siswa dapat menggambar hiasan warna pada
kartu nama dengan ekspresi yang benar.
Penjelasan: Tujuan pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD dan indikator
dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Tujuan Pembelajaran berisikan
Audience, Behavior, Condition, and Degree (ABCD). Kata-kata dalam Degree merupakan
isi dari K.I 2 (contoh: perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan
percaya diri). Penyusunannya dilakukan secara hierarki agar terlihat proses
8
pembelajaran tematik terpadu dan tidak terlihat lagi tujuan pembelajaran per bidang
studi seperti yang terdapat pada indikator.
D. Materi Pembelajaran
1. Perkenalan diri
2. Peraturan permainan
3. Gerakan melempar dan menangkap
4. Menghias gambar kartu nama
Penjelasan: Materi pembelajaran adalah rincian dari materi pokok yang memuat fakta,
konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai
dengan rumusan indikator ketercapaian kompetensi.
E. Metode dan pendekatan Pembelajaran
Metode (ceramah, diskusi, dan tanya jawab)
Pendekatan: scientific. (melalui mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,
eksperimen, mengasosiasi/menalar, dan mengkomunikasikan).
F. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media; Kartu Nama, Model Kartu Nama Ukuran besar (30 cm x 30 cm), lagu “Siapa
Namamu”
2. Alat/Bahan; Bola plastik/bola dari kertas bekas, Karton/kertas/kardus bekas yang
sudah dipotong-potong dan diberi nama masing-masing siswa, pensil warna/spidol,
tali/peniti/alat lain untuk memasangkan kartu nama
3. Sumber Belajar; Buku Guru, Buku Siswa, lingkungan sekolah
G. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Sesi Pertama
Kegiatan Deskripsi Kegiatan Alokasi
waktu
Pendahuluan 1. Guru membuka pelajaran dengan menyapa siswa dan
menanyakan kabar mereka, memperkenalkan diri
serta bagaimana perasaan mereka di kelas yang baru.
2. Guru melakukan appersepsi sebagai awal
komunikasi guru sebelum melaksanakan
pembelajaran inti.
3. Guru memberi motivasi kepada siswa agar semangat
dalam mengikuti pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
4. Siswa mendengarkan penjelasan dari guru kegiatan
yang akan dilakukan hari ini dan apa tujuan yang
akan dicapai dari kegiatan tersebut dengan bahasa
yang sederhana dan dapat dipahami.
5 menit
Kegiatan Inti 1. Guru menanyakan kepada siswa siapa yang pernah
berkenalan dengan teman baru kemudian meminta
dua siswa untuk mendemonstrasikan cara
berkenalan. Siswa lain diminta untuk memperhatikan
secara seksama. (mengamati).
90 menit
9
2. Siswa membuka buku siswa hal. 1 dan membacakan
teks. Siswa mengamati gambar dalam buku
(mengamati).
3. Siswa mengajukan pertanyaan yang berkaitan
dengan cara berkenalan teknik dan sikap berkenalan
di bawah bimbingan guru (menanya)
4. Siswa diajak bermain lempar bola. Sebelum
melakukan permainan, guru menjelaskan aturan
bermainnya; a) siswa diminta melingkar, boleh
duduk atau berdiri, b) melempar tidak terlalu keras,
c) bersuara dengan lantang (mengamati).
5. Permainan dimulai dari guru dengan
memperkenalkan diri, ”Selamat pagi, nama saya
Ibu/Bapak....nama panjang....biasa dipanggil
Ibu/Bapak.... kemudian, melempar bola pada salah
satu siswa (hindari pelemparan bola dengan keras)
(eksperimen).
6. Siswa yang berhasil menangkap bola harus
menyebutkan nama lengkap dan nama panggilan.
Kemudian, dia melempar kepada teman lain. Teman
yang menangkap lemparan bola, menyebutkan nama
lengkap dan nama panggilan.(eksperimen)
7. Siswa saling berkenalan seterusnya sampai semua
saling mengenal dengan sikap percaya diri dan
santun. (mengolah informasi)
8. Setelah semua memperkenalkan diri, guru mengajak
siswa untuk bernyanyi sambil mengingat kembali
nama-nama teman di kelas. Guru bisa menggunakan
lagu yang ada di buku siswa. (mengomunikasikan)
9. Siswa berada pada posisi lingkaran. Guru menyanyi
sambil menepuk salah satu siswa, lalu siswa itu
menyebutkan namanya. Lalu siswa tersebut sambil
menyanyi “Siapakah Namamu” menepuk teman di
sebelahnya dan teman tersebut menyebutkan
namanya sambil mengikuti irama lagunya dan
seterusnya. (mengomunikasikan).
Lirik lagu “Siapa Namamu”
Ciptaan A.T. Mahmud
1 2 / 3 . / 3 4 / 5 ./
Sia pa kah na ma mu
5 4 / 3 . / 3 3 /1 . //
Na ma ku .............
(sebutkan nama siswa)
10
Penutup Guru mengulas kembali kegiatan yang sudah dilakukan
dan meminta siswa melakukan refleksi dari kegiatan
yang baru saja mereka lakukan;
• Cara berkenalan yang santun
• Aturan dalam permainan
10 menit
Sesi Kedua
Kegiatan Deskripsi Kegiatan Alokasi
waktu
Pendahuluan 1. Guru melakukan kegiatan penyegaran untuk untuk
membuat siswa bersemangat dengan mengajak siswa
bernyanyi lagu “Siapa Namamu”.
2. Guru melakukan lempar bola kepada beberapa siswa,
kemudian siswa yang menangkap bola menyebutkan
nama dirinya.
3. Guru menyampaikan bahwa untuk dapat mengenal
nama teman, kita bisa juga menggunakan kartu
nama. Kemudian menyampaikan bahwa siswa akan
membuat kartu nama mereka masing-masing.
5 menit
Kegiatan Inti 1. Guru menunjukkan macam-macam kartu nama,
kemudian mengajak siswa memperhatikan contoh
kartu nama yang terdapat pada buku siswa hal.4
(mengamati)
2. Guru menunjukkan kartu namanya sendiri yang
sudah dibuat di karton besar sebelumnya sebagai
contoh dan melakukan tanya jawab langkah
menghias kartu nama (mengamati).
3. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengajukan pertanyaan berkaitan dengan contoh
kartu nama. (menanya)
4. Guru membagikan potongan-potongan karton
dengan nama masing-masing siswa. Siswa diminta
untuk menghias kartu nama mereka masingmasing.(
eksperimen).
5. Siswa diminta menggunakan kartu namanya dan
memperkenalkan nama dirinya dengan
menunjukkan nama yang ada pada kartu nama
secara bergantian.(mengomunikasikan)
6. Siswa berada pada posisi lingkaran. Guru menyanyi
sambil menepuk salah satu siswa, lalu siswa itu
menyebutkan namanya. Lalu siswa tersebut sambil
menyanyi “Siapakah Namamu” menepuk teman di
sebelahnya dan teman tersebut menyebutkan
namanya sambil mengikuti irama lagunya dan
seterusnya .(mengomunikasikan)
55 menit
Penutup Guru meminta siswa merapikan pekerjaannya, dan
menanyakan apakah siswa puas dengan pekerjaannya.
Dengan arahan guru siswa melakukan refleksi dari
kegiatan yang sudah dilakukan.
 Cara menghias kartu nama
 Ketelitian dan kerapian dalam menghias kartu nama
10 menit
11
H. Penilaian
1. Teknik Penilaian
a. Unjuk Kerja Kegiatan Perkenalan, meliputi : kemampuan memperkenalkan diri,
kemampuan menjalankan peraturan, dan kemampuan melakukan gerakan melempar
dan menangkap.
b. Produk Membuat Kartu Nama
c. Penilaian sikap, meliputi; Percaya diri, disiplin, ketelitian
2. Bentuk Instrumen Penilaian
Rubrik Penilaian Unjuk Kerja
No Kriteria Baik Sekali
4
Baik
3
Cukup
2
Perlu Bimbingan
1
1. Kemampuan
memperkenal
kan diri
(B.Indonesia)
Siswa mampu
menyebutkan
nama panjang
dan nama
panggilan
Siswa
mampu
menyebutkan
nama
panjang
Siswa hanya
mampu
menyebutkan
nama
panggilan
Siswa belum
mampu
memperkenalkan
diri
2. Kemampuan
menjalankan
aturan
permainan
(PPKn)
Siswa mampu
melakukan
permainan
sesuai dengan
instruksi
tanpa
pengarahan
ulang
Siswa
mampu
melakukan
permainan
sesuai aturan
tetapi dengan
satu kali
arahan ulang
Siswa
mampu
melakukan
permainan
sesuai aturan,
tetapi dengan
lebih dari
satu kali
arahan ulang
Siswa belum
mampu melakukan
permainan sesuai
dengan aturan
3. Kemampuan
melakukan
gerakan
melempar
dan
menangkap
(PJOK)
Siswa mampu
melempar dan
menangkap
bola dengan
akurat tidak
pernah
meleset
Siswa
mampu
melempar
dan
menangkap
bola tetapi
satu-dua kali
meleset
Siswa
mampu
melempar
dan
menangkap
bola tetapi
lebih dari 3
kali meleset
Siswa belum
mampu melempar
dan menangkap
bola
Rubrik Penilaian Membuat Kartu Nama
No. Kriteria Baik sekali
4
Baik
3
Cukup
2
Perlu
bimbingan
1
1. Komponen
kartu nama
Memenuhi 3
komponen
(gambar/foto
diri, hiasan,
dan bentuk
yang unik)
Memenuhi 2
dari 3
komponen
Hanya
memenuhi 1
dari 3
komponen
Tidak
memenuhi 3
komponen
2. Jumlah
warna yang
digunakan
Menggunakan
4 warna atau
lebih
Menggunakan
3 warna
Menggunakan
2 warna
Menggunakan
1 warna
12
Format Penilaian Unjuk Kerja
No Nama Peserta
Didik
B. Ind PPKn PJOK
Perolehan
Skor
Nilai
Akhir
Perolehan
Skor
Nilai
Akhir
Perolehan
Skor
Nilai
Akhir
1 Siti 3 75 4 100 3 75
2 Dayu
3 Udin
… …
Format Penilaian Produk
No. Nama
Siswa
Komponen
Kartu Nama
Jumlah warna yang
digunakan Total Skor Nilai
1. Siti 4 3 7 88
2. Dayu 3 3 6
3. Udin 4 3 7
... ....
 Penskoran : NA = perolehan skor x 100
Skor maksimal
Lembar Penilaian Sikap (satu tema)
Minggu ke-……. Bulan …………2013 Subtema ………….
No
Nama
Peserta
Didik
Perkembangan Prilaku
Disiplin Percaya Diri Ketelitian
SB B C K SB B C K SB B C K
1
2
3
Catatan:
SB = sangat Baik; B= Baik; C= Cukup; K= Kurang
Refleksi:
* Hal-hal yang perlu menjadi perhatian
.................................................................................................................................................
.................................................................................................................................................
..........................................................................................
* Siswa yang perlu mendapat perhatian khusus
13
.................................................................................................................................................
.................................................................................................................................................
...........................................................................................
* Hal-hal yang menjadi catatan keberhasilan
.................................................................................................................................................
.................................................................................................................................................
............................................................................................
* Hal-hal yang harus diperbaiki dan ditingkatkan
.................................................................................................................................................
.................................................................................................................................................
..........................................................................................
Remedial:
Memberikan remedial bagi siswa yang belum mencapai kompetensi yang ditetapkan.
Pengayaan:
Memberikan kegiatan kegiatan pengayaan bagi siswa yang melebihi target pencapaian
kompetensi.
................, .............2013
Kepala Sekolah Guru Kelas I
........................................... ..........................................
NIP. NIP.
PENUTUP
Pembelajaran tematik terpadu merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
mengintegrasikan berbagai mata pelajaran atau sejumlah disiplin ilmu melalui perpaduan area
isi, keterampilan, dan sikap ke dalam suatu tema tertentu. Pelaksanaannya dapat dilakukan
melalui beberapa tahapan, antara lain: pertama guru harus mengacu pada tema sebagai
pemersatu berbagai mata pelajaran untuk satu tahun, kedua guru melakukan analisis SKL,
K.I, K.D, dan membuat indikator dengan tetap memperhatikan muatan materi dari Standar
Isi, ketiga membuat hubungan antara K.D dan indikator dengan tema, keempat membuat
jaringan KD dan indikator, kelima menyusun silabus tematik, dan keenam membuat Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) tematik dengan mengondisikan pembelajaran yang
menggunakan pendekatan scientific. Akhirnya, pembelajaran tematik terpadu sebagai bentuk
optimalisasi pembelajaran di SD dalam kurikulum 2013 diharapkan dapat terlaksana dengan
baik dan mencapai hasil yang maksimal.
DAFTAR RUJUKAN
14
Abbas, Saleh. 2006. Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Efektif di Sekolah Dasar. Jakarta:
Depdiknas.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasioanal Badan Penelitian dan Pendidikan
Pengembangan Pusat Kurikulum.
-------. 2010. Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan. Jakarta: Kementrian Pendidikan
Nasioanal Badan Penelitian dan Pendidikan Pengembangan Pusat Kurikulum.
-------. 2010. Panduan Pengembangan Pendekatan Belajar Aktif. Jakarta: Kementrian
Pendidikan Nasioanal Badan Penelitian dan Pendidikan Pengembangan Pusat
Kurikulum.
-------. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman di
Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasioanal Badan
Penelitian dan Pendidikan Pengembangan Pusat Kurikulum
-------. 2011. Model Tematik Kelas 1 Sekolah Dasar. Jakarta: Kementrian Pendidikan
Nasioanal Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar.
-------. 2013. Materi Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan
Nasioanal Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar.
-------. 2013. Materi Pendampingan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kementrian
Pendidikan Nasioanal Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar.
-------. 2013. Panduan Teknik Penyusunan RPP. Jakarta: Dirjen Dikdas Kementrian
Pendidikan Nasioanal Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Santrock, Jhon W. 2007. Perkembangan Anak. Terjemahan oleh Mila Rachmawati dan Anna
Kuswanti. 2007. Jakarta: Erlangga.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 2009. Jakarta: Diperbanyak oleh Jalur Mas Media.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2009.
Jakarta: Diperbanyak oleh PT. Sinar Grafika.
Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Group.
Yatim Riyanto. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.